Pasal 411 RKUHP, Upaya Pemidanaan atau Legalisasi Zina

Oleh: Michael

Per 6 Desember 2022, DPR telah menyetujui RKUHP sebagai undang-undang dalam pengambilan keputusan tingkat II. Meski telah memakan waktu yang lama untuk menyerap aspirasi rakyat, masih banyak pasal dalam RKUHP yang menyebabkan kontroversi. Salah satunya adalah ketentuan terkait perzinaan. Perzinaan yang sebelumnya hanya dapat dikenakan pada mereka yang sudah menikah, namun sekarang juga diperluas pengenaannya bagi “Setiap Orang” [1]. Lantas bagaimana implikasinya bagi teman-teman constituzen yang barangkali sedang menikmati masa mudanya  ? Bagaimana dampaknya bagi peraturan daerah yang memang sudah melarang perbuatan zina selama ini ?

Memang benar, kalau sekarang setiap Orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya akan dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak sepuluh juta rupiah. Namun terhadap tindak pidana ini, statusnya adalah tindak pidana aduan. Yang mana pengadu hanya terbatas pada suami atau istri bagi mereka yang terikat perkawinan, sedangkan bagi mereka yang tidak terikat perkawinan oleh Orang Tua dan Anaknya [2]. Selain “Persetubuhan” sebagai tindak pidana zina, ada jenis perzinaan lainnya yang diatur dalam Bab XV RKUHP yaitu kohabitasi. Kohabitasi sendiri merupakan tindak pidana mengenai setiap orang yang hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan. Terhadap pelanggaran pada pidana kohabitasi ini nantinya akan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak sepuluh juta rupiah. Sedangkan jenis daripada pidana ini masih sama dengan pidana zina pada Pasal 411 yaitu Delik Aduan

Nantinya dalam hal penegak hukum ingin menindak tindak pidana zina, hanya dapat dilakukan apabila dilakukan pengaduan oleh suami atau istri; dan Orang Tua dan Anaknya. Selain itu hal yang menarik daripada ketentuan ini adalah mengenai pencabutan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kohabitasi yang telah berlaku sebelum adanya peraturan perundang-undangan ini [4]. Hal yang menjadi cukup menarik adalah mengenai “Legislatif Review” yang digunakan untuk membatalkan ketentuan Kohabitasi lainnya di luar RKUHP, belum ada dasar hukumnya dalam peraturan perundang-undangan. Legislatif Review sendiri merupakan proses pengujian peraturan perundang-undangan oleh lembaga legislatif. Terhadap ketentuan yang ada dalam Penjelasan Pasal 412 RKUHP, terlihat bahwa lembaga legislatif telah melakukan pembatalan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang mengatur kohabitasi. Padahal, kewenangan legislatif review untuk membatalkan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang di Indonesia belum diatur secara peraturan perundang-undangan.

Salah satu teori hukum yang seringkali dipelajari sebagai seorang mahasiswa hukum adalam Teori Stufenbau. Teori Stufenbau sendiri merupakan teori mengenai sistem hukum yang menyatakan bahwa sistem hukum merupakan sistem anak tangga dengan kaidah berjenjang, bahwa norma hukum yang paling rendah harus berpegang pada norma hukum yang lebih tinggi, dan kaidah hukum yang tertinggi harus berpegang pada norma hukum yang paling mendasar. Selain itu teori lex superiori derogat lex inferiori juga menyatakan bahwa hukum yang lebih tinggi mengesampingkan hukum yang lebih rendah. Dengan menilik pada ketentuan tersebut, maka sebenarnya Legislatif Review yang ada pada ketentuan RKUHP tidak bertentangan dengan asas hukum yang ada karena memang sudah seharusnya peraturan perundang-undangan yang berada dibawah undang-undang untuk tidak bertentangan dengan undang-undang selaku peraturan yang posisinya lebih tinggi.

Selain berkaitan dengan Teori Stufenbau, legislatif review yang diatur dalam RKUHP ini juga beririsan dengan otonomi daerah. Hal ini dikarenakan pembatalan ketentuan kohabitasi yang ada pada peraturan perundang-undangan lainnya diatur di dalam Peraturan Daerah. Oleh karenanya supaya pembatalan peraturan daerah terkait kohabitasi sesuai dengan prinsip otonomi daerah, seharusnya unsur daerah dilibatkan dalam hal suatu legislatif review ingin membatalkan suatu peraturan daerah. Dalam hal ini menurut penulis, seharusnya Dewan Perwakilan Daerah lah yang harus dilibatkan, terhadap segala kewenangan legislatif review yang ingin membatalkan Peraturan Daerah.

Akan selalu terdapat Pro dan Kontra terhadap pengaturan zina yang ada dalam RKUHP. Banyak orang yang beranggapan bahwa perbuatan di dalam kamar adalah ranah privat, sehingga mendukung pemberlakuan yang ada dalam RKUHP. Terdapat juga daerah yang selama ini menjadikan ketentuan zina sebagai delik umum, namun merasa kurang puas karena dibatalkannya ketentuan tersebut oleh RKUHP. 

Penulis tidak dalam hal menghakimi mana yang benar dan salah. Namun menjadi sangat penting untuk menjaga kewenangan legislatif review untuk diatur dalam peraturan perundang-undangan, supaya dalam pelaksanaannya benar-benar mendengarkan aspirasi segala pihak.

REFERENSI

[1] – Pasal 411 Ayat (1) RKUHP 

[2] – Pasal 411 Ayat (2) RKUHP 

[3] – Pasal 412 RKUHP

[4] – Penjelasan Pasal 412 RKUHP ()