Oleh: Ahmad Mukhallish Aqidi Hasmar
Prolog
Pesta rakyat 5 tahunan akan kembali diselenggarakan di Indonesia, bila dihitung mundur dari tulisan ini dibuat maka tersisa 219 hari lagi menuju acara puncak pesta rakyat tersebut atau yang kita sebut dengan Pemilihan Umum (Pemilu) pada hari Rabu, 14 Februari 2024 nanti. Dalam perjalanannya, Pemilu di Indonesia telah dilaksanakan sejak tahun 1955 sebagai tonggak pelaksanaan pemilu perdana di Republik ini hingga tahun 2019 lalu. Dinamika pelaksanaan pemilu pun mengalami pasang-surut, seperti sporadisnya tradisi politik uang dalam pemilu di Indonesia.
Komitmen Sebagai Negara Hukum Demokrasi
Nuansa kebatinan bangsa Indonesia pasca terjadi Reformasi tahun 1998 ingin mewujudkan negara ini menjadi negara yang demokratis, salah satu keinginan diamandemennya konstitusi Indonesia adalah kedaulatan berada di tangan rakyat bukan berada pada suatu lembaga yang menjadi representasi kedaulatan rakyat itu sendiri. Amandemen Konstitusi pun terjadi dengan rentang waktu dari tahun 1999-2003 yang akhirnya Indonesia pun menyatakan secara tegas dan lugas sebagai negara yang “kembali” demokratis. Salah satu karakteristik yang tampak pada negara hukum demokrasi adalah diselenggarakannya pemilihan umum yang menjadi konsekuensi sebagai negara demokratis adalah lahirnya pemilu yang menjadi “buah hati yang diprimadonakan” untuk selalu dirayakan. Tertuang dalam Pasal 22E ayat (1) UUD NRI tahun 1945 yang berbunyi: “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali”.
Urgensitas pengaturan pemilu dalam konstitusi adalah sebagai wujud komitmen Indonesia dalam melaksanakan kedaulatan rakyat dan memberi kepastian hukum. Melalui ketentuan tersebut, maka sudah tentu memberikan jaminan waktu pelaksanaan pemilu secara periodik serta terjaminnya teknis pelaksanaan pemilu yang berintegritas. Hal ini dikarenakan pemilu adalah sebuah kegiatan lima tahunan yang memberikan kesempatan kepada pemilik kedaulatan untuk menentukan siapa layak dalam memimpin negara.
Sporadis Politik Uang Menjadi Tradisi
Indonesia sebagai negara yang berdemokrasi tentu memiliki prinsip seperti negara demokrasi pada umumnya yang memandang rakyat sebagai pemilik kekuasaan yang utama seperti yang kita kenal dengan istilah “Dari rakyat, Oleh rakyat, Untuk rakyat”. Sila ke empat Pancasila kita pun memberi petunjuk dalam menerapkan demokrasi di Indonesia dengan model perwakilan atau wakil rakyat sebab disadari ketidakmungkinan untuk menyerahkan kekuasaan kepada seluruh rakyat Indonesia, maka lahirlah konsensus untuk memilih secara langsung perwakilan yang merepresentasikan mereka untuk menjalankan kekuasaan tersebut.
Tradisi yang masih belum diantisipasi dalam pelaksanaan Pemilu di negara kita, tak lain dan tak bukan ialah praktik politik uang (money politic). Fenomena politik uang pun pelan tapi pasti membentuk suatu tradisi di masyarakat dalam berpolitik di negeri ini, kemudian tradisi ini turut andil mengubah haluan orientasi politik yang bermula pada dedikasi dan pelayanan masyarakat menjadi uang, uang, dan uang.
Contoh konkret telah berubahnya orientasi politik di masyarakat kita terlihat dari cara pikir masyarakat dalam menentukan atau memilih pemimpin. Awalnya, masyarakat memilih pemimpin dengan pertimbangan pada hati nurani dan kesesuaian antara visi misi calon dengan masalah-masalah yang ada di masyarakat. Namun semua berubah setelah masuknya politik uang, masyarakat pun memilih pemimpin yang sanggup memberikan uang atau yang lainnya.
Sederhananya politik uang merupakan sebuah upaya untuk memengaruhi pilihan pemilih atau penyelenggara pemilu dengan imbalan materi atau yang lain. Tiap menjelang pemilu, sering kita lihat atau kita jumpai peserta pemilu baik calon anggota legislatif maupun calon kepala daerah bahkan calon presiden dan wakil presiden sekalipun ketika mengumbar janji manis kepada masyarakat, menjadi satu kebiasaan yang terus menerus dilakukan sebagian dari mereka membagi-bagikan lembaran rupiah atau bingkisan sembako dengan kata kunci “ingat, pilih saya”.
Pola pikir masyarakat yang terbentuk untuk mengamini politik uang, sebagian partai politik maupun politisi mengoptimalkan pendekatan politik uang sebagai cara yang praktis untuk mengeskalasi elektabilitas calon sehingga martabat demokrasi pun diinjak-injak serta masyarakat kita pun mendapatkan pendidikan politik yang buruk.
Dampak merebaknya tradisi politik uang di Indonesia pun kian tampak pada wajah demokrasi kita yang semakin kesini semakin mahal biayanya, bukan menjadi ajang adu gagasan melainkan ajang kekuatan modal. Menurut Penulis, kondisi ini sudah memasuki fase kronis dari praktik politik uang dalam Pemilu kita. Politik uang pun menjadi pusaran lingkaran setan dalam demokrasi kita yang diterapkan dari pemilihan ketua umum partai politik, pencalonan dan kampanye pemilu, pemungutan perhitungan hingga rekapitulasi surat suara semuanya menjadi ada yang kurang tanpa adanya politik uang.
Melawan Politik Uang Demi Pemilu yang Berintegritas
Pemilihan Umum terkadang dipandang sebelah mata oleh kita, padahal pemilu ialah momen yang sakral dalam transisi kekuasaan di negara kita yang tercinta ini. Kita mungkin menganggap pemilu itu sekedar memilih calon legislatif dan eksekutif belaka sehingga menimbulkan sikap apatis kita dalam menggunakan hak suara dalam memilih. Sikap apatis ini menjadi bahan bakar utama dalam langgengnya praktik politik uang di masyarakat. Banyak alasan-alasan yang digunakan untuk menjadi pembenaran masyarakat dalam melakukan politik uang dalam pemilu di Indonesia, seperti anggapan pemberian uang pada pemilih sebagai rezeki yang sayang bila dilewatkan yang kemudian kita kenal dengan jargon “terima uangnya, jangan pilih orangnya”. Padahal perbuatan ini tidak dibenarkan meskipun dengan pembenaran sekalipun mestinya “tolak uangnya, tolak orangnya” coba bayangkan, belum terpilih saja sudah terang-terangan menyuap masyarakat bagaimana terpilih nanti.
Politik uang merupakan ancaman serius pada pemilu 2024 mendatang. Keberadaan politik uang tidak hanya di sekitar peserta dan pemilih belaka, akan tetapi sudah menjangkau penyelenggara pemilu itu sendiri. Terkontaminasinya tradisi politik uang di penyelenggara pemilu, bisa kita lihat seksama salah satunya Putusan DKPP tahun 2021 yang menjatuhkan sanksi pemberhentian tetap kepada anggota KPU karena terbukti menerima uang dari salah satu calon anggota legislatif dengan menjanjikan sebanyak 20 ribu suara. Putusan ini tentu menjadi peringatan sekaligus memberi edukasi bagi penyelenggara pemilu agar berhati-hati dalam memangku tanggung jawab prosesi sakral pesta rakyat Indonesia.
Sebegitu masifnya dampak dari tradisi politik uang bagi masyarakat kita, urgensi untuk menjaga agar demokrasi dan transisi kekuasaan yang sakral tetap terjaga, salah satu langkah yang dilakukan adalah diadakan sanksi bagi orang yang melakukan politik uang dalam Pemilu 2024 tercantum dalam Pasal 515 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu).
“Setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada Pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih Peserta Pemilu tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp 36.000.000,00,”.
Sedangkan ancaman pidana bagi perorangan atau individu yang melakukan politik uang pada hari pemungutan suara tercantum dalam Pasal 523 Ayat (3) UU Pemilu. “Setiap orang yang dengan sengaja pada hari pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada Pemilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih Peserta Pemilu tertentu dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp 36.000.000,00,”.
Epilog
Menghilangkan politik uang secara instan tentu tidak mungkin, namun menekan dan meminimalisir praktik politik uang menjadi suatu keniscayaan. Proses pemilu ibarat mengganti nakhoda kapal agar sampai pada tujuan yang telah disepakati sebelum berlayar. Apabila penggantian nakhoda ini melalui proses demokratis namun terkontaminasi dengan tradisi politik uang maka sejatinya, nakhoda yang terpilih nanti hanya mengikuti arah dan tujuan kalangannya sendiri.
Yakinlah, bahwa politik uang itu bukanlah tradisi dalam demokrasi dan harus segera dikebiri. ()