Polemik Tambang Ilegal Yang Tak Usai: Tutup Menutupi Antara Petinggi Polri

Oleh: Novi Huriyani 

Kegiatan pertambangan tanpa izin (PETI) yang marak di sejumlah daerah di Indonesia diduga akibat ada pembiaran serta minimnya pengawasan dari pihak berwenang. Selain itu, Maraknya aktivitas PETI atau pertambangan ilegal juga tidak bisa dilepaskan dari nilai ekonomi yang didapat oleh masyarakat setempat. Banyak warga yang menggantungkan mata pencaharian dari aktivitas tambang ilegal tersebut. Apalagi, harga komoditas mineral dan batubara terus menguat dalam setahun terakhir dan menjadi penarik kegiatan tidak sah ini.

Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang dirilis beberapa waktu lalu, menyebutkan hingga kuartal III 2022 terdapat lebih dari 2.700 lokasi Kegiatan pertambangan tanpa izin di Indonesia. Dari jumlah tersebut, sekitar 2.600 lokasi merupakan pertambangan mineral dan 96 lokasi merupakan tambang batubara.

Faktor penyebab terjadinya pertambangan ilegal ini dapat disebabkan oleh adanya pembiaran dari pihak berwenang, kurangnya pengawasan, dan kurangnya fasilitasi perizinan. Maka dalam hal ini juga diperlukan peran serta Polri melalui fungsi dan kewenangannya untuk melakukan tindakan berupa penegakan hukum baik melalui upaya preventif maupun upaya represif dengan melakukan penindakan secara tegas dan nyata di lapangan terhadap para pelaku pertambangan ilegal (illegal mining).

Regulasi mengenai PETI telah diatur dalam UU No 3 Tahun 2021 perubahan atas UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara pada Pasal 158 UU, disebutkan bahwa orang yang melakukan penambangan tanpa izin dipidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000.000. 

Penegakan hukum merupakan salah satu Fungsi dan Tugas Pokok dari Polri selain sebagai

pengayom masyarakat. Fungsi tersebut merupakan sebagian dari implementasi Pasal 1 ayat (5) UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menetapkan bahwa “Keamanan dan Ketertiban Masyarakat adalah suatu kondisi Dinamis Masyarakat sebagai salah satu prasyarat terselenggaranya proses pembangunan Nasional yang ditandai oleh terjaminnya tertib dan tegaknya hukum serta terbinanya ketenteraman yang mengandung kemampuan membina serta mengembangkan potensi dan kekuatan masyarakat dalam menangkal, mencegah, dan menanggulangi segala bentuk pelanggaran hukum dan bentuk-bentuk gangguan lainnya dapat meresahkan masyarakat”.

Sebagaimana kasus yang saat ini sedang ramai di perbincangkan yakni mengenai dugaan pertambangan illegal yang menyeret beberapa nama petinggi polisi. 

Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menilai dugaan kasus pertambangan ilegal yang menyeret beberapa nama petinggi kepolisian itu dengan modus setor uang ke polisi adalah modus lama. Begitu juga dengan dugaan kasus tambang ilegal di Kalimantan Timur yang disebut-sebut melibatkan oknum perwira tinggi. Padahal, Undang-Undang terkait Mineral dan Batubara (Minerba) sudah mengatur tambang ilegal sebagai pidana. Dari Undang-Undang Minerba tahun 1967 UU Nomor 4 Tahun 2009 hingga UU Nomor 3 Tahun 2020. 

Namun, menurut Jamil dari JATAM KALTIM, pola untuk membungkam polisi seringkali sama yaitu adanya setoran yang dialirkan ke kantong-kantong pribadi aparat Bhayangkara ini. “Nah, pola untuk membungkam atau membuat polisi tidak melaksanakan kewajibannya adalah dengan membungkamnya dengan godaan setoran tunai,” ujar Jamil. 

Diketahui, persoalan terkait tambang ilegal yang melibatkan aparat kepolisian ramai diperbincangkan setelah pengakuan mantan anggota Polres Samarinda Ismail Bolong. 

Video pengakuan yang dibuat Ismail Bolong iu menyebut oknum perwira tinggi turut mendapat setoran untuk mengamankan usaha tambang ilegal. 

Dalam kegiatan pengepulan batubara ilegal tersebut, Ismail Bolong mengaku mendapat keuntungan sekitar Rp 5-10 miliar setiap bulan. Dari usaha itu, Ismail Bolong mengaku telah menyetor duit miliaran rupiah kepada oknum perwira tinggi.

Pengakuan Ismail Bolong belakangan terungkap lewat dokumen surat hasil penyelidikan Divpropam Polri yang ditandatangani Eks Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo. Sambo pun membenarkan surat yang mencantumkan nama-nama orang yang terlibat dalam kasus tambang ilegal, termasuk oknum perwira tinggi. Namun, oknum perwira tinggi membantah menerima uang setoran hasil bisnis tambang ilegal dari anggota polisi Ismail Bolong. Sebaliknya dia mempertanyakan Hendra Kurniawan dan mantan Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo tidak langsung menindak Ismail Bolong ketika itu. Disinyalir bahwa kasus ini merupakan upaya balas dendam yang dilayangkan oleh Ferdy Sambo. 

Sedangkan Eks Karopaminal itu membantah dirinya terlibat dalam kasus tambang ilegal itu. Ia mengatakan, kalau memang benar, harusnya Divpropam sudah memproses sejak dulu.

Namun, peneliti dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) bidang kepolisian Bambang Rukminto tak yakin kasus dugaan tambang ilegal yang menyeret nama perwira tinggi merupakan upaya balas dendam Ferdy Sambo dan gengnya. 

Namun, di satu sisi, Bambang juga heran. Jika oknum perwira tinggi dan para petinggi Polri lainnya terindikasi terlibat, seharusnya pengusutan kasus ini terus dilanjutkan. Semestinya, para pihak yang diduga menerima aliran uang panas diproses hukum. Dalam ranah Divisi Propam Polri, pihak-pihak yang terlibat minimal dikenai sanksi etik. 

Apabila perwira tinggi tersebut terbukti melakukan perbuatan pidana tersebut, maka akan dikenakan sanksi administratif pelanggaran kode etik Polri berupa rekomendasi Pemberhentian Dengan Tidak Hormat (PTDH) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3) huruf a sampai dengan huruf d, dan huruf f diputuskan melalui Sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP), setelah terlebih dahulu dibuktikan pelanggaran pidananya melalui proses peradilan umum sampai dengan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. 

Tetapi jika perwira tinggi tersebut tidak terbukti maka ismail bolong akan dituntut secara hukum karena telah memfitnah perwira tinggi tersebut dengan menyebarkan berita bohong dan perbuatan yang tidak menyenangkan sebagaimana telah diatur dalam Pasal 310 dan Pasal 335 KUHP dan UU ITE. 

Ismail bolong dapat dipidana dengan UU Pidana dan UU ITE dengan barang bukti rekaman video yang mengaku memberikan uang senilai Rp. 6.000.000.000 (enam milyar rupiah) kepada oknum perwira tinggi sebanyak 3 kali dengan nilai Rp. 2.000.000.000 (dua milyar rupiah). 

 

Oleh karena itu, seyogyanya kasus dugaan tambang ilegal ini harus diusut secara serius agar tidak terjadi keraguan dan tanda tanya masyarakat. Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo pun diminta untuk turun tangan menyelesaikan soal dugaan setoran tambang ilegal di Kalimantan Timur (Kaltim) dari Ismail Bolong. Yang lebih penting dari itu adalah substansi dari kasus dugaan tambang ilegal ini. Jika ada petinggi Polri yang terbukti terlibat, mestinya dia diganjar hukuman setimpal, bukannya justru ditutup-tutupi. 

Maka langkah yang tepat untuk mengatasi maraknya pertambangan ilegal ialah perlunya komitmen yang tinggi dari stakeholders terkait untuk mengatasi masalah praktek Pertambangan Tanpa Izin (PETI). Pembentukan Satgas Penanggulangan PETI menjadi salah satu cara agar ada kerja terorganisir, lintas sektor, dan komprehensif dalam mengatasi persoalan PETI. Diperlukan juga Satgas Penanggulangan PETI. Satgas ini tidak hanya bersifat penegakan hukum, tetapi juga melakukan pembinaan, fasilitasi, dan supervisi. 

Perang bintang antara para petinggi Korps Bhayangkara memang sangat mungkin terjadi. Terbuka peluang upaya saling menjatuhkan di tubuh Polri. Namun, momen ini harusnya dapat dimanfaatkan oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk berbenah di internal dan menjaga citra lembaga yang dia pimpin. Kapolri diminta untuk memperkuat sistem kontrol dan pengawasan internal sehingga para personel Polri bisa bekerja sesuai aturan tanpa banyak melakukan pelanggaran. Ini penting untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap institusi Polri yang angkanya terus menurun sejak kasus Ferdy Sambo, disusul dengan tragedi Kanjuruhan serta kasus Irjen Teddy Minahasa.  ()