Oleh: Joshua
Kesal, marah, jengkel, mungkin itu respon sebagian besar masyarakat ketika menonton potongan video berisi statement seorang anggota parlemen yang memperjelas bahwa kekuasaan memang hanya berada di tangan segelintir orang, atau yang biasa disebut sebagai oligarki. Kekesalan semakin bertambah ketika mendengar cekikikan tawa orang-orang di ruangan yang seolah menjadi stempel pengesahan atas pernyataan tersebut. Pernyataan anggota DPR yang menyebutkan bahwa lobi utama untuk menjebolkan suatu regulasi berada di tangan “bos-bos” mereka seperti menegaskan bahwa public policy disusun secara tidak transparan.
Hannah Pitkin dalam bukunya “The Concept of Representation” sebenarnya sudah seperti memberi warning dari teori yang dikemukakannya. Salah satunya ialah menyebutkan teori perwakilan deskriptif, artinya para wakil merefleksikan kelompok yang ada di dalam masyarakat, tetapi tidak secara inheren melakukan sesuatu untuk konstituen. Hal itu nampak sesuai dengan kondisi saat ini yang mana parlemen menciptakan berbagai regulasi yang tidak sesuai keinginan konstituennya. Selain itu, keberadaan sistem yang mengelompokan orang-orang “berjaket” sama yang disebut sebagai fraksi dinilai juga menjadi biang kerok dalam masalah ini.
Menurut Fathan Mubiina dalam tulisannya yang berjudul “Kedudukan Fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Pasca Reformasi”, keberadaan fraksi dinilai menjadi masalah karena terlalu mengintervensi kedaulatan dan independensi anggota dewan di DPR RI. Secara realitas, mungkin kita masih bisa mengingat kejadian Lily Wahid yang menerima “sanksi” pergantian antar waktu karena tidak sejalan keputusan fraksi mengenai hak angket mafia pajak. Inilah yang membuat mayoritas anggota DPR hanya mengikuti instruksi fraksi yang sebenarnya hanya instruksi dari yang empunya kuasa.
Walaupun memang secara teoritis dan yuridis kita tidak dapat mengesampingkan peran anggota DPR sebagai party representation seperti sebagaimana yang telah disinggung oleh Anthony Birch, namun tentunya harus ada kesadaran bagi setiap anggota DPR yang telah dipilih oleh konstituen untuk memisahkan kapan dirinya bertindak sebagai wakil partai dan kapan dirinya bertindak sebagai wakil rakyat. Jangan sampai menurunkan derajat dirinya hanya menjadi beo para “pimpinannya”.
Selain kesadaran anggota, Partai Politik sendiri harus bertanggung jawab pada pemilihnya, atau lebih tepatnya kepada konstituen yang telah memilih calon-calon yang diusungnya. Dalam konteks ini, partai politik harus benar-benar merepresentasikan citranya sebagai penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 11 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Tentunya dengan memanfaatkan anggota-anggota mereka di Senayan.
Pemilu, Jangan Main Coblos
Walaupun kesal dengan pernyataannya, setidak-tidaknya kejadian kali ini menunjukan wajah-wajah sebenarnya dari orang-orang yang dipilih rakyat itu. Mumpung belum masuk masa kampanye, penulis rasa sah-sah saja untuk berpesan agar mampu memasang filter terhadap para calon wakil rakyat, ataupun calon wakil pimpinan partai. Oh ya, ada satu quotes yang menarik dari mantan Presiden Filipina Manuel Quezon, “My loyalty to my party ends when my loyalty to my country begins”. Semoga mampu diterapkan oleh bapak-ibu yang terhormat. ()