Potret Buruk Praktik Legislasi di Indonesia Masih Terjadi

Oleh : Bagas Wahyu Nursanto

(Internship Advokat Konstitusi)

Praktik legislasi di Indonesia dari tahun ke tahun selalu menyertakan permasalahan di dalamnya. Permasalahan tersebut memang menjadi sebuah keniscayaan ketika pembentuk Undang-undang (UU) memiliki kewenangan sebagai otoritatif kekuasaan dalam fungsi legislasi bersinggungan dengan kepentingan di dalamnya. Misal saja bagaimana kedudukan anggota DPR yang tidak bisa lepas dari kepentingan partai politik sebagai wadah konstitusional mereka untuk berada di bangku parlemen. Untuk itu sebagai konstituen legislator, masyarakat memiliki hak sekaligus kewajiban mengawal praktik legislasi agar produk legislasi yang dihasilkan legislator betul-betul sejalan dengan keinginan konstituen.

Penulis berpandangan problematika legislasi saat ini tidak lepas dari aspek keterbukaan, partisipasi publik, serta proses praktik legislasi yang berkualitas ditengah pandemi Covid-19. Problematika legislasi tersebut justru mencoreng proses dalam fungsi legislasi yang menjadi pokok fungsi legislasi itu sendiri. Sebagaimana Wodrow Wilson mengemukakan bahwa legislation is an aggregate, not a simple production (Walkland, 1968). Mengenai keterbukaan pada proses pembahasan RUU terdapat sulitnya untuk mengakses informasi pembahasan suatu RUU tersebut seperti sulitnya mencari Draf RUU yang sedang maupun telah dibahas.

Hal ini ditemukan misal dalam proses pembentukan RUU Cipta Kerja yang telah disahkan menjadi UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Menariknya draf tersebut justru mudah didapatkan melalui media sosial online, namun ironisnya media sosial pemerintah ataupun DPR tidak ada satu pun yang menyebarluaskan draf maupun naskah akademik tersebut secara resmi. Ditambah draf RUU tersebut selalu berubah-ubah, misal draf versi paripurna tertanggal 5 Oktober 2020 berisi 905 halaman kemudian versi penyerahan kepada Presiden tertanggal 14 Oktober 2020 berisi 812 halaman, kedua draf perubahan inipun tidak dapat diakses dengan cepat oleh masyarakat serta tidak ada legitimasi dari pemerintah atau DPR secara resmi draf yang benar.

Problematika lainnya dapat dilihat dari aspek partisipasi publik yang terenggut oleh pendistorsian otoritatif kekuasaan legislator. Misal Tahun 2020 pada pembahasan RUU Cipta Kerja yang dilakukan dengan cepat dan terkesan serampangan. Tahun 2020 juga terdapat beberapa UU yang disahkan melalui Peraturan Pemerintah Penggganti Undang-Undang (Perppu) yang justru mendistorsi partisipasi publik secara aktif. Seperti misal Perppu No. 2 Tahun 2020 yang berisi penundaan waktu pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada). Dimana proses pengesahannya mengabaikan aspirasi publik dengan tetap disahkannya dan dilaksanakannya Pilkada ditengah pandemi.

Potret proses legislasi yang buruk juga dapat dilihat pada tahun 2020 pada proses penyusunan dan penentuan jumlah Rancangan Undang-undang dalam Prolegnas Prioritas tahunan 2021 sebagaimana Pasal 20 ayat (6) UU No. 15 Tahun 2019. Proses ini seperti tidak mengevaluasi keberhasilan penentuan prolegnas ditahun-tahun sebelumnya. Dalam praktik yang telah dilakukan sebelumnya jumlah RUU dalam prolegnas prioritas terkesan utopis untuk direalisasikan.

Pada tahun 2020 jumlah RUU pada Prolegnas Prioritas 2020 berjumlah 50 RUU yang mana jumlah ini sangatlah banyak dan keberhasilannya hanya 6%, artinya hanya ada 3 RUU yang disahkan menjadi UU. Hal ini juga terjadi sebelumnya pada tahun 2019 dengan jumlah RUU dalam prolegnas prioritas berjumlah 55 RUU dimana RUU yang disahkan menjadi UU hanya berjumlah 12 dengan persentase keberhasilan 22%, kemudian tahun 2018 dari 18 RUU Prolegnas prioritas hanya 5 RUU yang disahkan menjadi UU, atau bahkan tahun 2017 dari 52 RUU Prolegnas Prioritas hanya 5 RUU yang disahkan menjadi UU. Juga mengalami penurunan misal di periode pemerintahan kedua di tahun pertama masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2010 dimana persentase keberhasilan mencapai 23% yang memiliki 16 undang-undang yang disahkan dari 54 undang-undang (PSHK, 2020). Ini merupakan catatan buruk yang terus terulang.

Faktor utama yakni adanya pandemi Covid-19 serta proses penerapan kebiasaan baru. Oleh karenanya pada 16 Juli 2020 dilaksanakan evaluasi terhadap Prolegnas prioritas 2020 dengan hasil dilakukan pengurangan 16 RUU. Namun dari hasil evaluasi tersebut juga tidak ada undang-undang yang disahkan dari daftar tersebut. Meskipun secara keseluruhan tahun 2020 ini terdapat 13 undang-undang (10 uu diluar Prolegnas Prioritas Tahunan) yang disahkan, namun praktik perencanaan legislasi yang tidak padu dan belum maksimal dan penentuan jumlah Prolegnas Prioritas terkesan utopis justru terjadi. Faktor lainnya adalah politik hukum penyusunan RUU baik dalam proses penyusunan prolegnas hingga pembahasan RUU di parlemen yang tidak menentu. Hal ini bisa ditinjau dari banyaknya masukan yang tidak dihiraukan oleh legislator dalam penyusunan prolegnas, untuk menyusun dengan basis evaluasi dan pengukuran pencapaian realistis hingga penolakan suatu RUU yang tidak juga dihiraukan.

Permasalahan selanjutnya adalah proses pembahasan RUU dengan cepat dan terkesan tergesa-gesa. Secara nyata misal yang terjadi pada RUU Cipta Kerja dimana rapat pengambilan keputusan tingkat I saja dilakukan diluar jam kerja dan hari kerja (hari sabtu malam tertanggal 3 Oktober 2020). Dua hari berselang dilakukan pembahasan tingkat II serta persetujuan bersama RUU tersebut. Padahal isi RUU tersebut berisi 15 bab yang sangat banyak ketentuan di dalamnya.

Permasalahan pada proses legislasi tersebut perlu dibenahi untuk memastikan potret buruk yang sudah terjadi di tahun-tahun sebelumnya tidak terjadi. Penulis mengusulkan pembenahan, pertama perlu dilakukan proses legislasi yang terbuka atau menggunakan sistem “open parliament system” dimana proses legislasi yang ada dilakukan dengan terbuka dan melibatkan partisipasi aktif masyarakat yang didukung dengan sistem teknologi informasi yang menunjang kebutuhan tersebut.

Kedua, dengan menggunakan metode analisis dampak sebagaimana yang dicetuskan Verschuuren dan Van Gestel dengan melakukan inventarisasi data empiris diawal legislasi sebagai alternatif perspektif (Verschuuren, 2009). Alternatif perspektif berbasiskan data empiris tersebut dapat mendorong munculnya perdebatan berbasis data dan terstruktur yang akhirnya mempengaruhi pengambilan keputusan menjadi lebih inklusif (Voermans, 2015).

Dalam konteks legislasi Indonesia metode ini dapat menjadi rujukan dalam penyusunan Naskah Akademik, Daftar Inventarisasi Masalah, hingga pembicaraan tingkat I. Dengan metode ini diharapkan tersedia pilihan-pilihan dasar penentu kebijakan dan arah pengaturan dari suatu RUU. Metode ini juga mengharuskan legislator meminta pandangan masyarakat atau organisasi masyarakat terkait/terdampak untuk mencari data relevan penentuan pengaturan akan suatu RUU. Dengan begitu kedepan proses legislasi haruslah menciptakan iklim demokrasi yang nyata dengan menyetarakan kedudukan konstituen dan kebermanfaatan untuk masyarakat

DAFTAR PUSTAKA

  • Jonathan Verschuuren, The Impact of Legislation: A Critical Analysis of Ex Ante Evaluation, Martinus Nijhoff Publishers, Leiden-Boston, 2009.
  • Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Catatan Akhir Tahun Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia 2020, disampaikan pada Forum Kajian Pembangunan 23 Desember 2020.
  • S.A. Walkland, 1968, The Legislative Process in Great Britain, Frederick A. (New York-Washington Praeger Publisher).

 

Wim Voermans, To Measure is to Know: The Quantification of Regulation, The Theory and Practice of Legislation, Volume 3 Number 1, 2015.

 

 

()