oleh : Muhammad Ridwan Jogi
Internship Advokat Konstitusi
“Hakim adalah wakil Tuhan di Dunia”, adagium tersebut seringkali disebutkan untuk menggambarkan betapa mulianya Hakim. Di tangan Hakim dapat menentukan nasib seseorang, bahkan Hakim dapat memutuskan hidup matinya seseorang. Oleh karenanya, wibawa Hakim mutlak mesti dihormati oleh setiap orang.
Namun, tidak sedikit Hakim yang justru menjadi sasaran dari orang-orang yang berperkara di pengadilan secara langsung maupun tidak langsung. Pada tahun 2021, Komisi Yudisial menangani 13 kasus Perbuatan Merendahkan Kehormatan dan Keluhuran Hakim (PMKH). Beberapa kasus tersebut antara lain pengancaman Hakim di dalam persidangan, pengancaman Hakim di luar persidangan bahkan Hakim diserang dalam persidangan.
Kondisi tersebut dapat menggambarkan efektifitas hukum sebagaimana yang dikemukakan Lawrence M. Friedman bahwa efektif dan berhasil tidaknya penegakan hukum tergantung tiga unsur sistem hukum, yakni struktur hukum (structur of law), substansi hukum (substance of the law) dan budaya hukum (legal culture).
Hakim merupakan bagian dari struktur hukum itu sendiri. Bahkan, Hakim memiliki peranan yang sentral dalam menjalankan hukum sebagaimana mestinya. Semakin berkualitas Hakim maka akan semakin baik juga proses Hakim dalam memeriksa perkara dan memberikan putusan yang berkeadilan.
Dalam substansi hukum, terdapat beberapa aturan yang membentengi supaya Hakim dijaga wibawanya seperti Peraturan Bersama Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI No. 02/PB/MA/IX/2012 dan 02/PB/P.KY/09/2012 tentang Panduan Penegakan Kode Etik Hakim dan Pedoman Perilaku Hakim, Peraturan Komisis Yudisial Nomor 8 tahun 2013 tentang Advokasi Hakim, Perma Nomor 6 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2020 tentang Protokol Persidangan dan Keamanan Dalam Lingkungan Pengadilan dan ketentuan Contempt of Court yang diatur dalam Pasal 207, Pasal 217 dan Pasal 224 KUHP.
Budaya hukum juga memiliki pengaruh terhadap bagaimana Hakim dalam menjalankan tugasnya mendapatkan rasa aman. Masyarakat baik sebagai pihak yang berperkara langsung maupun tidak secara langsung di pengadilan berpotensi melakukan hal-hal yang dapat mengganggu keamanan Hakim. Budaya hukum yang baik dapat diwujudkan apabila masyarakat memiliki pengetahuan akam hukum itu sendiri.
Dalam hal memberikan perlindungan kepada Hakim yang menjalankan tugasnya. Maka, sudah sewajarnya Hakim diberikan perlindungan diri terhadap potensi yang mengancam dirinya. Perlindungan ini bisa diberikan seperti dialokasikannya ajudan atau pengawal bagi setiap Hakim di setiap tingkatan pengadilan baik ketika menjalankan tugas di dalam maupun di luar pengadilan. Hal ini dapat menjadi pilihan, mengingat beratnya tugas Hakim. Ajudan atau pengawal Hakim ini dapat dipilih dari anggota Kepolisian, sehingga perlindungan yang diberikan dapat dilakukan secara maksimal.
Selanjutnya, perlu regulasi hukum yang mumpuni sebagai upaya preventif dan represif terhadap siapapun yang dapat membahayakan keselamatan Hakim dalam bertugas di pengadilan maupun di luar pengadilan. Pemerintah dan DPR perlu membuat aturan hukum mengenai contempt of court. Secara internal juga Mahkamah Agung perlu membuat aturan internal untuk menjamin keselamatan Hakim dan standar operasional prosedur bagi Hakim dalam bertugas. Selain itu, Komisi Yudisial juga memiliki peranan yang mesti dilakukan secara optimal dalam rangka perlindungan dan pengadvokasian Hakim yang berpotensi mendapatkan ancaman dan penyerangan ketika menjalankan tugasnya.
Dari aspek masyarakat, menjadi tugas besar dalam memberikan edukasi mengenai wibawa pengadilan termasuk juga menghormati Hakim yang menjalankan tugasnya. Upaya edukasi ini dapat dilakukan secara kolaborasi baik dari Mahkamah Agung, Komisi Yudisial dan Pemerintah kepada masyarakat. Hal ini dapat berjalan maksimal dengan memberikan edukasi kepada pelajar sejak di bangku SMA ataupun Kuliah.
Perlindungan kepada Hakim merupakan hal yang tak bisa disepelakan. Pasal 28 UUD NRI Tahun 1945 telah menjamin mengenai perlindungan diri pribadi terhadap ancaman kekerasan. Ditambah lagi Hakim (Mahkamah Agung) merupakan pelaksanan dari Kekuasaan Kehakiman yakni kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Menjadi konsekuensi logis untuk menciptakan putusan pengadilan yang independen dan imparsial, maka keamanan Hakim mestilah menjadi perhatian utama.
Selain itu, Pemerintah bersama DPR telah mencanangkan ketentuan pidana mengenai Contempt of court pada Pasal 280 – 281 Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Ketentuan pada pasal tersebut memberikan perlindungan mengenai integritas Hakim dalam persidangan dan memberikan sanksi terhadap orang yang mengganggu maupun menghalangi proses peradilan. Sanksi yang diatur dalam pasal tersebut berupa pidana denda kategori II (maksimal Rp.10.000.000) atau penjara paling lama 6 bulan. Hal ini dapat memperkuat wibawa lembaga peradilan dan sekaligus perlindungan kepada Hakim itu sendiri untuk menjalankan tugasnya dengan baik dan lancar dari gangguan orang / pihak lain.
Mewujudkan perlindungan dan keamanan kepada Hakim merupakan proses yang tidak sebentar. Dengan luasnya wilayah para Hakim bertugas, jumlah Hakim dan terbatasnya sumber daya keuangan untuk memberikan perlindungan secara optimal kepada Hakim. Maka, diperlukan upaya secara berkesinambungan dan bertahap. Upaya tersebut semata-mata dalam rangka menunjang implementasi hukum yang berkeadilan di masyarakat dengan memberikan rasa aman bagi Hakim dalam menjalankan tugasnya. ()