MINIMNYA REGULASI BAGI WARTAWAN KORBAN KEKERASAN FISIK DALAM MELAKSANAKAN TUGAS PROFESI

Oleh: Annisa Diana Pratiwi

(Internship Content Creator @advokatkonstitusi)

Setiap masyarakat berhak mendapat dan mengetahui informasi publik yang terjadi disekitarnya lewat berita yang didapat oleh wartawan dan disiarkan di media massa. Wartawan bertugas mengumpulkan informasi untuk disampaikan kepada masyarakat dan kegiatannya tak bisa dipisahkan dengan aktivitas masyarakat. Berita yang didapat selanjutnya disebarluaskan lewat media massa seperti koran, majalah, TV, radio atau berita elektronik. Namun, pada saat menjalankan tugasnya, tidak sedikit wartawan yang mengalami pengeroyokan saat bertugas. Hal ini terjadi karena beberapa hal, salah satunya adalah masyarakat atau oknum yang menolak berita negatif yang disiarkan wartawan tersebut karena dianggap merusak citranya. Hal lain yang memicu pengeroyokan wartawan adalah masyarakat terprovokasi dengan kerja jurnalistik yang bombastik, tidak akurat, jauh dari realita, maupun terlalu mencampuri privasi seseorang.

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers mencatat kekerasan terhadap jurnalis mencapai 114 kasus pada 2020. Angka ini naik 32% dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 79 kasus. Bila dilihat secara rinci, kasus intimidasi atau kekerasan verbal terhadap jurnalis yang paling banyak terjadi tahun 2020. Kasus sejak 2006 hingga 2021 tercatat sebanyak 848 kasus dengan perincian sebagai berikut, kekerasan fisik terjadi sebanyak 258 kasus, pengusiran atau pelarangan liputan 92 kasus, 77 ancaman terror, 58 perusakan alat atau data hasil peliputan, dan 41 ancaman kekerasan. Sedangkan untuk pelaku kekerasan terhadap wartawan, pelaku terbanyak dari massa dan polisi yakni sebanyak 60 kali, tidak dikenal atau tidak memiliki identitas yang jelas 36 kali, dan orang tidak dikenal 17. Sedangkan untuk kota terbanyak adalah Jakarta dengan 60 kasus.