Oleh: Joshua
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy’ari melontarkan mengenai Pemilihan Umum Legislatif 2024 yang menggunakan sistem proporsional tertutup (29/12). Tentunya, mengingat jabatan sentral yang dimiliki Beliau, terjadilah panen respon atas lontarannya tersebut. Ada yang mendukung dan ada pula yang tidak mendukung. Mengutip apa yang disampaikan oleh Jerry Indrawan dalam Sistem Pemilu di Indonesia sebagaimana yang dikutip kembali oleh detik.com, sistem proporsional adalah sistem pemilihan dengan jumlah penduduk berimbang dengan jumlah kursi legislatif di daerah pemilihan.
Memang, hingga 2019 kemarin setidaknya kita merasakan mencoblos atau memilih calon anggota legislatif (caleg) secara langsung. Kita melihat bendera atau nomor urut partai, lalu dapat memilih satu nama yang tertera di sekumpulan tulisan kecil-kecil tersebut. Ketika kita dapat memilih caleg secara langsung, itulah yang dinamakan proporsional terbuka. Namun ketika kita hanya bisa mencoblos logo partainya saja, inilah yang dinamakan sistem proporsional tertutup seperti yang terakhir digunakan pada Pileg 2004.
Bak gayung bersambut, dari sembilan fraksi DPR, terdapat satu fraksi yang terlihat mendukung wacana ini. Kompas.tv pada Selasa (9/1) mengemukakan sejumlah alasan mengapa fraksi tersebut mendukung wacana ini, yaitu: (1) Mendorong pihak yang kompeten sebagai wakil rakyat; (2) Hemat Anggaran; (3) Sesuai konstitusi; serta (4) Parlemen yang akan diisi pakar. Sebenarnya seru untuk membahas satu per satu, namun dalam tulisan yang terbatas ini, penulis hanya akan mencoba membantah satu alasan: Hemat Anggaran.
Hemat anggaran disinyalir menjadi alasan mengapa kita harus mendukung pengembalian sistem proporsional tertutup tersebut, baik efisiensi biaya kampanye caleg, maupun efisiensi biaya penyelenggaraan. Kita memang tidak dapat memungkiri, pasca menggunakan sistem proporsional terbuka, berbagai upaya money politic penghambat demokrasi yang sehat pun bermunculan, mulai dari bagi-bagi sembako, perbaikan infrastruktur tertentu, hingga “serangan fajar”. Belum lagi resiko yang lebih besar, yaitu sponsor-sponsor politik yang ada di belakang layar caleg guna sehingga menurut Amir Hamzah dalam Dasar Hukum Pidana, menyebutkan bahwa hal ini dapat memengaruhi jalannya pemerintahan yang korup dan pesanan-pesanan regulasi bagi kelompok tertentu.
Namun jika kita kaji dari sisi teknisnya, yang mana dalam pemilu proporsional tertutup membuat rakyat hanya dapat memilih partai, dan partailah yang memilih anggota legislatifnya, artinya “bola” berada di tangan partai politik. Hal inilah yang menurut Afiq Faqih dalam tulisan berjudul “Urgensi Sistem Proporsional Tertutup Untuk Pencegahan Praktik Money Politics Pada Pemilihan Tertutup” menyampaikan kekhawatirannya pada oligarki yang akan tercipta ketika ketentuan ini berjalan. Hal yang sama turut ditanggapi oleh Airlangga Pribadi, pengamat politik Universitas Airlangga, baginya ketika partai politik yang memiliki kewenangan mengatur pihak yang dapat masuk dalam parlemen, adanya indikasi penyimpangan dalam bentuk transaksi atau menjual kursi dengan nominal tertentu. Dengan kata lain, partai politik justru menjadi turun pangkat seperti sebuah yayasan penyalur Asisten Rumah Tangga (ART) yang mana mengharuskan pembayaran sejumlah uang tertentu untuk disalurkan atau ditempatkan. ()