Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Penyebaran Berita Bohong di Media Sosial

oleh : Yukiatiqa Afifah

Internship Advokat Konstitusi

 Pakar hukum kelahiran Roma, Cicero menyatakan bahwa (ubi societas ibi sius) berarti di mana ada masyarakat disitu ada hukum. Artinya segala tindak tanduk yang dilakukan masyarakat dalam kehidupannya harus berdasarkan atas hukum. Sejalan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) Pasal 1 ayat (3) menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum.  Konsekuensi dari pasal tersebut adalah masyarakat dalam  melakukan sesuatu harus dapat mempertanggungjawabkan segala tindakannya, termasuk ketika mereka  melakukan suatu tindak pidana atau yang  lazim disebut pertanggungjawaban pidana.  

Berbicara mengenai pertanggungjawaban pidana, tidak dapat dipisahkan dengan tindak pidana. Sebab  tindak pidana baru bermakna ketika terdapat pertanggungjawaban pidana. Sederhananya pertanggungjawaban pidana adalah suatu keadaan dapat atau tidaknya seorang pelaku tindak pidana dijatuhi pidana atas perbuatan pidana yang telah ia lakukan. Dalam pertanggungjawaban pidana terdapat asas tiada pidana tanpa kesalahan. Maknanya seseorang dijatuhi pidana tidak hanya berdasarkan atas perbuatan yang ia lakukan namun juga harus ada kesalahan dalam perbuatannya sehingga ia mampu bertanggungjawab. 

Dewasa ini, perkembangan teknologi dan informasi kian pesat. Penggunaan teknologi informasi dan komunikasi ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi menyajikan kemudahan dan memberikan dampak positif di bidang ekonomi, pendidikan, politik dan lain sebagainya namun di sisi lain juga melahirkan kejahatan baru. Sebut saja  penyebaran berita bohong atau biasa dikenal dengan istilah hoaks. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) hoaks atau berita bohong mengacu pada informasi yang tidak benar. Modus yang biasa digunakan oleh pelaku adalah menyebarkan berita bohong dan menyuarakan ujaran kebencian (hate speech).  

Menurut data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), hingga bulan April 2021 terdapat  1.556 hoaks terkait Covid-19 serta 177 hoaks terkait vaksin Covid-19. Sedangkan total jumlah hoaks dari bulan Agustus 2018 hingga awal tahun 2022 sebanyak 9.546 kasus. Terlebih di situasi saat ini, Pandemi Covid-19 tidak hanya meningkatkan kasus kematian, namun penyebaran berita hoaks juga terus mengalami peningkatan. Padahal penyebaran berita bohong atau hoaks ini merupakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum. Hal tersebut tertuang dalam beberapa aturan hukum seperti dalam Pasal 390 Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Undang-Undang  No 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sebagai payung hukum dalam mengatur perkembangan dan pengelolaan teknologi elektronik. 

Berdasarkan asas lex specialis derogat legi generali yang berarti aturan yang bersifat khusus mengesampingkan aturan yang bersifat umum, maka pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku penyebar berita bohong di media sosial mengacu pada ketentuan Pasal 28 ayat (1) UU ITE Jo Pasal 45A ayat (1). Pasal tersebut  menyebutkan,  “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).” Sementara itu, untuk kasus ujaran kebencian diatur dalam  Pasal 28 ayat (2) Jo Pasal 45A ayat (2)  UU ITE “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).” 

Jika kita berkaca aturan hukum tersebut, untuk dapat dipidananya seorang pelaku dan  membuktikan telah terjadi pelanggaran terhadap pasal 28 ayat (1) UU ITE maka harus memenuhi semua unsur dari pasal tersebut yakni:

  1. Setiap orang, yaitu pelaku penyebar berita bohong (hoaks); 
  2. Kesalahan yang dilakukan dengan sengaja, yaitu kesengajaan dan tanpa hak menyebarkan berita bohong (hoaks); 
  3. Tanpa hak atau melawan hukum, yaitu dalam penyebaran berita bohong (hoaks) merupakan tindakan yang melawan hukum dan bertentangan dengan hak seseorang; 
  4. Perbuatan, yaitu seseorang telah menyebarkan berita tidak sesuai dengan fakta;
  5. Objek, yaitu berita bohong (hoaks); 
  6. Akibat konstitutif, yaitu mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik

Selain itu, juga  harus ditentukan apakah niat si pelaku menyebarkan informasi dengan sengaja untuk menimbulkan keresahan atau hanya sekedar iseng belaka. Jika menimbulkan keresahan maka pelaku dapat dilaporkan ke pihak berwajib untuk diperiksa serta diadili di pengadilan. Sebab kasus penyebaran berita bohong merupakan delik aduan. Artinya  kasus harus terlebih dahulu dilaporkan oleh pihak yang merasa dirugikan baru dapat diperiksa melalui jalur hukum. Lain hal dengan kasus pembunuhan, tanpa dilaporkan pun pihak kepolisian dapat memeriksa kasus tersebut. Dengan demikian, penyebaran berita bohong dapat dituntut tergantung konteks dan tujuan pelaku, jika informasi yang disebarkan menimbulkan keonaran dan keresahan serta  ada yang melaporkan maka dapat diproses melalui ranah hukum begitupun sebaliknya. 

Sejatinya bentuk dari pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku penyebaran berita bohong dapat berupa pidana penjara dan denda. Pidana penjara diberlakukan selain untuk membuat efek jera bagi pelaku berupa tindakan asertif juga memberikan peringatan dan efek menakut-nakuti kepada masyarakat agar tidak melakukan hal yang serupa. Sementara itu, denda diberikan agar mengurangi beban keuangan negara dan sosial ketika pelaku harus dimasukkan ke penjara. Namun terlepas dari itu semua, seperti pepatah lama “lebih baik mencegah daripada mengobati” maka dampak dari penyebaran berita bohong sebenarnya dapat diminimalisir dengan cara-cara persuasif. Dimulai dari masyarakat itu sendiri dengan menerapkan literasi digital artinya sebelum menerima informasi, masyarakat diharuskan untuk membaca, meneliti dengan cermat  dan memeriksa apakah informasi yang disajikan benar. Masyarakat tidak boleh menerima informasi secara mentah-mentah, tetapi harus disaring sebelum di-sharing

Tidak hanya itu, pemerintah perlu turun tangan dalam memutus mata rantai penyebaran berita bohong ini dengan mengawasi setiap konten yang diterbitkan di media sosial. Apabila ditemukan informasi yang menyimpang maka harus segera ditindak. Mengingat banyaknya dampak negatif  yang dirasakan ketika hoaks merajalela. Seperti terganggunya stabilitas politik, keamanan, perekonomian bahkan yang paling berbahaya mengancam persatuan dan kesatuan Negara Republik Indonesia. Pemerintah dituntut  harus memiliki strategi khusus dalam memberantas penyebaran berita bohong. Salah satunya melalui penguatan regulasi dengan merevisi pasal-pasal karet dalam undang-undang ITE agar tidak terjadi kesalahan penafsiran dan memiliki kejelasan dalam pengaplikasiannya.  Oleh Karena itu, perlu sinergi dan kerja sama dari  semua pihak sebagai bentuk upaya  pencegahan dan pemberantasan penyebaran berita bohong di Indonesia.  ()