PERTANGGUNGJAWABAN TINDAK PIDANA TERHADAP PELAKU GANGGUAN MENTAL

Oleh: Tia Tasia Zein

Pada tanggal 30 November 2022, satu keluarga di Malang tewas akibat racun. Pelaku merupakan anak kandung korban. Pembunuhan satu keluarga yang dilakukan oleh anak korban sendiri, telah merenggut nyawa ayah, ibu dan kk kandungnya. Awalnya, para kerabat memiliki kecurigaan dan menemukan kejanggalan atas kematian satu keluarga tersebut serta meminta kepada tim medis untuk melakukan otopsi, namun pelaku tidak mau melakukannya. Setelah dilakukan penyidikan oleh pihak kepolisian, anak korban mengakui perbuatannya telah membunuh keluarganya sendiri. Motif dari pembunuhan tersebut karena pelaku merasa sakit hati dan mengaku dibebankan tanggung jawab untuk menanggung beban ekonomi keluarga yang sangat tinggi.

Namun, keterangan yang diberikan oleh pihak kerabat berbanding terbalik dari keterangan yang disampaikan oleh pelaku. Jika memang demikian maka perbuatan pelaku termasuk dalam pembunuhan berencana dan ancaman hukumannya bisa seumur hidup ataupun hukuman mati atau penjara selama-lamanya 20 tahun sebagaimana yang termuat dalam Pasal 340 KUHP.  

Sebelumnya, mari kita bahas bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap pembunuhan yang telah dilakukan oleh pelaku? Apakah pelaku termasuk orang yang dapat dibebankan tanggung jawab atau tidak?

Dosen Psikologi Universitas Gunadarma sekaligus anggota Asosiasi Psikologi Forensik, Meity Arianty mengatakan, berdasarkan pengalamannya ‘orang sehat tidak akan bunuh diri atau membunuh orang’, sebab jika berpikiran negatif kepada diri sendiri atau orang lain artinya ia sangat putus asa. Putus asa biasanya dialami orang yang mengalami depresi berat. “Jadi, tak ada orang sehat yang bunuh diri atau bunuh orang lain, pasti orang tersebut ‘sakit’ jika dari segi kesehatan mental,”

Apakah kesehatan mental dapat menyebabkan seseorang tidak  dibebankan tanggung jawab pidana?

Jika kita lihat kembali dalam hukum pidana diatur mengenai pertanggungjawaban pidana, apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak. Dilihat dari sudut kemampuan bertanggung jawab maka hanya seseorang yang mampu bertanggung jawab saja yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Secara umum unsur-unsur pertanggungjawaban pidana meliputi:

  1. Mampu bertanggung jawab 
  2. Kesalahan 
  3. Tidak ada alasan pemaaf

Menurut KUHP syarat pemidanaan disamakan dengan delik, oleh karena itu dalam pembuatan unsur-unsur delik dalam penuntutan haruslah dapat dibuktikan juga dalam persidangan. Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada pemidanaan petindak (orang yang melakukan), jika telah melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsurnya yang telah ditentukan dalam undang-undang serta tindakannya bersifat melawan hukum, maka seseorang tersebut dapat mempertanggungjawabkan tindakannya. Dikatakan seseorang mampu bertanggung jawab (toerekeningsvatbaar), bilamana pada umumnya keadaan jiwanya: 

1) Tidak terganggu oleh penyakit terus-menerus atau sementara (temporary);

2) Tidak cacat dalam pertumbuhan (gagu, idiot, imbecile, dan sebagainya), dan

3) Tidak terganggu karena terkejut, hipnotisme, amarah yang meluap, pengaruh bawah sadar/reflexe beweging, melindur/slaap wandel, mengigau karena demam/koorts, ngidam dan lain sebagainya. 

Dengan kata lain dia dalam keadaan sadar jika kemampuan jiwanya dapat menginsyafi hakekat dari tindakannya, dapat menentukan kehendaknya atas tindakan tersebut, apakah akan dilaksanakan atau tidak; dan dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan tersebut. Menurut E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi bahwa kemampuan bertanggungjawab didasarkan pada keadaan dan kemampuan “jiwa” seseorang bukan kepada keadaan dan kemampuan “berpikir” dari seseorang, walaupun dalam istilah yang resmi digunakan dalam Pasal 44 KUHP adalah istilah keadaan dan kemampuan jiwa seseorang yaitu jiwanya cacat dalam pertumbuhan dan jiwanya terganggu karena penyakit.

Pasal 44 KUHP berbunyi sebagai berikut: (1) Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana. (2) Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungkan kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan. (3) Ketentuan dalam ayat 2 hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi, dan Pengadilan Negeri.

Kesimpulan yang dapat diambil dari kasus diatas adalah pelaku sadar akan perbuatan yang telah dilakukannya, bukan hanya sekali namun pelaku juga pernah melakukan percobaan pembunuhan dengan motif yang sama sebelumnya namun gagal. Pelaku termasuk dalam seseorang yang dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya apalagi sampai menghilangkan nyawa keluarganya sendiri. Hukuman yang seberat-beratnya diberikan kepada pelaku untuk memberikan peringatan kepada masyarakat luas dan memberikan efek jera kepada pelaku atas tindakan yang telah dilakukannya. Mengutip dari buku Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, pasal 338 KUHP berbunyi “Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama 15 tahun.”

  ()