oleh : Novi Huriyani
Internship Advokat Konstitusi
Justice collaborator pertama kali diperkenalkan di Amerika Serikat sekitar tahun 1970-an. Dimasukkannya doktrin tentang justice collaborator di Amerika Serikat sebagai salah satu norma hukum di negara tersebut dengan alasan perilaku mafia yang selalu tutup mulut atau dikenal dengan istilah omerta sumpah tutup mulut . Oleh sebab itu, bagi mafia yang mau memberikan informasi, diberikanlah fasilitas justice collaborator berupa perlindungan hukum.
Dalam hukum nasional, Justice collaborator diatur dalam UU. No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, UU. No. 31 tahun 2014 (Perubahan atas UU. No. 13 tahun 2006) tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 04 tahun 2011, Peraturan Bersama Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung, Kapolri, KPK, dan LPSK tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama.
Justice collaborator dalam perkembangan terkini mendapat perhatian serius, karena peran kunci mereka dalam “membuka” tabir gelap tindak pidana tertentu yang sulit diungkap oleh penegak hukum. Justice collaborator diartikan sebagai saksi pelaku suatu tindak pidana yang bersedia membantu atau bekerjasama dengan penegak hukum. Menyetujui justice collaborator berarti terpidana dianggap memiliki kemauan untuk bekerja sama dengan aparat penegak hukum sehingga pelaku kelas kakap dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.
Peran kunci yang dimiliki oleh justice collaborator antara lain :
- Untuk mengungkap suatu tindak pidana atau akan terjadinya suatu tindak pidana, sehingga pengembalian aset dari hasil suatu tindak pidana bisa dicapai kepada negara;
- Memberikan informasi kepada aparat penegak hukum; dan
- Memberikan kesaksian di dalam proses peradilan.
Dengan demikian kedudukan justice collaborator merupakan saksi sekaligus sebagai tersangka yang harus memberikan keterangan dalam persidangan, selanjutnya dari keterangan tersebut dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan.
Selanjutnya, dalam SEMA No. 04 tahun 2011 diberikan pedoman kepada hakim dalam menjatuhkan pidana kepada justice collaborator dengan beberapa kriteria:
- Yang bersangkutan merupakan pelaku tindak pidana tertentu, mengakui kejahatannya, bukan pelaku utama dan memberikan keterangan sebagai saksi dalam perkara tersebut;
- Jaksa Penuntut Umum telah menjelaskan dalam tuntutannya menyatakan yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang signifikan sehingga dapat mengungkap tindak pidana dimaksud.
Dalam konteks di atas, hakim yang memeriksa perkara diminta untuk menjatuhkan putusan:
- Pidana percobaan bersyarat dan atau;
- Pidana penjara yang paling ringan dengan mempertimbangkan keadilan dalam masyarakat.
Meskipun dalam SEMA sudah diatur dan sudah dijadikan panduan bagi hakim-hakim di lingkungan peradilan di Indonesia, namun SEMA tersebut tidak bisa mengikat jaksa maupun bagi penyidik. SEMA diatas hanyalah aturan internal di lingkungan peradilan, sehingga tidak memiliki otoritas yang kuat dalam memastikan bahwa justice collaborator mendapatkan perlakuan khusus. Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tentang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban juga tidak memberikan jaminan perlindungan terhadap justice collaborator. KUHP dan KUHAP juga tidak mengatur posisi justice collaborator secara tuntas. Dengan demikian norma pada hukum positif kita tidak memberikan tempat yang layak pada justice collaborator. Oleh sebab itu, perlu untuk mencari terobosan hukum dalam memberikan perlindungan kepada justice collaborator.
Atas ketidaksesuaian norma yang ada mengenai justice collaborator, maka terjadi perubahan atas UU. No. 13 Tahun 2006 dengan UU. No. 31 Tahun 2014 khususnya pada Pasal 10 UU. No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU. No. 13 Tahun 2006.
Meskipun norma justice collaborator telah diatur dalam UU. No. 31 Tahun 2014, namun masih tetap ditemukan kelemahan dalam pelaksanaannya. Kelemahannya yakni untuk mengajukan permohonan justice collaborator ke LPSK, sehingga mengacu pada tersebut di atas, pengaturannya masih belum jelas diatur.
Oleh sebab itu, sepanjang norma tentang justice collaborator tidak melekat dalam revisi KUHAP, maka masih ditemukan kendala prosedural formal. KUHAP merupakan norma hukum pidana formil, yang meletakan dasar-dasar yang kokoh dalam criminal justice system. LPSK tidak ditempatkan dalam sistem tersebut, sehingga keberadaan institusi tersebut belum begitu dipertimbangkan oleh lembaga-lembaga penegak hukum yang ada.
Sebagai contoh kasus, Tiga terdakwa kasus korupsi kartu tanda penduduk elektronik telah menjadi justice collaborator. Ketiga terdakwa tersebut yaitu mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Sugiharto, mantan Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Irman, serta pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong. Pemberian status justice collaborator tersebut karena ketiga orang terdakwa itu telah mengungkap peran aktor lain dalam perkara e-KTP. Mereka juga telah mengakui perbuatannya dan bukan merupakan pelaku utama. ()