Penyempurnaan Pasal 20 Ayat (5) UUD 1945: Melanjutkan Gagasan Komisi Konstitusi

Oleh: Ida Bagus Gede Putra Agung Dhikshita

(Internship Advokat Konstitusi)

Pembahasan amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) disusun dan dirumuskan dalam naskah yang tidak melalui perdebatan konseptual yang mendalam. MPR praktis tidak memiliki waktu yang memadai untuk melakukan diskursus mendalam terhadap naskah perubahan ini. Suasana dinamika politik dalam proses pembahasan sangat mempengaruhi pembahasan perubahan yang erat akan kepentingan politik tertentu. Hal ini berimplikasi pada dikesampingkannya kebenaran akademis oleh hal-hal yang berkenaan dengan kebenaran politik (Jimly:2011:65).

Dalam proses perubahan UUD 1945 yang dilakukan oleh MPR, ada gagasan untuk membentuk suatu lembaga yang bertugas untuk merumuskan naskah perubahan secara komprehensif, sistematis, dan berkeahlian oleh suatu Komisi Konstitusi. Sayangnya hingga amandemen keempat dilaksanakan, komisi ini tak kunjung terbentuk. Akhirnya lewat desakan yang begitu besar dari masyarakat MPR resmi membentuk Komisi Konstitusi pada tahun 2002 pasca amandemen keempat, dengan dikeluarkannya Ketetapan MPR No.I/MPR/2002.

Komisi Konstitusi bertugas melakukan pengkajian secara komprehensif tentang perubahan UUD 1945 yang memiliki tanggung jawab kepada MPR (Novendri:2013:107). Sayangnya pembentukan Komisi Konstitusi dipertanyakan karena komisi ini baru dibentuk dalam kondisi empat kali amandemen yang telah dilakukan oleh MPR sebelumnya, sehingga tidak jelas apa sebenarnya fungsi dari Komisi Konstitusi ini (Krisna:2004:152).

Terlepas dari permasalahan yang terjadi pada Komisi Konstitusi, ada beberapa poin kajian terkait dengan perubahan UUD 1945 yang sebenarnya masih relevan apabila ingin dilakukan amandemen kelima terhadap UUD 1945. Kajian ini bisa menjadi landasan awal seandainya kondisi politis dan sosiologis masyarakat mendorong terjadinya amandemen kelima UUD 1945. Adapun salah satu poin kajian tersebut adalah mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia khususnya pembentukan Undang-Undang di Indonesia. Secara spesifik, ada satu usulan yang ditawarkan oleh Komisi Konstitusi terhadap pembentukan undang-undang khususnya yang berkaitan dengan Pasal 20 ayat (5) dalam UUD NRI Tahun 1945, ada tiga hal mendasar yang secara umum akan dijelaskan sebagai berikut (Saldi:2010:316).

Pertama, Presiden atau eksekutif tidak lagi menjadi bagian dalam proses pembahasan dan persetujuan undang-undang, Dengan usulan seperti ini, maka tidak ada lagi frasa pembahasan dan persetujuan bersama antara Presiden dan DPR. Kedua, dengan tidak ada lagi peran Presiden dalam pembahasan dan persetujuan bersama, Presiden dapat menolak (tidak mengesahkan) rancangan undang-undang yang telah disetujui oleh DPR. Penolakan ini dikenal dengan hak veto Presiden dalam fungsi legislasi. Ketiga, penolakan Presiden bukan harga mati karena hal tersebut dapat dibahas kembali oleh DPR. Jika kemudian, DPR menyetujui kembali dengan dukungan sekurang-kurangnya dua-pertiga anggota DPR, Presiden harus mengesahkan rancangan undang-undang itu menjadi undang-undang.

Konkretnya, Komisi Konstitusi ingin menambahkan dua ayat pada Pasal 20 UUD 1945 ini yaitu Ayat (6) yang berbunyi : ”Rancangan Undang-Undang yang tidak mendapatkan pengesahan Presiden dikembalikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk dibahas kembali.” Selain itu juga ada usulan melalui Ayat (7) yang berbunyi : ”Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah dibahas kembali oleh Dewan Perwakilan Rakyat, apabila mendapat persetujuan 2/3 dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat”(Rizal:2016:103).

Untuk melanjutkan diskursus ini, penulis mencermati dan menelusuri terkait dengan keberadaan Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 dalam naskah komprehensif perubahan UUD 1945 yang berisikan latar belakang, proses dan hasil pembahasan dalam Buku III yang membahas Lembaga Pemusyawaratan dan Perwakilan Jilid 1. Ada dua pilihan yang dapat dicermati dalam naskah komprehensif terhadap Pasal 20 ayat (5) UUD NRI Tahun 1945 ini. Pertama, rumusan dari pasal ini dibiarkan sehingga tidak perlu dieksplisitkan dalam bentuk contrasign atau pengecualian karena dengan tidak ditandatanganinya undang-undang bersangkutan dalam waktu 30 hari maka undang-undang tersebut tetap dilaksanakan karena telah memiliki kewajiban konstitusional. Kedua, ada usulan penambahan contrasign atau pengecualian dalam pasal ini, yang mana undang-undang tersebut memungkinkan untuk tidak ditandangani Presiden apabila Presiden menyatakan penolakannya (MK:2010:854).

Dalam naskah komprehensif juga dijelaskan bahwa fraksi menyepakati pasal ini untuk dibahas dalam rapat pembahasan selanjutnya. Namun demikian saat UUD 1945 resmi berlaku, rumusan Pasal 20 ayat (5) tetap seperti naskah awal. Hal ini tentu dapat menyebabkan banyak problematik karena secara teori, tindakan tidak menandatangani ini dapat bermakna setuju juga dapat bermakna menolak. Hal tersebut tergantung masalah pilihan saja. Di Amerika, apabila Presiden sampai akhir tahun tidak melakukan apa apa terhadap rancangan undang-undang yang telah disetujui oleh parlemen maka Presiden dianggap memveto (menolak) rancangan undang-undang tersebut (Wicipto:2004:25).

Selain itu, ada konsekuensi hukum dari ketentuan ini yaitu bahwa Presiden tidak bisa menyatakan dirinya tidak terikat dengan undang-undang yang tidak ditandatangani dengan dalih Presiden tidak menandatangani undang-undang tersebut karena ditandatangani atau tidak, undang-undang tersebut tetap sah dan wajib diundangkan. Apabila suatu undang-undang telah diundangkan, maka semua orang dianggap tahu mengenai undang-undang tersebut atau yang lazim dikenal dengan fiksi hukum. Dengan fiksi hukum, orang tidak bisa berdalih tidak terikat oleh suatu undang-undang yang telah diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia dengan alasan ketidaktahuan atau alasan lain (Wicipto:2004:25).

Masih teringat dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo, terdapat undang-undang yang tidak ditandangani Presiden meski telah disetujui bersama, yaitu Undang-Undang No.19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Secara konstitusional, undang-undang tersebut tetap berlaku, namun tetap menjadi pertanyaan yang besar dan seakan-akan menjadi anomali hukum mengapa Presiden tidak menandatangani UU tersebut, akhirnya UU tersebut pun diujikan ke MK (tribunnews.com/24/06/2020).

Melanjutkan gagasan Komisi Konstitusi, Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 seharusnya mengandung contrasign atau pengecualian sehingga rancangan undang-undang yang bermasalah tersebut dapat dibahas kembali. Hal ini dapat membuat pengesahan undang-undang oleh Presiden menjadi suatu proses yang sakral dan tidak dapat diabaikan bahkan diremehkan dalam pembentukan undang-undang. Konstitusi secara khusus telah menempatkan posisi Presiden selaku kekuasaan eksekutif untuk ikut membahas undang-undang yang akan mengikat seluruh warga negara. Artinya dengan kata lain, konstitusi juga harus konsisten dalam menjamin bahwa setiap proses dan tahap pembentukan undang-undang harus dibarengi dengan kesepakatan antara dua pemegang legitimasi kekuasaan rakyat yang dipilih langsung melalui pemilu ini. S

Selain itu urgensi suatu undang-undang dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang menjadi implementasi dari teori tujuan hukum Gustav Radbruch dan kaitannya dengan perkembangan mazhab positivisme hukum di Indonesia membawa pemahaman bahwa meskipun Pasal 20 ayat (5) 1945 ingin memberikan kepastian hukum dalam hal suatu rancangan undang-undang yang mendapat persetujuan bersama harus tetap berlaku meski tanpa tanda tangan Presiden, menurut penulis hal ini mengingkari dua tujuan hukum yang lain yaitu keadilan dan kemanfaatan. Bahkan untuk keadilan yang sebenarnya merupakan cita dari hukum itu sendiri tidak akan dapat dipenuhi hanya karena hukum telah menjamin kepastian. Hal tersebut mengingat bahwa kepastian dan kemanfaatan hanya bagian dari keadilan hukum itu sendiri. Maka itulah fungsi Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menekankan kepastian hukum yang adil.

DAFTAR PUSTAKA

  • Jimly Asshiddiqie, 2011, Hukum Tata Negara Dan Pilar-Pilar Demokrasi, Sinar Grafika, Jakarta
  • Krisna Harahap, 2004, Konstitusi Republik Indonesia, Sejak Proklamasi Hingga Reformasi, PT. Grafiti Budi Utami, Bandung
  • Saldi Isra, 2010, Pergeseran Fungsi Legislasi, Menguatnya Model Legislasi Parlementer Dalam Sistem Pemerintahan Presidensial Indonesia, Edisi I, PT. RajaGrafindo Persada
  • Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2010, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002, Edisi Revisi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta

  ()