Oleb: Desi Fitriyani
(Internship Advokat Konstitusi)
Pandemi Covid-19 nyatanya tidak menjadi hambatan bagi pembuat undang-undang untuk membahas pengesahan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2019 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang selanjutnya disebut dengan UU Minerba. Pengesahan UU Minerba tersebut selanjutnya menuai kontroversi dalam masyarakat karena keburu-buruannya serta pelaksanaanya yang dilakukan di tengah pandemi. Sebenarnya kontroversi yang terjadi tidak hanya pada keterburu-buruan pembahasannya, namun juga bertajuk pada kepentingan mana yang ditujukan dalam undang-undang ini, hak DPD RI untuk turut serta dalam pembentukannya yang menjadi amanat Pasal 22D UUD NRI 1945, hilangnya hak veto masyarakat, hilangnya kewajiban reklamasi lahan pasca tambang, kurangnya peran negara melalui BUMN maupun BUMD dalam menguasai sumber daya alam ini, dan masih banyak lagi. Tentunya beberapa kelemahan ini membawa konsekuensi bahwa undang-undang ini cacat prosedural dan substansi, sehingga jelas bahwa undang-undang ini layak untuk diuji oleh Mahkamah Konstitusi. Dalam tulisan ini, Penulis akan melakukan elaborasi lebih lanjut terkait kurangnya peran negara untuk menguasai sumber daya alam melalui UU Minerba. Padahal hak menguasai oleh negara melalui BUMN dan BUMD merupakan perwujudan demi kemakmuran rakyat yang merupakan bagian dari tujuan negara Indonesia yang termuat dalam pembukaan UUD NRI 1945 dan sesuai dengan reforma agraria.
Penguasaan negara atas sumber daya mineral dan batu bara di Indonesia merupakan sebuah konsep yang telah memiliki legalitas. Hal ini sebagaimana tertuang dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Ketentuan tersebut nyatanya telah menjadi doktrin penguasaan negara dan sekaligus menjadi landasan filosofis serta yuridis dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia (Marthen, 2019). Hak menguasai negara terdiri dari kebijakan (beleid), pengaturan (regelendaad), melakukan pengaturan (regelendaad), melakukan pengurusan (bestuurdaad), melakukan pengelolaan (beheersdaad), dan melakukan pengawasan untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Mengenai pengelolaan sumber daya alam, Mahkamah Konstitusi mengatakan bahwa bentuk penguasaan negara peringkat pertama dan yang paling penting adalah negara melakukan pengelolaan secara langsung. Adapun pengelolaan secara langsung adalah oleh negara melalui BUMN. Dalam hal ini, sudah seharusnya substansi yang ada dalam UU minerba adalah memberikan pengelolaan sebesar-besarnya pada BUMN dan BUMD sebagai perusahaan negara. Akan tetapi, dalam naskah UU Minerba ini peran BUMN maupun BUMD untuk melakukan penguasaan sangat terbatas dan tidak dijadikan sebagai pihak utama dalam melakukan pengelolaan tambang. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tindakan pembentuk undang-undang ini telah melakukan contempt of court dan bahkan dapat dikatakan sebagai contempt of constitution karena tidak mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi sebagai the guardian of the constitution.
Jika melihat naskah akademik dari UU Minerba ini, maka dapat ditemui salah satu asas yang melatar belakangi pembentukan undang-undang ini, yakni untuk memberikan kemanfaatan sebesar-besarnya pada rakyat. Hal tersebut sesuai dengan pandangan Jeremy Bentham “the greatest happiness principle”. Namun, konsep kemanfaatan atau utility tersebut sekali lagi tidak koheren dengan substansi yang ada pada UU Minerba. Kemanfaatan dapat diukur dari hasil pertambangan yang akan banyak memberikan kemanfaatan bagi masyarakat.
Nyatanya sebagian besar tambang justru dikelola oleh pihak swasta melalui undang-undang ini yang tentunya akan memberikan sedikit dividen untuk negara. Bayangkan saja pihak swasta hanya memberikan 1.5% hasil dari pertambangan ke tiap daerah yang merupakan tempat lahan pertambanganya. Tentu ini menjadi jauh berbeda ketika tambang akan dikelola oleh negara melalui BUMN dan BUMD. Sebagai perusahaan negara, BUMN, dan BUMD memiliki konsep bahwa negara menjadi pemegang saham terbesar yaitu minimal 51% bahkan seluruh saham dapat berasal dari negara. Dengan demikian, ketika tambang dikuasai negara maka negara akan memperoleh dividen yang lebih besar. Tentunya dividen yang masuk tersebut akan digunakan untuk pembangunan yang akan bermuara pada kemakmuran rakyat.
Melihat krusialnya undang-undang ini, maka sudah sepatutnya penguasaan mineral dan batu bara berada di tangan negara, dengan pengelolaan secara langsung oleh BUMN ataupun BUMD. Namun, sekali lagi undang-undang tersebut tidak memberikan kekuasaan secara langsung ataupun prioritas kepada BUMN maupun BUMD. Faktanya dalam undang-undang ini memberikan ruang gerak yang lebih kepada para korporasi untuk mengeruk hasil alam. Hal demikian karena mereka dijamin memperoleh perpanjangan izin hingga 20 tahun lamanya bahkan dapat memperluas wilayah tambangnya. Legalitas tersebut sebagaimana tertuang dalam Pasal 169A Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dan Pasal 62 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 7 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan Pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Tentunya, kebebasan tersebut telah mereduksi hak rakyat Indonesia apabila bersandar pada Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945, dalam hal ini pengelolaanya seharusnya berada di tangan BUMN maupun BUMD .
DAFTAR PUSTAKA
Marthen B. Salinding, “Prinsip Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara yang Beripihak Kepada Masyarakat Hukum Adat”, Jurnal Konstitusi, Vol. 16, Nomor 1, Maret 2019.
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 7 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan Pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 001-002-022/PUU-I/2013.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-X/2012.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara ()