Oleh: Yukiatiqa Afifah
Tidak terasa tahun depan Indonesia akan menyelenggarakan pesta demokrasi melalui pemilihan umum. Dewan perwakilan rakyat, pemerintah dan penyelenggaran pemilu dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum sepakat penyelenggaraan pemungutan suara pemilu untuk memilih presiden dan wakil presiden, anggota DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD kabupaten/kota, serta anggota DPD RI dilaksanakan pada hari Rabu, tanggal 14 Februari 2024.
Berkaitan dengan pelaksanaan pemilihan umum, Hasil amandemen UUD 1945 jelas mengamanatkan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dilakukan secara langsung oleh rakyat. Namun kemudian menjadi perdebatan adalah persoalan mekanisme dan persyaratan calon Presiden dan Wakil Presiden terutama persyaratan presidential threshold yang diatur dalam Undang-Undang Pilpres, yaitu Undang-Undang No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Menurut Sigit Pamungkas dalam bukunya yang berjudul Perihal Pemilu, yang dimaksud dengan presidential threshold adalah pengaturan tingkat ambang batas dukungan dari DPR, baik dalam bentuk jumlah perolehan suara (ballot) atau jumlah perolehan kursi (seat) yang harus diperoleh partai politik peserta pemilu agar dapat mencalonkan Presiden dari partai politik tersebut atau dengan gabungan partai politik
Peraturan lain yang mengatur mengenai presidential threshold tertuang dalam pasal 222 UU No 7 tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum disebutkan bahwa “Pasangan calon Pemilihan umum diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah nasional dalam pemilu anggota DPR sebelumnya.” Secara sederahana bisa kita simpulkan bahwa partai politik harus mendapatkan 20% kursi DPR atau 25% suara sah nasional agar bisa mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden dalam pemihan presiden yang patokannya adalah merujuk pada hasil pemilihan legislatif periode sebelumnya, yakni pemilu 2019. Jika partai politik tidak mampu memenuhi persyaratan tersebut, partai politik dapat berkoalisi atau bergabung dengan partai politik lain untuk mengusungkan calon presiden dan wakil presiden.
Berbagai upaya telah dilakukan agar ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden dihilangkan. Salah satunya dengan melakukan uji materi pasal 222 yang terdapat dalam UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum ke Mahkamah Konstitusi. Namun hasilnya nihil. Mahkamah konstitusi tidak mengabulkan permohonan untuk uji materi dalam pasal tersebut. Dengan demikian hingga saat ini Indonesia masih menerapkan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden. Setidaknya sudah beberapa kali muncul wacana untuk menghapus presidential threshold ini. Lalu apakah dengan menghapus ambang batas pencalonan presiden akan membuat pertumbuhan demokrasi di Indonesia akan semakin maju atau sebaliknya malah semakin mundur?
Jika kita telusuri secara bertahap, dengan dihapusnya ambang batas ini, maka setiap partai politik mempunyai hak untuk mencalonkan pasangan presiden dan wakil presidennya masing-masing. Tidak ada lagi istilah koalisi atau gabungan partai politik sehingga persaingan antar partai poltik semakin berat. Calon pasangan presiden dan wakil presiden yang muncul akan banyak dan lebih variatif sehingga dapat meminimalisir munculnya calon tunggal dan masyarakat memiliki banyak pilihan. Oleh karena itu keterbelahan dalam masyarakat dapat diatasi. Pada akhirnya membuat demokrasi di Indonesia lebih matang dan memperkuat esensi dari pemilihan umum.
Selain itu, dengan dihapuskannya ambang batas ini akan menghilangkan diskriminasi partai besar dan partai kecil karena kesetaraan hak yang diberikan kepada masing-masing partai untuk mencalonkan kadernya sebagai pasangan calon presiden dan wakil presiden. Melihat dari kacamata konstitusional, penerapan ambang batas secara eksplisit tidak dijelaskan dalam UUD 1945. Bahkan dalam pasal 6A ayat 2 UUD 1945 dinyatakan bahwa “Pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai poltik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum” artinya peserta pemilihan umum adalah partai politik atau koalisi partai yang sekarang bukan hasil dari pemilihan legislatif sebelumnya.
Ambang batas yang merujuk pada kekuatan masa lalu dinilai tidak relevan lagi dengan situasi sekarang. Dengan hadirnya ambang batas ini, peta politik akan berubah. Politik transaksional akan cenderung muncul karena adanya koalisi. Partai politik pengusung yang berkoalisi cenderung akan meminta “jatah” jabatan di pemerintahan kepada presiden yang terpilih. Sehingga pada akhirnya presiden bekerja bukan untuk rakyat tapi untuk kepentingan partai politiknya.
Dalam pelaksanaannya, mekanisme presidential treshold sebagai syarat pengajuan calon presiden dan calon wakil presiden dinilai memberatkan partai politik. Pasalnya, Partai politik sebagai mesin penghasil bakal calon pasangan presiden dan wakil presiden tidak mampu memenuhi persyaratan yang ada. Hal ini yang menyebabkan pasangan calon presiden dan wakil presiden yang akan bertanding pada pemilu sedikit.
Dampak lain yang ditimbulkan jika kita menghapus sistem presidential threshold ini akan memunculkan pasangan calon presiden dan wakil presiden yang lebih banyak. Pasangan calon presiden dan wakil presiden tersebut harus mendapatkan suara lebih dari 50% dari jumlah suara dalam pemilihan umum yang berlangsung. Hal ini diperkuat dalam pasal 6A ayat 3 UUD 1945 “pasangan calon presiden dan wakil presiden harus mendapatkan suara lebih dari 50% dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya 20% suara disteiap provinsi yang tersebar dilebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia dilantik menjadi presiden dan wakil presiden”.
Apabila pasangan calon presiden dan wakil presiden tersebut tidak ada yang mendapatkan suara lebih dari 50% maka pemilihan presiden dan wakil presiden berlangsung dua putaran, yakni dua pasangan calon presiden dan wakil presiden yang memperoleh suara terbanyak akan bertarung kembali dalam pemilihan presiden dan wakil presiden. Dengan dilaksanakan pemilihan presiden dan wakil presiden dua putaran tentu akan menambah pengeluaran negara. Selain itu akan memperpanjang masalah dengan lamanya proses pemilihan presiden dan wakil presiden dan keterbelahan masyarakat kembali muncul karena hanya dua pasangan calon presiden dan wakil presiden yang muncul. Ditambah partai politik dengan bebas dapat mencalonkan kadernya menjadi pasangan calon presiden dan wakil presiden maka berakibat pada proses penyeleksiannya yang tidak ketat sehingga calon yang muncul tidak berkualitas dan berintegritas.
Namun di sisi lain, kehadiran Presidential threshold ini menjadi salah satu cara penguatan sistem presidensial melalui penyederhanaan partai politik. Tujuannya menciptakan pemerintahan yang stabil dan tidak menyebabkan pemerintahan yang berjalan mengalami kesulitan di dalam mengambil kebijakan dengan lembaga legislatif. Penerapan presidential threshold menurut penilaian Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 3/PUU-VII/2009 merupakan kebijakan yang lebih demokratis karena tidak mengancam eksistensi partai politik dalam mengajukan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Presidential threshold dianggap tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 karena tidak menegasikan prinsip kedaulatan rakyat, serta tidak bersifat diskriminatif karena berlaku untuk semua partai politik. Sedangkan menurut putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 ketentuan mengenai presidential threshold dianggap merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) dari pembentuk Undang-Undang. Istilah kebijakan hukum terbuka dapat dimaknai sebagai suatu kebebasan bagi pembentuk Undang-Undang untuk mengambil kebijakan hukum.
Melihat sisi positif dan negatif dari penghapusan sistem presidential treshold yang ada, nampaknya pemerintah perlu berbenah diri agar masalah yang terjadi tidak berlarut-larut dan tidak terulang kembali. Dampak-dampak tersebut bisa ditarik benang merahnya untuk dijadikan sebuah solusi. Sebaiknya memang perlu diberlakukan presidential threshold ini untuk menjadi pagar pembatas dari pencalonan presiden dan wakil presiden. Namun, pemerintah perlu memikirkan dan memberikan ambang batas yang relevan untuk syarat pencalonan presiden dan wakil presiden seperti menurunkan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden yang semula 20% menjadi 10% kursi DPR serta 25% suara nasional diturunkan menjadi 15% sehingga dapat dijangkau oleh partai politik dan mampu menghasilkan pasangan calon yang lebih banyak dan variatif. Diharapkan dengan adanya penurunan ambang batas ini akan memperkuat sistem demokrasi yang ada di Indonesia. ()