Oleh : Maria Fransisca Prasetya
Kehidupan perguruan tinggi akan berjalan secara sehat dan produktif, apabila didukung dengan adanya kebebasan akademik. Pentingnya kebebasan dalam ranah akademik guna memajukan ilmu pengetahuan juga telah diamanatkan konstitusi. Jaminan tersebut dapat dijumpai dalam Pasal 28C ayat (1) yang menyatakan bahwa setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasar, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas. Kemudian Pasal 31 ayat (5) yang menyebutkan bahwa pemerintah diwajibkan untuk memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk memajukan peradaban.
Secara konseptual, hadirnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Perguruan Tinggi (UU 12/2012) turut memuat substansi kebebasan akademik sebagai hak yang dimiliki oleh perguruan tinggi. Secara spesifik, Pasal 8 UU 12/2011 menyatakan bahwa kebebasan akademik menjadi hak fundamental bagi kaum intelektual dan perlu dilindungi oleh perguruan tinggi, apabila ditemukan pelanggaran, maka pihak perguruan tinggi wajib melakukan upaya perlindungan.
Jaminan kebebasan akademik tidak hanya dimiliki oleh dosen namun juga dimiliki oleh mahasiswa. Pada Undang-Undang a quo secara khusus dikodifikasikan melalui rumusan Pasal 13 ayat (3), secara tegas disebutkan bahwa Mahasiswa memiliki Kebebasan Akademik dengan mengutamakan penalaran dan akhlak mulia, serta bertanggung jawab sesuai dengan budaya akademik. Perwujudan kebebasan akademik dapat diterapkan melalui serangkaian kegiatan diantaranya dilakukan melalui kajian, penelitian maupun penyebarluasan ilmu pengetahuan.
Pada tataran faktual jaminan akan kebebasan akademik tidak selamanya berjalan mulus. Terkadang gagasan maupun temuan ilmiah yang lahir dari prinsip kebebasan akademik memiliki pertentangan dengan pihak lain, sehingga hal ini kemudian memunculkan benturan yang berimplikasi pada lahirnya tekanan dan ancaman bagi prinsip kebebasan akademik itu sendiri. Di tahun 2019, Kaukus untuk Kebebasan Akademik Indonesia (KKAI) menilai Indonesia belum sepenuhnya melindungi kebebasan akademi baik kaum intelektual kampus. Tercatat sepanjang tahun 2019, terdapat enam model kasus represif terhadap kebebasan akademik yakni terbunuhnya mahasiswa ketika melakukan aksi, persekusi, ancaman pembunuhan, kriminalisasi, gugatan tidak wajar (SLAPP/Strategic Lawsuit Against Public Participation), pembubaran pers mahasiswa, dan skorsing terhadap mahasiswa (Alfina, 2020).
Pada faktanya telah tercatat beberapa peristiwa kelam yang menunjukkan bahwa negara masih belum menunjukkan keberpihakannya kepada kaum intelektual. Peristiwa diskusi yang diselenggarakan oleh LPM Teropong Politeknik Elektronika Negeri Surabaya yang bertajuk “Framing Media & Hoaks: Papua dalam Perspektif Media Arus” dibubarkan oleh Polsek Sukolilo dan keamanan kampus (Madia, 2019).
Peristiwa serupa juga menimpa Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada yang tergabung dalam Constitutional Law Society (CLS) FH UGM. Organisasi tersebut mengadakan diskusi dengan topik “Meluruskan Persoalan Pemberhentian Presiden ditinjau Dari Sistem Ketatanegaraan” dengan mengundang narasumber Prof. Dr. Ni’matul Huda. Sebelum diskusi berlangsung beberapa panitia diskusi serta narasumber mendapat ancaman pemanggilan oleh kepolisian, ancaman pasal makar hingga ancaman pembunuhan. Demi alasan keamanan panitia dan narasumber, diskusi virtual tersebut akhirnya dibatalkan. Kedua kasus diatas menunjukkan bahwa berkaitan dengan kebebasan akademik yang menjadi bagian dalam lingkup hak asasi manusia (HAM) belum terpenuhi.
Meskipun Indonesia telah memasukan substansi hak sipil dalam UUD NRI 1945 peristiwa pengkerdilan terhadap kebebasan sipil masih banyak terjadi di era reformasi.Menurut penelitian yang dilakukan oleh Freedom House, meski sempat mencapai status kebebasan publik penuh pada 2005-2012, tren kebebasan di Indonesia justru mengalami kemunduran sejak 2013 dan belum menunjukkan tanda-tanda membaik. Hal ini membuktikan bahwa adanya pergeseran suatu era tidak menjamin penegakan hak asasi manusia. Kemunduran Indonesia dalam menjamin hak asasi manusia terutama dalam rumpun hak sipil telah memudarkan esensi dasar dari demokrasi itu sendiri. Pemaknaan demokrasi memiliki korelasi dengan kebebasan, R. William Liddle mengungkapkan bahwa demokrasi ini dengan sendirinya memerlukan liberal (kebebasan) dalam pengertian hak-hak sipil; kalau hak-hak ini tidak ada maka tidak ada demokrasi (Basyaib, 2006)
Dampak pelanggaran kebebasan akademik telah mendiskreditkan kaum intelektual dalam mencurahkan pemikiran-pemikiran mereka untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang berguna bagi bangsa dan negara. Kebebasan akademik yang bertujuan untuk memberikan kritik terhadap kekurangan yang terjadi justru dianggap sebagai tindakan yang menyimpang dan dianggap tidak ideal. Dalam perspektif politik istilah kritik sosial seringkali berkonotasi negatif karena diartikan mencari kelemahan-kelemahan pihak penguasa. Padahal makna kritik sosial bertujuan untuk memperbaiki kekurangan yang terjadi di masyarakat maupun pemerintahan. Manakala setiap kritik yang berasal dari kebebasan akademik kemudian dibungkam maka kaum intelektual akan takut untuk menyuarakan pendapatnya, hal ini berimplikasi pada hilangnya esensi dari demokrasi itu sendiri.
Tanpa hadirnya kebebasan akademik, maka hal ini akan menghilangkan salah satu unsur demokrasi yakni perlindungan hak asasi manusia. Padahal hal ini berperan penting untuk mengakomodir kepentingan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi serta untuk membatasi kesewenang-wenangan penguasa Jika hal ini terus menerus berlanjut, maka pemaknaan negara demokrasi bisa perlahan-lahan pudar karena dibatasinya kebebasan akademik yang merupakan bagian dari hak asasi manusia. Oleh karena itu Pemerintah seharusnya menjamin kebebasan akademik bagi kaum intelektual karena pada hakikatnya hal tersebut termasuk upaya perwujudan negara demokrasi dalam hal penegakan hak asasi manusia. ()