Oleh: Sudarto
(Internship Advokat Konstitusi)
Kondisi perundang-undangan Indonesia pasca era reformasi 1998 mengalami gejala hyper regulation, yaitu suatu keadaan dimana banyak sekali peraturan perundang-undangan (terutama undang-undang) yang dibentuk untuk mengatasi setiap permasalahan tanpa mempertimbangkan apakah peraturan perundang-undangan tersebut dibutuhkan dalam rangka mendukung prioritas pembangunan dan apakah substansinya sudah diatur oleh peraturan perundang-undangan sektor lainnya. Kondisi hyper regulation menyebabkan terjadinya alienasi hukum, yaitu hukum makin terasing dari masyarakatnya sendiri. Alineasi itu muncul ketika semakin banyak aturan, namun peraturan tersebut tidak efektif, artinya aturan tersebut tidak bisa ditegakkan.(Ahmad Ulil Aedi: JIKH, 2020)
Selain itu, dalam tataran implementasi penataan peraturan perundang-undangan menimbulkan permasalahan saling tumpang tindih (overlapping), disharmoni, maupun menimbulkan konflik akibat adanya hyper regulation. Meminjam istilah Richard Suskind, menyebutkan bahwa hyper regulations atau obesitas hukum penyebabnya adalah penyusunan regulasi yang tidak dilakukan secara terstruktur, sistematis, masif dan tumpang tindih antara peraturan yang satu dengan peraturan yang lainnya. Akibatnya, produk regulasi menimbulkan ketidakpastian dan kesenjangan perlakuan dihadapan hukum.(Roni Sulistyanto Luhukay, et. al.: Jatiswar, 2019)
Di Indonesia, banyaknya peraturan perundang-undangan disebabkan karena banyak orang yang mempunyai pemikiran bahwa setiap kebijakan yang dijalankan dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat dan bernegara diperlukan payung hukum yang berbentuk peraturan perundang-undangan. Padahal pemikiran semacam ini tidak sepenuhnya benar karena bisa saja dilakukan dengan instrumen lain selain peraturan perundang-undangan. Dengan pemikiran setiap kebijakan diperlukan payung peraturan perundang-undangan maka akan semakin memperbanyak jumlah peraturan perundang-undangan dan rentetan berikutnya potensi untuk terjadi tumpang tindih dan disharmoni semakin besar.(Wicipto Setiad: Jurnal Rechtsvinding, 2018)
Berdasarkan data yang ada di laman situs peraturan.go.id, terdapat 3618 peraturan pusat, 15441 peraturan menteri, 4037 peraturan LPNK dan 15982 peraturan daerah. Data tersebut menunjukkan bahwa Indonesia memiliki begitu banyak regulasi yang berlaku sampai saat ini. Bahkan catatan Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara menyatakan bahwa untuk ukuran negara yang berusia belum genap 100 tahun, angka tersebut tergolong fantastis. Kemudian akibat banyaknya aturan tersebut, pada tahun 2016 Bank Dunia menempatkan Indonesia di posisi 109 dari total 193 negara dalam regulatory quality index. Peringkat Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan beberapa negara ASEAN lainnya seperti Malaysia (18), Vietnam (90), dan Singapura (1). Posisi tersebut dapat dibaca sebagai potret buruknya manajemen peraturan di Indonesia.(tirto.id: 2019)
Penyebab Hyper Regulations
Pada dasarnya terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi banyaknya pembentukan regulasi di Indonesia. Pertama, adanya kecenderungan dalam perkembangan pembentukan perundang-undangan yang menganggap bahwa pembentukan regulasi seolah-olah menjadi obat yang paling ampuh untuk mengatasi berbagai persoalan yang ada, sehingga semakin banyak persoalan yang ingin diatur dan berakibat pada banyaknya peraturan perundang-undangan yang juga akan dibentuk. Kedua, kuantitas UU dianggap sebagai indikator kesuksesan kinerja lembaga legislatif (DPR) dalam menjalankan fungsi legislasinya. Ketiga, adanya sistem kepartaian yang majemuk berpengaruh pada banyaknya kepentingan yang ingin diakomodir, sehingga akan menyebabkan semakin banyak pula aturan yang akan dibentuk.(ipc.or.id: 2019)
Menurut Prof. Saldi Isra, persoalan regulasi terletak pada peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, yaitu peraturan pemerintah (PP) dan peraturan presiden (perpres) yang menyebabkan hyper regulations. Sebagaimana ketentuan Pasal 12 dan 13 UU No. 12 Tahun 2011 (UUP3), menegaskan bahwa materi muatan peraturan pemerintah berisi materi untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya dan materi muatan perpres berisi materi yang diperintahkan oleh undang-undang, materi untuk melaksanakan peraturan pemerintah, atau materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka penyelenggaraan pemerintahan akan bertumpu pada PP dan Perpres, sehingga konstruksi yang demikian ini berpotensi mendudukkan kedua jenis peraturan tersebut lebih berposisi sebagai maksud UU yang sesungguhnya (regulation intent) ketika UU belum (sepenuhnya) menjelaskan maksud pembentukan hukum (legal intent). Oleh karena itu, penyusunan PP dan perpres harus terencana dan tidak bersifat reaktif.(Saldi Isra: 2017)
Sedangkan Prof. Maria Farida Indrati mengemukakan sebaliknya, bahwa saat ini banyak materi muatan yang seharusnya cukup diatur lewat peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang justru dipaksakan diatur dengan undang-undang. Padahal seandainya diatur dengan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, pelaksanaannya menjadi lebih sederhana dan anggaran yang dibutuhkan relatif kecil. (pshk.or.id: 2016)
Upaya Pengendalian Hyper Regulations
Salah satu upaya dalam melakukan penataan regulasi di Indonesia dapat dilakukan melalui simplifikasi regulasi (penyederhanaan regulasi), yaitu cara untuk mengendalikan kuantitas terhadap regulasi yang sedang berlaku dalam rangka mewujudkan regulasi yang proporsional. Simplifikasi regulasi dilakukan dengan cara menginventarisasi regulasi yang ada, mengidentifikasi masalah dan pemangku kepentingannya, melakukan evaluasi regulasi yang bermasalah, dan mencabut yang tidak perlu.(Ahmad Sururi: Jurnal Ajudikasi, 2017)
Melalui cara tersebut, maka dapat dihasilkan tiga rekomendasi. Pertama, regulasi dipertahankan, yaitu apabila regulasi tersebut tidak berpotensi konflik dengan regulasi lain terutama yang berkedudukan lebih tinggi, regulasi tersebut dibutuhkan oleh masyarakat maupun oleh penyelenggara negara, dan regulasi tersebut ramah urusan. Kedua, regulasi direvisi, yaitu apabila di dalam regulasi tersebut terdapat potensi masalah dan tidak ramah urusan tetapi dibutuhkan oleh masyarakat maupun oleh penyelenggara negara. Ketiga, regulasi dicabut. Rekomendasi yang dihasilkan menentukan tindakan lebih lanjut terkait apa yang harus dilakukan. Oleh karena itu, jumlah regulasi yang banyak, maka upaya simplifikasi regulasi harus bersifat massal dan cepat sehingga perlu disusun kriteria sederhana dalam melakukan cara tersebut. Kemudian dalam melakukan simplifikasi regulasi perlu penciptaan database peraturan perundang-undangan yang terintegrasi dan sistematis dan melakukan sortir terhadap regulasi yang saling berkonflik, inkonsisten, multitafsir, dan tidak operasional.(Ibnu Sina Chandranegara: 2019)
Kemudian, dalam melakukan upaya simplifikasi juga perlu dilakukan pengujian kualitas regulasi melalui metode Regulatory Impact Analysis (RIA) yang sedang dikembangkan oleh Kementerian PPN/Bapennas, sebenarnya dapat menjadi solusi untuk menilai kualitas suatu regulasi. Metode tersebut pada awalnya merupakan alat kebijakan yang digunakan secara luas di negara-negara anggota OECD (Organization for Economic, Co-operation and Development). Dalam hal ini, RIA meneliti dan mengukur kemungkinan manfaat, biaya dan dampak peraturan baru atau yang diubah. Selain itu, juga menyediakan alat untuk pembuat keputusan dengan data empiris dengan sebuah kerangka komprehensif yang dapat digunakan untuk menilai pilihan dan konsekuensi keputusan yang dimiliki maupun digunakan untuk mendefinisikan masalah dan untuk memastikan bahwa tindakan pemerintah itu dibenarkan dan sesuai.(Suska: Jurnal Konstitusi, 2012)
Dengan demikian, simplifikasi peraturan perundang-undangan merupakan salah satu cara untuk menghasilkan jumlah peraturan perundang-undangan yang proporsional dan sekaligus meningkatkan kualitas peraturan perundang-undangan agar tidak saling tumpang tindih, disharmoni, ataupun menimbulkan konflik. Oleh karena itu, dalam melakukan upaya simplifikasi peraturan perundang-undangan agar berhasil perlu adanya dukungan oleh kemauan politik (political will) pimpinan tertinggi negara dengan dibantu oleh lembaga yang mempunyai otoritas, kuat dan berwibawa serta didukung semua para pemangku kepentingan.
Referensi :
Ahmad Sururi, Analisis Formulasi Instrumen Simplifikasi Regulasi Menuju Tatanan Hukum Yang Terintegritas Dan Harmonis, Jurnal Ajudikasi, Vol.1 No. 2, 2017.
Ahmad Ulil Aedi, et. Al., Arsitektur Penerapan Omnibuslaw Melalui Transplantasi Hukum Nasional Pembentukan Undang-Undang, JIKH, Vol. 14 No.1, 2020.
Https://peraturan.go.id/.
Ipc, Hyper Regulation, 2019, https://ipc.or.id/hyper-regulation/.
Ibnu Sina Chandranegara, Bentuk-Bentuk Perampingan dan Harmonisasi Regulasi, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, No. 3 Vol. 26, 2019.
Ibnu Sina Chandranegara, Menemukan Formulasi Diet Regulasi, 2017, https://www.researchgate.net/publication/320806944_MENEMUKAN_FORMULASI_DIET_REGULASI.
PSHK, Hiper Regulasi, Tantangan Pembenahan Regulasi di Indonesia, https://pshk.or.id/blog-id/hiper-regulasi-tantangan-pembenahan-regulasi-di-indonesia/.
Roni Sulistyanto Luhukay, et. al., Penataan Sistem Peraturan Perundang-Undangan Dalam Mendukung Penguatan Konstitusi Ekonomi Indonesia, Jatiswara, Vol. 34 No. 2, 2019.
Saldi Isra, Merampingkan Regulasi, 2017, https://www.saldiisra.web.id/index.php/tulisan/artikel-koran/11-artikelkompas/630-merampingkan-regulasi.html.
Suska, Prinsip Regulatory Impact Assessment dalam Proses Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan Sesuai UU Nomor 12 Tahun 2011, Jurnal Konstitusi, 2012.
Tirto.id, 2019, Jokowi & Prabowo Ingin Selesaikan Masalah Regulasi dengan Regulasi, https://tirto.id/jokowi-prabowo-ingin-selesaikan-masalah-regulasi-dengan-regulasi-deEM.
Wicipto Setiadi, Simplifikasi Peraturan Perundang-Undangan Dalam Rangka Mendukung Kemudahan Berusaha, Vol. 7 No. 3, 2018. ()