Oleh: Fayasy Failaq
(Content Creator Advokat Konstitusi)
Masih dalam rangka menolak pelemahan Lembaga pemberantasan korupsi, saya hendak menyorot persoalan ini dengan mengaitkannya dengan rantai sejarah. Menariknya Ketika menyorot secara kesejarahan, model institusi pemberantasan korupsi yang melakukan pemberantasan dalam arti pencegahan maupun penindakan korupsi semacam KPK telah hadir beberapa kali di Indonesia dengan bentuk yang berbeda-beda.
Institusi-institusi pemberantasan korupsi yang pernah ada di Indonesia dihadirkan sebagai solusi dalam model struktural terhadap permasalahan korupsi yang memang telah mewabah ke banyak departemen-departemen pemerintahan. Dalam sebuah sistem hukum tentu terdapat tiga unsur yang saling berkaitan yakni, struktur, substansi, dan kultur hukum. Solusi model struktural adalah solusi yang cukup ampuh terhadap persoalan korupsi yang hadir hampir sebagai kebiasaan yang terjadi lintas generasi di Indonesia.
Solusi model struktural semacam institusi ini dapat dijadikan sebagai ujung tombak untuk menindak maupun mencegah korupsi yang berangkat dari wewenang yang didapat dari peraturan perundang-undangan. Setidaknya kelebihan solusi institusional terhadap pemberantasan korupsi adalah karena pemberantasan korupsi akan lebih terfokus secara fungsional sehingga kinerjanya dapat lebih efektif dan efisien.
Terdapat tiga model kelembagaan atau institusi pemberantasan korupsi yang ada di dunia yakni: Pertama, Anti-Corruption Legislation with no Independent Agency atau kelembagaan dengan tanpa lembaga independen seperti di Mongolia. Kedua, Anti-corruption Legislation with several agency atau kelembagaan dengan beberapa lembaga seperti di India dan Philipina. Ketiga, Anti corruption Legislation with an Independent Agency atau kelembagaan dengan lembaga independen khusus seperti di Hongkong dan Singapura. Sekalipun sudah ada fungsi penindakan korupsi pada Kepolisian dan Kejaksaan, Indonesia saat ini mengadopsi model kelembagaan independen ketiga yakni berupa kelembagaan independen khusus berupa Komisi Pemberantasan Korupsi yang lahir atas dasar distrust pemberantasan korupsi terhadap kelembagaan yang telah ada.
MELIHAT KEMBALI SEJARAH SEBELUM KPK
Soeharto pada 16 agustus 1967 pernah mengatakan di depan Dewan Perwakilan Rakyat bahwasanya hendak mencabut korupsi hingga ke akar-akarnya, namun pemberantasan korupsi masa itu justru tumpul di tengah jalan. Bahkan peneliti asing sampai-sampai mengatakan negara Indonesia pada masa itu sebagai negara “kleptokratik” (negara para maling) dikarenakan maraknya Tindakan-tindakan koruptif dalam pemerintahan.
Institusi pada zaman Soeharto yang sempat digaungkan untuk memberantas rasuah adalah Team Pemberantasan Korupsi (TPK) yang dibentuk melalui Keputusan Presiden RI Nomor 228 Tahun 1967 pada tanggal 2 Desember 1967. Tugas dari TPK adalah membantu Pemerintah dalam memberantas perbuatan korupsi secara cepat dengan tindakan represif dan preventif. Namun tidak cukup berani menuntaskan permasalahan yang cukup mewabah. Khususnya di pertamina, bulog, , dan departemen kehutanan.
Kemudian Komisi IV yang dibentuk melalui Keppres Nomor 12 Tahun 1970 beranggotakan Wilopo, S.H., I.J. Kasimo, Prof. Ir. Johannes, dan Anwar Tjokroaminoto yang bertugas menganalisis permasalahan korupsi Orde lama. Tugasnya adalah melakukan pelaksanaan pegawai negeri harus melaporkan aset- aset pribadi secara tahunan, namun tidak terealisasi. Kemudian juga ada Komisi Anti Korupsi (KAK) pada tahun 1970. Anggota KAK terdiri dari aktivis mahasiswa eksponen 66 seperti Akbar Tanjung, Thoby Mutis, Asmara Nababan dkk. Namun belum terlihat hasil yang telah dicapai. Komisi ini dibubarkan pada 15 Agustus 1970 atau hanya dua bulan sejak terbentuk.
Sebelumnya pada masa Soekarno telah ada institusi anti korupsi yang pertama bernama Panitia Retooling Aparatur Negara (PARAN) yang diketuai AH Nasution yang melakukan tindakan preventif, namun mulai tegas utk membawa kasus-kasus ke pengadilan saat operasi budi yang mana setiap pejabat wajib melakukan pengisian daftar kekayaan pejabat negara. Serta Pada 27 April 1964 Presiden membuat Surat Keputusan Presiden No. 98 Tahun 1964 tentang pembentukan Komando Tertinggi Retooling Alat Revolusi (KOTRAR) yang merupakan badan pengendalian permanen yang merupakan suatu badan Komando yang dipimpin secara langsung oleh Presiden Soekarno.
Namun demikian institusi-institusi terdahulu tersebut menjadi tumpul dan hilang akibat beberapa sebab, yakni: (1) Belum adanya kebijakan atau peraturan perundang-undangan turunan, (2) Adanya resistensi dari pejabat negara yg menolak menyerahkan pendaftaran kekayaan, (3) Tidak berkaitannya secara langsung antara strategi pemberantasan korupsi dan sistem administrasi publik, (4) Tidak adanya komitmen negara khususnya para pejabat untuk melawan dan memberantas korupsi. Dari sebab-sebab tersebut cukup tergambarkan kelemahan-kelemahan institusional yang disertai tidak adanya dukungan substansi hukum maupun kultur hukum dari masyarakat.
TARING TUMPUL KPK MASA KINI
Semangat independensi KPK yang digaungkan sebagai Lembaga trigger terhadap pemberantasan korupsi lantas dinodai dengan menjadikan posisinya pada wilayah cabang kekuasaan eksekutif. Sekalipun masih bisa dikatakan sebagai Lembaga negara independen dengan argumentasi desain kelembagaan yang tidak ada keterkaitan struktural dalam UU, status kepegawaiannya yang harus sebagai Aparatur Sipil Negara telah menjadikan Lembaga ini menjadi tidak independen maksud awal didirikannya.
Dengan terikatnya status kepegawaian KPK sebagai Aparatur Sipil Negara menjadikan Lembaga ini terikat dengan kekuasaan eksekutif yang dikepalai paling tinggi oleh pejabat negara yang terpilih melalui kontestasi politik. Bahkan melihat terhadap realita seleksi pengalihan status kepegawaian KPK menjadi ASN, telah dipraktekkan mekanisme Tes Wawasan Kebangsaan yang tidak substantif dan tidak berangkat dari kepastian hukum standar pertanyaan dan soal sehingga berujung pada tercederanya hak para pegawai yang tidak diterima menjadi ASN dan dipensiunkan sebagai pegawai KPK.
Dirombaknya status kepegawaian dan desain KPK menjadi demikian memang tidak lantas membuat kelembagaan itu mati, KPK tetap masih memiliki taring untuk melakukan pemberantasan korupsi. Hanya saja berdasarkan catatan ICW taring KPK semenjak tahun 2020 menjadi tumpul dengan kinerjanya yang menurun, yang mana kinerja penindakan korupsi hanya sejumlah 15 kasus atau 13% dari target 120 kasus, menurun dari tahun sebelumnya yang sejumlah 62 kasus. Dalam hal kinerja penyelidikan mengalami penurunan juga. Pada 2018 jumlah penyelidikan sejumlah 164 kasus, 2019 menurun menjadi 142 kasus, 2020 jumlah penyelidikan yang dilakukan KPK semakin menurun menjadi 111 kasus.
Semakin tumpulnya KPK seperti cerminan beberapa institusi yang telah hadir sebelum KPK. Cerminan itu berangkat dari persamaan antar institusi yang mempunyai cita-cita besar pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme dibalik pembentukannya. Kemudian setelah institusi tersebut hadir resistensi besar-besaran serta pelemahan baik internal maupun eksternal menjadikannya tidak tangguh dan bahkan menjadi ditiadakan.
Komisi Pemberantasan Korupsi yang ada saat ini secara kondisional berbeda dengan institusi-institusi sebelumnya karena lebih sempurna dalam desain legislasi. desain kelembagaan, serta dukungan masyarakat. Namun apabila pelemahan atas KPK tetap dibiarkan maka hal ini hanya menjadi sebuah pengulangan sejarah tumpul serta umur pendeknya institusi pemberantas korupsi di Indonesia.
#SaveKPK ()