Oleh: Bagas Wahyu Nursanto
Sebagai Negara hukum yang berbasis demokrasi, Indonesia menempatkan lembaga legislatif sebagai lembaga perwakilan dalam mewakili rakyat untuk menentukan peraturan yang ada sesuai dengan kehendak rakyat itu sendiri karena sejatinya kedaulatan ada ditangan rakyat. Pandangan ini didasarkan atas basis teoritis yang dikemukakan oleh C.F Strong bahwa dalam demokrasi suatu sistem pemerintahan yang mayoritas anggota dewasa dari suatu komunitas politik berpartisipasi atas dasar sistem perwakilan yang menjamin bahwa pemerintah akhirnya mempertanggungjawabkan tindakan-tindakannya kepada mayoritas itu (Strong, 1963:13). Karena itu pula pembentukan undang-undang secara mutatis mutandis harus menggunakan pendekatan kerakyatan serta keadilan sosial didalamnya yang mengandung pertanggungjawaban pula kepada rakyat.
Namun, realita nya terdapat pergeseran fungsi legislasi yang tidak berimbang. Padahal politik hukum pembentukan lembaga legislatif pasca amandemen adalah menghilangkan paradigma executive heavy dalam pemerintahan, namun yang terjadi sekarang malah sebaliknya yakni memunculkan praktik legislative heavy yang terletak pada DPR.
Sejatinya, menurut penulis hal ini baik untuk diterapkan karena DPR memegang peran sebagai perwakilan dari rakyat dalam pengejawantahan kedaulatan rakyat di Indonesia dengan paradigma kerakyatan pula. Namun, yang terjadi justru tidak demikian, DPR mengatasnamakan rakyat berusaha mendistorsi kedaulatan rakyat itu sendiri. Lebih lanjut, dalam UUD 1945 hasil amandemen, larangan-larangan yang secara limitatif membatasi kewenangan legislatif tidak diatur secara jernih sehingga DPR dapat berbuat sesuka hati dan sewenang-wenang (Benny, 2001:54).
Analisa penulis dalam proses legislasi menggunakan paradigma hukum yang tidak bijaksana. Sebagai contoh pada 2019 lalu bahwa para legislator (DPR, DPD, dan Presiden) tetap melanjutkan pembahasan bahkan melakukan pengesahan terhadap beberapa Rancangan undang-undang yang ditolak oleh elemen masyarakat hingga terjadi penolakan besar-besaran secara meluas di Indonesia. seperti yang telah disahkan Rancangan Undang-Undang perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (yang kemudian telah disahkan dan diundangkan menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua 9 Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU No. 19 Tahun 2019), kemudian pembahasan RUU Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Rancangan Undang-undang tentang Pertanahan, dan Rancangan Undang-undang tentang Ketenagakerjaan yang terdapat beberapa pasal bermasalah didalamnya.
Terbaru adalah bagaimana sikap DPR yang tetap melanjutkan pembahasan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang berbentuk Omnibus Law yang juga secara konsisten mulai dari pengusulan hingga pembahasan masyarakat secara meluas tetap menolak untuk dibahas RUU ini ditambah pembahasan RUU Omnibus Law ini dilakukan pada saat Indonesia sedang mengalami pandemi Covid 19, bukankah seharusnya DPR lebih fokus kepada penyelesaian pandemi ini. Hal ini adalah gambaran bagaimana hukum berjalan di Indonesia dalam konteks kekuasaan legislasi.
Persinggungan hukum dengan realitas politik memang sesuatu yang mutlak, namun penekanannya adalah bagaimana realitas politik dapat menerapkan hukum yang baik. Karena sejatinya memang hukum adalah produk politik dari pada lembaga legislatif yang ada. Produk hukum tersebut dikeluarkan secara demokratis melalui lembaga yang terhormat, namun muatannya tidak dapat dilepaskan dari kekuatan politik yang ada di dalamnya (Mahfud, 1998:24). Sehingga dalam pemberlakuan hukum dibuka kemungkinan untuk menerapkan paradigma yang beragam dalam pergumulan praktik politik bisa secara bijaksana maupun tidak.
Dalam realita yang terjadi pada DPR nampaknya DPR terlalu menerapkan paradigma hukum secara legisme. Legisme sendiri ialah aliran yang memaknai hukum hanya sebagai undang-undang, sehingga tidak ada hukum di luar undang-undang (Lili, 2004:56). Sehingga kesan DPR hanya menjalankan undang-undang sebagai legitimasi hukum dengan mengesampingkan nilai-nilai diluar daripada itu menjadi kenyataan. Selaras dengan hal tersebut penulis berpandangan bahwa DPR mengedepankan paradigma positivisme hukum dalam melakukan proses legislasi.
Perlu dipahami bahwa positivisme hukum memandang sistem hukum sebagai suatu sistem yang logis, tetap, dan bersifat tertutup di mana keputusan-keputusan hukum yang benar / tepat dapat diperoleh dengan alat alat logika dari peraturan-peraturan hukum yang telah ditentukan sebelumnya tanpa memperhatikan tujuan-tujuan sosial, politik, dan ukuran-ukuran moral (Lili, 2004:58).Akibatnya adalah terjadinya pengikisan kepercayaan publik kepada DPR hingga kualitas hukum yang dihasilkan sangatlah tidak baik. Gambaran ini merupakan dasar berfikir untuk meletakan urgensi penataan pola hubungan hukum dan politik dalam upaya merajut penegakan hukum yang berkeadilan.
Ditambah dalam hal legislasi di Indonesia terdapat pendistorsian kewenangan legislasi yang dimiliki oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagai lembaga legislatif di Indonesia. Bahwa yang terjadi dalam praktik politik ketatanegaraan DPD keikutsertaan dalam proses legislasi masih sangat minim, hal ini dikarenakan ketidak tegasan konstitusi untuk mengatur penguatan DPD sebagai lembaga legislatif yang murni (Pasal 22 D UUD 1945 yang membatasi kewenangan DPD sebagai lembaga legislatif tidak seperti kewenangan yang dimiliki oleh DPR sebagai lembaga legislatif lainnya pula) serta batasan kewenangan dalam bingkai sistem presidensial di Indonesia serta praktik politik yang belum memberikan kewenangan DPD secara penuh. Hal tersebut dibuktikan dengan fakta bahwa dari 247 RUU dalam Daftar RUU Prolegnas 2010-2014, tidak ada satu pun RUU yang dinyatakan sebagai RUU yang berasal dari DPD. Padahal dalam kurun waktu tersebut DPD telah berusaha untuk mengajukan usul RUU kepada DPR.
Padahal kehadiran DPD juga ditujukkan untuk menegaskan bahwa kepentingan kedaerahan dalam konteks Negara kesatuan dapat terjamin dalam konstitusi. Dalam hal ini, DPD juga diharapkan hadir sebagai lembaga yang mampu membantu untuk mengatasi kesenjangan antara pusat dan daerah sesuai semangat otonomi daerah yang menjamin keadilan, demokrasi, dan jaminan keutuhan integritas wilayah negara (Jimly, 2005:172). Dalam proses legislasi di Indonesia masih terdapat permasalahan baik dalam tataran praktik maupun kelembagaan padahal melalui pintu ini pembangunan hukum di Indonesia dapat terejawantahkan.
Pentingnya Paradigma Legisprudence dalam Proses Legislasi di Indonesia
Memahami realitas permasalahan diatas dapat diteropong dengan basis pendekatan aliran hukum progresif dengan penekanan pentingnya menegaskan prinsip konstitusionalisme serta analisis dalam penerapannya. Penulis menegaskan dalam proses pembentukan hukum sekalipun pentingnya penerapan paradigma hukum progresif sangatlah penting disamping pembenahan political will dan juga permasalahan teknis yang harus dibenahi. Penulis mengusulkan paradigma para legislator harus diubah bukan hanya menempatkan undang-undang sebagai pengejawantahan supremasi hukum namun jauh daripada itu harus dipandang sebagai supremasi keadilan sosial bagi masyarakat.
Penekanannya adalah bahwa supremasi hukum tidak sama dengan supremasi Undang-Undang yang sekedar memencet tombol, tetapi yang harus terbangun dalam pikiran kita ialah keunggulan dari keadilan dan kejujuran (Satjipto, 2003:119-120). Untuk itulah dalam proses penyusunan undang-undang sekalipun DPR, DPD, Presiden juga harus melihat aspirasi rakyat secara menyeluruh dan realitas sosial yang terjadi di masyarakat dalam konteks respon masyarakat terhadap rancangan undang-undang. Karena menjadi sebuah realita sosial bahkan penulis telah menjelaskan sebelumnya, bahwa seringkali terjadi bahwa kehendak rakyat justru tidak dikonstruksikan dalam undang-undang yang dibuat oleh lembaga legislatif.
Hal ini bagi penulis penting untuk dilakukan kritik terhadap paradigma lembaga legislatif dalam penyusunan undang-undang. Konstruksi hukum atau Undang-Undang penempatan posisi rakyat sebagai pemegang peran (role occupat) dan dilacak (trace) secara paradigmatik, apakah perangkat hukum dan Undang-Undang tersebut telah mempergunakan paradigma kontrol, sosial, paradigma nilai, paradigma institusi atau atau paradigma ideology (Artidjo, 1999:335-3360.
Dalam tataran teknis penerapan paradigma hukum progresif ini misalnya dapat dilakukan dengan menerapkan beberapa mekanisme teknis. Mekanisme teknis ini ditujukan untuk menciptakan produk hukum yang berkualitas dan partisipatif. Pembangunan hukum dalam perspektif ini dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan legisprudence. Basis pendekatan ini adalah ilmu hukum tidak hanya sebatas ilmu soal aplikasi peradilan atas perundang-undangan atau legal science is not a science of the judicial application of rules (Wintgens, 2006:2), jauh daripada itu bahwa teori hukum bukan hanya penerapan aturan melainkan juga pembentukan aturan.
Dalam kacamata Legisprudence kritis, perundang‐undangan di bawah doktrin‐ doktrin yang menjebak pada pola berfikir hukum sebagai sesuatu yang sakral, dimitoskan serta menjadi simbol instrumental represif, akan melahirkan pola‐ pola yang cenderung mengarah pada otoritarianisme politik‐ekonomi yang difasilitasi melalui proses transaksi politik legislasi. Hasil dari proses transaksi politik yang demikian akan memudahkan memetakan bahwa perundangan hasil proses persilatan lidah politisi di parlemen membuka jalan bagi berlangsungnya fasisme berbentuk teks‐teks tertulis dan berlaku bagi rakyat untuk mentaatinya. Fasisme perundangan inilah yang akan terjadi bila kita tidak rajin‐rajin mengkritisi doktrin‐doktrin di balik teori‐teori legislasi yang bersandar pada pemikiran rule of law (Herlambang, 2005:15).
Untuk itu penekanan pembentukan undang-undang dapat terejawantahkan dengan menyaring aspirasi masyarakat secara langsung dimana dapat dilakukan dengan cara audiensi, advokasi, survey, jajak pendapat, hingga pemberian ruang partisipasi dalam proses penyusunan RUU oleh masyarakat baik perorangan hingga kelompok seperti melibatkan lembaga advokasi, lembaga HAM, LBH, hingga kelompok kelompok penyintas atau korban daripada suatu pelanggaran (seperti HAM) untuk membahas seputar regulasi RUU terkait.
Proses partisipatif mensyaratkan dua hal, pertama DPR meletakkan dirinya sebagai kekuatan politik formal masyarakat dan tidak memerankan diri sebagai konseptor undang-undang apalagi memonopoli proses lahir hingga evaluasi produk undang-undang. Proses partisipatif menurut Habermas mensyaratkan memperluas perdebatan politis dalam parlemen ke masyarakat sipil (Fransisco, 2001:46). Pengambilan keputusan politik bukan hanya aparat Negara dan wakil rakyat, melainkan juga seluruh warga negara berpartisipasi di dalam wacana bersama. Kedaulatan rakyat bukanlah substansi yang membeku di dalam perkumpulan para wakil rakyat, melainkan juga terdapat dalam pelbagai forum warganegara, organisasi non pemerintah, gerakan sosial. Kedua, mensyaratkan organisasi masyarakat sipil menjadi kekuatan intelektual mengkaji dan merumuskan hukum masyarakat.a ()