MEREKONSTRUKSI PARADIGMA PENGUJIAN FORMIL UNDANG-UNDANG PASCA PUTUSAN MK NO. 79/PUU-XVII/2019

Oleh: Ida Bagus Gede Dhikshita

Selasa, 4 Mei 2021 menjadi hari bersejarah bagi masa depan lembaga antirasuah di Indonesia. Hal ini disebabkan Mahkamah Konstitusi akhirnya secara simultan (sekaligus) memutus 7 permohonan perkara pengujian Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut perubahan kedua UU KPK). Dari 7 perkara pengujian perubahan kedua UU KPK tersebut, ada satu putusan terkait pengujian formil yakni Putusan MK Nomor 79/PUU-XVII/2019 mengenai perkara pengujian formil perubahan kedua UU KPK terhadap UUD NRI Tahun 1945.

Putusan ini pada akhirnya menolak dalil-dalil permohonan para Pemohon untuk seluruhnya. Meski demikian hal ini bukanlah suatu hal yang mengejutkan karena praktis selama ini MK belum pernah sekalipun mengabulkan permohonan pengujian formil terhadap suatu undang-undang. Sebelumnya, MK pernah memberikan semacam terapi kejut/shock therapy dalam Putusan MK No. 27/PUU-VII/2009 tentang pengujian formil UU MA. Dalam putusan tersebut, MK secara jelas dan tegas memeriksa fakta-fakta terkait prosedur pembentukan UU MA yang ternyata melanggar ketentuan pembentukan peraturan perundang-undangan utamanya pelanggaran terhadap Peraturan Tata Tertib DPR.

Terhadap pelanggaran ini, Mahkamah hanya mengingatkan pembentuk undang-undang agar tidak tergesa-gesa dan taat pada asas pembentukan undang-undang dan materi muatan undang-undang, sebab asas adalah titik tolak, tolok ukur dan kendali untuk menjaga materi dan substansi dalam koridor konstitusi. Meski demikian pengujian formil UU MA tidak dikabulkan oleh MK, karena memperhatikan asas manfaat untuk tercapainya tujuan hukum, sehingga Mahkamah tidak perlu menyatakan UU tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Dalam pengujian formil perubahan kedua UU KPK, banyak ahli hukum tata negara yang mempertanyakan bagaimana MK menggunakan paradigma pengujian formil dalam setiap pertimbangan hukumnya. Bahkan Prof. Susi Dwi Harijanti dalam suatu diskusi publik menyebut bahwa MK telah mematikan keadilan prosedural yang seharusnya diwujudkan dalam pengujian formil ini. Lantas, paradigma seperti apa yang seharusnya digunakan MK dalam memutus perkara pengujian formil? hal inilah yang akan dikaji dalam tulisan ini sebagai berikut.

Menurut Sri Soemantri, pengujian terhadap suatu peraturan perundang-undangan dilakukan terhadap isi undang-undang atau peraturan perundang-undangan lainnya dinamakan sebagai hak menguji material (materiele toetsingsrecht). Sementara jika pengujian itu dilakukan terhadap prosedur pembentukannya, maka disebut hak menguji formal (formele toetsingsrecht). Menegaskan pengertian mengenai pengujian formal, Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa secara umum ada beberapa kriteria yang dapat dipakai untuk menilai konstitusionalitas suatu undang-undang dari segi formalnya (formele toetsing) antara lain adalah sejauh mana undang-undang itu ditetapkan dalam bentuk yang tepat (appropriate form), oleh instansi yang tepat (appropriate institution), dan menurut prosedur yang tepat (appropriate procedure).

Diskursus yang selalu didiskusikan dalam pengujian formal dalam konsep pengujian undang-undang di MK adalah batu uji apa yang dapat digunakan oleh MK dalam pengujian formal? apabila wewenang pengujian formal bersifat inheren atau melekat pada hakim, pertanyaannya akan kembali pada batu uji apa yang akan digunakan oleh hakim? batu uji inilah yang menurut penulis akan dijadikan paradigma oleh sembilan Hakim MK dalam memutus perkara pengujian formil perubahan kedua UU KPK.

Landasan Yuridis Formal Batu Uji Pengujian Formil

Pengujian formil memiliki landasan yuridis formal antara lain dalam ketentuan Pasal 51A ayat (3) UU No. 8 Tahun 2011 yang mengatur bahwa “Dalam hal permohonan pengujian berupa permohonan pengujian formil, pemeriksaan dan putusan yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang mengatur tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan”.

Sementara dalam Putusan MK Nomor 27/PUU-VII/2009, MK memberikan pandangan terhadap batu uji pengujian formal yaitu bahwa menurut Mahkamah jika tolok ukur pengujian formil harus selalu berdasarkan pasal-pasal UUD 1945 saja, maka hampir dapat dipastikan tidak akan pernah ada pengujian formil karena UUD 1945 hanya memuat hal-hal prinsip dan tidak mengatur secara jelas aspek formil-proseduralnya. Padahal dari logika tertib tata hukum sesuai dengan konstitusi, pengujian secara formil itu harus dapat dilakukan. Oleh sebab itu, sepanjang undang-undang, tata tertib produk lembaga negara, dan peraturan perundang-undangan yang mengatur mekanisme atau formil prosedural itu mengalir dari delegasi kewenangan menurut konstitusi, maka peraturan perundang-undangan itu dapat dipergunakan atau dipertimbangkan sebagai tolok ukur atau batu uji dalam pengujian formil.

Landasan Konseptual Batu Uji Pengujian Formil

Secara konseptual, ada catatan penting dari Susi Dwi Harijanti dalam keterangan ahlinya mengenai perkara pengujian formil ini yakni perkara-perkara konstitusional umumnya dikualifikasi sebagai hard cases. Hal ini disebabkan adanya pertaruhan-pertaruhan seperti sejauh mana putusan MK benar-benar menjamin dan mencerminkan UUD 1945 sebagai “the supreme law of the land” atau “the higher law”? selain itu, sejauh mana MK sebagai penjaga UUD 1945, dapat menjaga dan mewujudkan UUD 1945 sebagai “the living constitution” yang senantiasa mampu memenuhi kepentingan dan hak konstitusional warga di bidang politik, pemerintah, ekonomi, sosial, budaya dan lain-lain.

Dua hal di atas adalah “hard” karena tidak semata-mata dalam wilayah “juridicial” tetapi wilayah “non-juridicial” (politik, ekonomi, sosial, dan lain-lain). Berdasarkan hal tersebut ia berpendapat bahwa batu uji yang digunakan dalam perkara pengujian formil tidak dapat lagi semata-mata digantungkan pada norma peraturan perundang-undangan, melainkan termasuk pula asas-asas hukum umum, asas-asas hukum khusus, serta asas-asas lain yang relevan dengan perkara pengujian formil tersebut.

Pendapat dari Prof. Susi sangat bersesuaian dengan apa yang ditekankan Prof. Bagir Manan dalam keterangan ahlinya di pengujan formil perkara a quo. Beliau menegaskan pengujian formil yang berfungsi untuk menyelidiki apakah suatu produk legislatif ditetapkan menurut tata cara yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan (undang-undang) yang mana dalam prinsip negara hukum demokratis, pengertian tata cara baik sebagai prosedur harus pula bersandar pada asas-asas hukum yang fundamental dan berbagai praktik etika ketatanegaraan menurut prinsip-prinsip demokrasi dan negara hukum.

Hal yang kemudian menjadi fundamental dalam keterangan ahli Prof. Bagir Manan adalah bagaimana beliau menguraikan bahwa apabila seluruh tata cara pembentukan perubahan kedua UU KPK telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dimanakah kemungkinan terjadi tata cara pembentukan yang salah dan bertentangan dalam UUD 1945? disinilah beliau kembali mengingatkan bahwa dalam UUD 1945, para founding of the constitution juga memberikan muatan “staatside” yang menjiwai dan mendasari UUD 1945.

Staatside ini berlandaskan kearifan asli seperti paham kekeluargaan/gotong royong, paham permusyawaratan, paham demokrasi atau kedaulatan rakyat, politik, dan sosial, paham negara hukum (formal dan materiil) serta paham hak asasi (individual dan sosial). Dalam konteks permohonan pengujian formal perubahan kedua UU KPK, staatsidee inilah yang wajib menjadi perhatian MK dalam memutus perkara. Keadilan prosedural yang ditekankan dalam pengujian formil sangat terkait dengan bagaimana MK mampu menilai asas-asas hukum dan staatside dalam pengujian formil perubahan kedua UU KPK.

Dalam perkara a quo, hal-hal terkait kewenangan pengujian formil oleh MK memang tidak menjadi masalah, karena pada intinya MK menyatakan berwenang untuk memutus perkara a quo. Namun hal yang selanjutnya dicermati adalah sejauh mana MK dalam pendapat hukumnya menggunakan paradigma batu uji dalam pengujian formil, apakah MK hanya mempertimbangkan landasan yuridis formal? atau juga mempertimbangkan landasan konseptual agar benar-benar mempertimbangkan asas-asas hukum atau staatsidee yang terkandung di dalam UUD 1945 yang benar-benar dapat mencerminkan keadilan prosedural.

Kesimpulan

Setelah mencermati setiap pendapat hukum Mahkamah dalam perkara a quo, dapat disimpulkan bahwa MK sangat kentara menggunakan paradigma yuridis formal dalam tiap pendapat hukumnya. MK terkesan hanya menilai/mereview permohonan para Pemohon dari luarnya saja. MK terjebak problematik legisme yang mana MK terlalu terpaku dengan hukum yang tertulis, tanpa mempertimbangkan nilai-nilai esensial baik itu yang disebut dengan staatsidee atau natural justice seperti legal efficacy dan rational acceptability dalam proses pembentukan perubahan kedua UU KPK.

Berdasarkan putusan ini, penulis memiliki keraguan yang sangat besar akan pengujian formil di masa depan yang akan diputuskan oleh MK, seperti pengujian formil UU Minerba, UU MK, dan UU Cipta Kerja. Apabila MK menggunakan paradigma seperti putusan ini, kita telah mengetahui bersama hasil putusan MK sebelum dibacakan oleh MK sendiri. Namun apabila MK mau merekonstruksi paradigmanya terhadap pengujian formil, yakni lebih mempertimbangkan landasan konseptual dari batu uji pengujian formil itu sendiri, penulis percaya bahwa pengujian formil tidak akan sekedar menjadi ungkapan wujuduhu ka adamihi (adanya sama seperti tidak adanya)”; karena mekanisme pengujian formil adalah instrumen penyeimbang terhadap agresivitas supremasi kekuatan politik mayoritas di parlemen dalam konteks pembentukan UU, seperti apa yang dikatakan Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dalam dissenting opinion putusan perkara a quo. ()