Oleh : Desi Fitriyani
(Internship Advokat Konstitusi)
Kepulauan Spermonde yang terletak di provinsi Sulawesi Selatan, masuk ke dalam segitiga karang dunia dengan total 262 spesies karang (Samarjitho, 2019). Tentunya hal tersebut telah menjadi kebanggaan Indonesia, namun sejak 12 tahun terakhir telah terjadi perusakan terumbu karang yang parah akibat penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan yang menjadi bencana tentunya bagi kepulauan Spermonde.
Bencana tersebut kemudian semakin parah, tepatnya pada Agustus 2020, dimana tidak hanya berdampak pada manusia, namun juga berdampak pada keberlangsungan hidup biota laut. Biota laut yang dimaksud adalah ikan, terumbu karang, padang lamun, mangrove, dan lainnya yang secara keseluruhan dikatakan sebagai Sumber Daya Alam (SDA). Fenomena ini berlangsung sejak adanya aktivitas penambangan pasir laut oleh kapal Queen of the Netherlands milik PT. Royal Boskalis Internasional. Bagaimana tidak? penambangan dilakukan di area dekat pantai yaitu sekitar 8 mil. Secara legalitas hal tersebut tidak disalahkan, karena telah diatur dalam ketentuan Pasal 46 ayat (3) Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 2 Tahun 2019 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2019-2039 yang selanjutnya disebut PERDA No 2/2019.
Dalih yang melindungi PT. Royal Boskalis adalah PERDA No 2/2019, selain itu aktivitas tersebut sebenarnya merupakan bagian dari realisasi program nasional Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo yang tujuan utamanya mendorong peningkatan kawasan industri. Tujuannya sudah sangat baik namun tidak proporsional, karena tidak memperhatikan dampak panambangan pasir yang dilakukan terhadap SDA yang ada di perairan Spermonde. Padahal, SDA pun memiliki kedaulatan lingkungan secara jelas yang diatur dalam Pasal 25A, Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 33 ayat (3) dan ayat (4) yang selanjutnya dapat kita sebut hak lingkungan.
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka jelas bahwa Indonesia telah menerapkan green constitution untuk melindungi SDA yang ada. Namun nyatanya hak atas lingkungan terhadap SDA telah dikerdilkan dengan adanya penambangan pasir. Ikan tenggiri yang dulunya mudah didapatkan sekarang menjadi susah, dikarenakan habitatnya telah terganggu oleh air yang mengeruh, karang-karang hancur karena adanya kerukan pasir. Fenomena tersebut secara gamblang diungkapkan oleh Rustan, salah satu nelayan di Kepulauan Spermonde (Nurdin, 2020).
Dalam rangka mengatasi permasalahan tersebut, maka penulis menawarkan solusi yaitu proporsionalitas antara pembangunan nasional dan SDA yang ada. Hal tersebut tidak lain dikarenakan antara pembangunan dan SDA merupakan dua hal yang harus beriringan. Konkritnya adalah agar pembangunan tetap jalan dalam rangka memenuhi tujuan peningkatan kawasan industri dan SDA di kepulauan Spermonde tetap terjaga, maka penampangan pasir dilakukan di atas 8 mil, karena kendatipun telah memiliki legalitas, namun yang penting diperhatikan juga adalah kemanfaatan. Hal tersebut sejalan dengan tujuan hukum yang kasuistis, artinya tidak hanya tujuan hukum yang utama adalah keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Namun, hierarkinya bersifat dinamis tergantung dari kebutuhan.
Pilihan prioritas yang sudah dibakukan kadang- kadang justru bertentangan dengan kebutuhan hukum dalam kasus- kasus tertentu. Dalam kasus tertentu, keadilan justru yang lebih diprioritaskan daripada kemanfaatan dan kepastian, begitupun sebaliknya. Tapi untuk kasus-kasus lain, justru kemanfaatanlah yang diprioritaskan ketimbang keadilan dan kepastian. Mungkin juga dalam kasus lain justru kepastian yang harus diprioritaskan ketimbang keadilan dan kemanfaatan. Hal ini sejalan dengan pendekatan ekosentris. Dalam pendekatan ekosentris, kedudukan manusia tidak ditempatkan di luar lingkungannya, melainkan antara keduanya merupakan satu kesatuan utuh yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya.Dengan demikian, setiap kegiatan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia seyogianya selalu diimbangi dengan peningkatan kualitas atau perbaikan terhadap fungsi lingkungan (Mukhlis, 2011:166). Dengan demikian, perlindungan keduanya yaitu antara pembangunan nasional dan SDA harus jalan beriringan.
Terhadap hak atas lingkungan, dikenal pula asas keadilan lingkungan atau environmental justice. Asas ini menekankan bahwa terdapat akses yang sama bagi semua anggota masyarakat untuk ikut dalam menentukan kebijakan pengelolaan dan pelestarian serta pemanfaatan SDA (M. Yasir dan Yati, 2020:50). Dalam asas ini maka jelas solusi yang Penulis tawarkan sangat dimungkinkan untuk diwujudkan. Oleh karena itu, perlunya dilakukan revisi terhadap PERDA No 2/2019 demi memproporsionalitaskan keduanya. Tentunya hak lingkungan terhadap SDA haruslah diperjuangkan, karena jika bukan manusia yang memperjuangkannya maka siapa lagi? SDA mungkin merupakan makhluk hidup namun, tidak mungkin bagi mereka untuk memperjuangkan hak- haknya. Sehingga sebagai generasi yang harus menjaga SDA, kita tidak boleh menutup mata terhadap fenomena yang ada. Karena jika dibiarkan, maka bukan hal yang tidak mungkin jika anak cucu kita kedepannya tidak lagi dapat menikmati SDA terkhusus yang berada di kepulauan Spermonde.
DAFTAR PUSTAKA
- Mukhlis. 2011. Ekologi Konstitusi : Antara Rekonstruksi, Investasi atau Eksploitasi Atas Nama NKRI. 8 (3) : 161-205.
- Said, M.Y, dan Nurhayati. N. 2020. Paradigma Filsafat Etika Lingkungan Dalam Menentukan Arah Politik Hukum Lingkungan. Al’Adl. XII (1) : 39-60.
- Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VIII/2010
()