Oleh: Salsabila Rahma Az Zahro
(Internship Advokat Konstitusi)
Dua tahun lalu, Indonesia dihebohkan dengan peristiwa bom bunuh diri di Surabaya. Dalam kasus tersebut, pelaku melibatkan anak kandungnya sendiri untuk melakukan aksinya tersebut. Peran pelaku sebagai orang tua dalam kasus pengeboman ini menjadi sebuah permasalahan bahwa mereka memberikan sugesti kepada anak anaknya untuk mengikuti aksi orang tuanya dan terlibat menjadi pelaku tindak pidana terorisme.
Tindak pidana terorisme merupakan kejahatan yang luar biasa pada umumnya hanya dilakukan oleh orang dewasa. Tetapi, banyak orang dewasa yang melibatkan anak anaknya untuk melakukan tindakan tersebut. Faktor penyebab anak melakukan tindak pidana terorisme adalah adanya peran orang tua yang menanamkan paham radikal pada anak. Selain itu, pola lingkungan yang semakin tidak memperhatikan tetangganya dan lingkungan yang selalu beradaptasi dengan anak anak pelaku teroris lainnya sehingga anak-anak tersebut menjadi korban dari orang tua dan lingkungannya.
Saat ini terdapat berbagai macam pengaturan yang berusaha untuk melindungi hak anak-anak, salah satunya datang dari instrumen hukum internasional yang salah satunya diatur dalam Protokol II Konvensi Jenewa 1949 (AP2). Kehadiran AP2 ini akan melindungi anak-anak yang kondisi mentalnya masih labil dan melindunginya dari akibat doktrin dari kelompok-kelompok yang tidak bertanggung jawab. Di Indonesia, terdapat pengaturan yang sama, khususnya terhadap aksi terorisme yang melibatkan anak-anak, yaitu Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Kemudian, seiring dengan perkembangan masyarakat dan tingkat kejahatan, maka UU tersebut diperbaharui menjadi UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban pada Pasal 59 Ayat (1),(2) huruf k, memberikan mandat kepada pemerintah untuk memberikan perlindungan dan penanganan khusus terhadap anak yang berada dalam jaringan terorisme. Mandat ini harus menjadi acuan dan selaras dengan peraturan hukum lain yang mengatur tentang pemberantasan tindak pidana terorisme yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Tindak Pidana Terorisme terdapat di Pasal 16A yang mengatur mengenai tindak pidana terorisme yang dilakukan oleh anak. Kemudian, pada pasal 36 yang mengatur mengenai rehabilitasi dan kompensasi terhadap anak yang terlibat sebagai pelaku terorisme.
Selain itu, menurut amanat dari UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak (disebut dengan UU PA) mengatur secara tegas mengenai hak-hak anak sebagai individual dan bertujuan untuk melindungi anak dari setiap pihak yang mampu merugikan anak sekalipun orang tuanya sendiri. Pada Pasal 69B menyebutkan perlindungan khusus anak korban terorisme melalui upaya edukasi pendidikan, ideologi, nasionalisme, konseling bahaya terorisme, rehabilitasi dan pendampingan sosial. Terkait dengan kasus bom bunuh diri di Surabaya, maka anak-anak korban dari orang tuanya belum terjangkau oleh perlindungan hukum yang dimaksudkan dalam Undang-Undang Perlindungan Anak.
Meskipun sudah ada aturan yang memberikan jaminan mengenai perlindungan anak tetapi melihat dari stigma negatif yang berkembang di masyarakat yang sangat menyudutkan anak terorisme, seperti kasus anak yang selamat dari tindakan terorisme di Markas Kepolisian Resor Surabaya yang awalnya mendapatkan stigma negatif dari masyarakat dan dicap menjadi anak teroris. Ini menjelaskan bahwa hak-hak yang seharusnya diperoleh anak menjadi terabaikan terutama anak yang berhadapan dengan hukum sehingga penjaminan dan perlindungan terhadap masa anak menjadi terabaikan. Hal ini mengakibatkan apa yang diharapkan dari undang-undang tersebut justru tidak tercapai. Hal ini sejalan dengan nilai-nilai dasar hukum atau tujuan yang dituturkan Gustav Radbruch yaitu keadilan,kegunaan dan kepastian hukum. Seharusnya hukum memiliki tiga tujuan, dimana masing-masing tujuan berkedudukan sama, sehingga keadilan hukum haruslah diimbangi dengan kepastian hukum serta kemanfaatan bersama bagi para penegak hukum maupun masyarakat, tetapi hal ini tidak tercapai.
Saat ini, anak-anak tersebut telah mendapatkan rehabilitasi oleh pihak berwenang dan mendapatkan pendidikan yang layak dengan anak-anak lain. Mereka bisa membuka diri dan mengungkapkan masalah mereka dengan membangun kepercayaan kepada mereka. Lalu menciptakan suasana yang hidup dan belajar toleransi agar pikiran mereka yang dulu bisa mulai mereka lupakan.
Sumber :
Ahmad Mahyani. 2019. Perlidungan Hukum Anak sebagai Pelaku Terorisme. Jurnal Hukum Magnum Opus. Februari 2019. Volumen 2, Nomor 2.
Khairoh Maknunah. 2018. Penanganan Anak dalam Tindak Pidana Terorisme. Jakarta: Yayasan Prasasti Perdamaian.
()