Penganiayaan: Penjatuhan Sanksi Akademik di luar Pidana

Oleh : Rafaella Winarta

Kasus kekerasan atau abuse dalam hubungan sepasang kekasih kembali ramai diberitakan. Korban, AS seorang mahasiswi Universitas Pelita Harapan (UPH) menceritakan kronologis kekerasan fisik maupun verbal yang diterimanya dari mantan pacarnya BJH sejak 7 Juni 2022. Terakhir, BJH diketahui melakukan kekerasan verbal terhadap AS pada akhir Januari 2023 yang menggerakan AS untuk akhirnya melaporkan kasus tersebut ke pihak universitas dan polisi. Pada Senin (20/2), pihak UPH mengonfirmasi penjatuhan sanksi akademis berupa pencabutan status kemahasiswaan terhadap BJH.

Pada umumnya, kekerasan diatur sebagai tindak pidana penganiayaan dalam Pasal 351 KUHP yang mengatur hukuman maksimal penjara 2 tahun 8 bulan atau denda Rp 4500 atau Rp 4,5 juta dengan penyesuaian. Lebih lanjut, jika mengakibatkan luka berat maka maksimal penjara menjadi 5 tahun dan maksimal 7 tahun penjara jika mengakibatkan kematian yang masing-masing diatur dalam Pasal 351 ayat (2) dan (3) KUHP.

Menurut R.Soesilo dalam bukunya KUHP Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, penganiayaan diartikan sebagai tindakan yang sengaja menyebabkan perasaan tidak enak, rasa sakit, atau luka. Dalam bukunya, R. Soesilo juga menjelaskan unsur-unsur dari penganiayaan tersebut yakni sebagai berikut,

  1. Perasaan tidak enak yang dimaksud adalah seseorang merasa tidak nyaman seperti mendorong seseorang ke dalam air secara sengaja
  2. Rasa sakit yang dimaksud adalah akibat dari tindakan yang menimbulkan rasa sakit bagi seseorang seperti pemukulan
  3. Luka yang dimaksud adalah tindakan yang menyebabkan seseorang mengeluarkan darah seperti penusukan
  4. Merusak kesehatan yang dimaksud adalah dengan sengaja menyebabkan seseorang mengalami gangguan kesehatan

Seperti dalam kasus AS dan BJH diatas, pelaku dijatuhi sanksi akademik berupa drop out atau pencabutan status kemahasiswaan. Walau bukan bagian dari sanksi pidana, sanksi akademik merupakan bagian dari otonomi perguruan tinggi dalam menyelenggarakan pengelolaan lembaganya sebagai penyelenggara Tridharma Perguruan Tinggi. Dalam Pasal 1 angka 9 UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Pendidikan Tinggi), Tridharma Perguruan Tinggi merupakan kewajiban perguruan tinggi untuk menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Dalam penyelenggaraannya, perguruan tinggi juga memiliki fungsi pada Pasal 4 UU Pendidikan Tinggi untuk mengembangkan kemampuan serta watak dosen dan mahasiswa yang bermartabat untuk mencerdaskan bangsa.

Otonomi yang dimiliki perguruan tinggi dalam pengelolaan lembaganya guna terwujudnya fungsi serta tujuannya diatur dalam PP Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan Perguruan Tinggi. Otonomi tersebut terbagi dalam bidang akademik dan non-akademik dalam Pasal 22 ayat (3) PP 4/2014 bagi perguruan tinggi termasuk Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang meliputi penetapan norma dan kebijakan pelaksanaan pendidikan, penelitian, dan pengabdian sebagai otonomi akademik; dan pelaksanaan organisasi, keuangan, kemahasiswaan, ketenagaan, dan sarana prasarana sebagai bagian otonomi non-akademik.

Dalam praktiknya, otonomi non-akademik untuk menetapkan norma serta kebijakan pelaksanaan kemahasiswaan dituangkan dalam suatu kode etik mahasiswa yang mengatur peraturan-peraturan yang mengikat mahasiswa selama memegang status kemahasiswaan dalam perguruan tinggi tersebut. Umumnya, kode etik mahasiswa memuat jenis-jenis pelanggaran serta sanksi-sanksi akademik seperti pencabutan hak sebagai mahasiswa, pemberhentian sementara atau skorsing, hingga pencabutan status kemahasiswaan atau drop out.   ()