Pembangunan hingga Pemasaran unit Menjadi Polemik, Ada Apa dengan Meikarta?

Oleh: Clarrisa Ayang Jelita

(Internship Content Creator @advokatkonstitusi)

Meikarta resmi diluncurkan oleh PT Lippo Karawaci Tbk di Cikarang, Kabupaten Bekasi pada 2017. Meikarta merupakan proyek kota terencana dengan nilai investasi proyek mencapai Rp 278 triliun. Pada saat itu untuk tujuan promosi banyak sekali serbuan iklan di televisi yang mengusung konsep Meikarta yaitu kota masa depan dengan jargon “Aku ingin pindah ke Meikarta”. Meikarta direncanakan akan memiliki gedung pencakar langit mencapai angka 100 dengan susunan 35-46 lantai. Proyek Meikarta di lahan 500 hektar merupakan proyek dan portofolio terbesar selama kiprah Lippo Group di industri ini. 

Pada mulanya terdapat sejumlah tokoh politik yang ramai-ramai mendukung proyek Meikarta tersebut, seperti Ketua MPR yaitu Zulkifli Hasan hingga Ketua Umum Partai NasDem yaitu Surya Paloh. Namun, terdapat juga beberapa tokoh yang menolak pembangunan meikarta seperti Wakil Gubernur Jabar saat itu, Deddy Mizwar. Deddy Mizwar sempat meminta Lippo Group menghentikan sementara pembangunan proyek Meikarta karena permasalahan izin pembangunan di lahan 500 hektar tersebut.

Para pembeli unit Meikarta mengeluh karena unit tersebut  tak kunjung diterima sejak 2019. Keluhan tersebut tidak datang dari hanya satu atau dua pembeli namun mencapai angka 100 pembeli sehingga hal tersebut menjadi perbincangan di antara warganet. Terlebih lagi, para pembeli apartemen Meikarta berkeluh-kesah di media sosial sampai menggelar demo terkait permasalahan yang terjadi, mereka merasa dirugikan karena unit tak kunjung didapat setelah bertahun-tahun melakukan perjanjian jual beli.

Pasalnya apabila didasarkan pada konfirmasi pemesanan atau Penegasan dan persetujuan Pemesanan Unit (P3U) seharusnya serah terima unit apartemen dilakukan pada pertengahan 2019 hingga 2020 oleh PT Mahkota Sentosa Utama (MSU) selaku perusahaan yang berafiliasi dengan Grup Lippo kepada konsumen. Namun, hingga saat ini para pembeli belum menerima unit yang dijanjikan. Para pembeli unit yang merasa dirugikan akhirnya sempat menghubungi PT MSU yang seharusnya melakukan penyerahan unit apartemen meikarta. Namun PT MSU meminta para pembeli menunggu grace period selama enam bulan. 

Waktu menunggu grace period selama 6 bulan tersebut sebelumnya tidak ada dalam perjanjian awal. Parahnya, Grace period tersebut kemudian mundur menjadi lebih lama yaitu 18 bulan. Setelah grace period 18 bulan tersebut berakhir, konsumen Meikarta kembali menghubungi PT MSU hingga melakukan pengecekan di lokasi pembangunan. Para konsumen Meikarta mendeskripsikan bahwa keadaan pembangunan di Meikarta masih mangkrak. Terdapat 3 unit tower apartemen dengan keadaan masih mangkrak  yang terletak di distrik 2 proyek Meikarta Cikarang. Kemudian, terdapat pula 2 unit bangunan rumah toko atau ruko yang juga masih dalam keadaan mangkrak. 

Rumput-rumput liar yang tumbuh tinggi di sekitar pun menambah kesan mangkrak di distrik 2 tersebut. Para konsumen mengatakan bahwa suasana distrik 2 terasa sepi dan tidak terlihat pekerja proyek yang beraktivitas mengerjakan pembangunan. Keadaan lapangan yang seperti itu membuat para konsumen semakin cemas atas nasib unit apartemen yang mereka beli. Polemik permasalahan mengenai pembangunan dan pemasaran Meikarta juga datang dari sisi hukum dimana pemasaran apartemen Meikarta di Bekasi, Jawa Barat dianggap telah melanggar Undang-Undang No 20 tahun 2011 tentang Rumah Susun oleh Ombudsman RI. 

Pemasaran dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) dilakukan sebelum progres pembangunan unit meikarta belum mencapai 20%. Hal ini melanggar Pasal 16 UU Rumah Susun mengatur bahwa Pelaku pembangunan rumah susun komersial dalam memasarkan rumah susun wajib menyediakan rumah susun umum sekurang-kurangnya 20% dari total luas lantai rumah susun komersial yang dibangun. Angka 20 % tersebut harus sudah tercapai saat sebelum melakukan PPJB dengan pembeli. Kemudian, Pasal 43 ayat (2) UU Rumah Susun mengatur lebih lanjut mengenai PPJB. 

Dalam pelaksanaan PPJB harus dipenuhi beberapa hal yaitu status kepemilikan tanah, kepemilikan IMB, ketersediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum dan yang terakhir adalah keterbangunan paling sedikit 20% (dua puluh persen). Jika pengembang tidak memenuhi ketentuan progres 20 persen tersebut dan tetap melaksanakan pemasaran hingga PPJB. Maka,  pengembang bisa dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp20 miliar. Ketentuan tersebut sudah tercantum dengan jelas pada pasal 97 UU Rumah Susun.

Banyaknya polemik yang terjadi dalam pemasaran hingga pembangunan Meikarta menjadi pertimbangan untuk penyelesaian secara jalur hukum. Sehingga, perlu untuk menghentikan segala kegiatan atau aktivitas pembangunan hingga pemasaran meikarta untuk seharusnya ditempuh penyelesaian secara jalur hukum terlebih dahulu.

 Konsumen yang merasa dirugikan dapat menggugat MSU selaku pengembang proyek meikarta ke pengadilan negeri dengan klasifikasi perkara gugatan perdata yaitu  wanprestasi sehingga konsumen mendapatkan uangnya kembali. Gugatan terhadap MSU juga sudah dilakukan oleh beberapa konsumen, salah satunya yang terbaru diajukan oleh Kabchul Choi pada 19 januari 2023 kemarin. 

Penggugat meminta pengadilan menyatakan bahwa perjanjian jual beli apartemen meikarta serta penegasan dan persetujuan pemesanan unit nomor 002944/PPPU-MSU/07/2017 untuk dibatalkan. Tergugat dianggap telah melakukan wanprestasi atas perjanjian jual beli apartemen meikarta oleh penggugat. sehingga, penggugat meminta pengembalian uang secara tunai terhadap MSU sebesar Rp 1,1 Miliar dengan rincian booking fee senilai 2 juta, down payment sebesar Rp78,3 juta, harga yang disepakati termasuk PPN mencapai Rp 803,6 juta, dan yang terakhir denda keterlambatan dan kelalaian selama 29 bulan sebesar Rp 233 juta.Dengan melayangkan gugatan perdata terhadap MSU, maka konsumen yang dirugikan bisa mendapatkan uang tunai kembali akibat wanprestasi. ()