MUI Tegas Menentang Perkawinan Beda Agama

oleh : Oliviani Yanto

(Internship Advokat Konstitusi)

Mahkamah Konstitusi (MK) mengadakan sidang pleno perkara nomor 24/PUU-XX/2022 yang diajukan oleh E. Ramos Petege sebagai Pemohon (15/6) di Jakarta, Gedung MK. Latar belakang pengajuan permohonan karena Pemohon yang merupakan seorang yang beragama Katolik berkeinginan untuk menikah dengan perempuan beragama islam tetapi perkawinan tersebut dibatalkan karena UU Perkawinan tidak mengakomodir perkawinan beda agama. Dalam hal ini Pemohon merasa dirugikan karena kehilangan kemerdekaan dalam memeluk agama yang mana dalam perkawinan beda agama salah satu pihak akan tunduk pada agama yang dipilih dalam perkawinannya. Selain itu juga, hak Pemohon dalam membentuk keluarga terancam. Hak-hak Pemohon yang dirugikan termaktub dalam Pasal 28D ayat (1) serta Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945.

Dalam persidangan alasan pemohon ditentang tegas oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). “Ketentuan Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (2), dan Pasal 8 huruf f Ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 8 huruf f UU Perkawinan adalah konstitusional dan tidak bertentangan dengan UUD 1945 karena telah mendapatkan authoritative sources yang kuat, yaitu berdasarkan Alinea Ketiga dan Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945, dan 20 Pasal 29 ayat (1), dan ayat (2) UUD 1945. Oleh karena itu, MUI memohon agar MK berkenan memeriksa dan memutus dengan amar putusan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya” jelas Wakil Ketua Komisi Hukum dan Hak Asasi Manusia MUI, Syaeful Anwar, selalu Pihak terkait dalam persidangan.

Menurut pandangan MUI, perkawinan agama mengesampingkan ajaran sakral. Argumentasi Pemohon yang meminta pengesahan perkawinan beda agama ini, membuka peluang penyelundupan hukum bagi calon mempelai. Jadi, dalil ini bukan persoalan konstitusionalitas norma”. Lebih lanjut disampaikan oleh anggota Komisi Hukum dan Hak Asasi Manusia MUI yaitu Helmi Al Sjufri. Pertanyaan tegas Helmi menentang dengan tegas argumen Pemohon yang menyatakan bahwa melalui UU Perkawinan menghambat hak konstitusional Pemohon. Dengan demikian, polemik pertentangan perkawinan beda agama terus berlanjut namun pada prinsipnya hak konstitusional Pemohon tetap harus diperjuangkan mengingat Indonesia adalah negara hukum yang menjadikan konstitusi (UUD 1945) sebagai dokumen tertinggi dalam suatu negara sehingga harus dijunjung keberadaannya. ()