Oleh : Sudarto
(Internship Advokat Konstitusi)
Berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat (5) UUD NRI 1945 bahwa, “Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasanya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat”. Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (Lulu Herwanto:2020). Perumusan otonomi yang luas itu tercermin dalam pembagian tugas dan kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah. Konsep otonomi daerah merupakan penyerahan urusan pemerintahan kepada pemerintahan daerah yang bersifat operasional dalam rangka sistem birokrasi pemerintah (Diyan Isnaeni: 2018). Sedangkan otonomi terbatas menurut Bagir Manan, yaitu apabila sistem supervisi dan pengawasan dilakukan sedemikian rupa sehingga daerah otonom kehilangan kemandirian untuk menentukan secara bebas cara-cara untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya (Abdul Rauf Alauddin Said: 2015).
Konsep otonomi daerah dalam sistem negara kesatuan ditekankan pada adanya kemandirian daerah untuk mengurus dan menjalankan sebagian urusan yang menjadi wewenangnya, sehingga dalam pelaksanaannya harus berdasarkan aturan yang mengatur secara jelas. Kemudian pelaksanaan konsep otonomi daerah juga didasarkan dengan adanya hubungan wewenang antar pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Oleh karena itu, pembagian urusan dengan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada daerah dimaksudkan bahwa daerah diberikan sepenuhnya oleh pemerintah pusat. Namun, tidak semua urusan diberikan kepada pemerintah daerah melainkan hanya sebagian urusan saja, sehingga dalam pembagian urusan Otonomi Daerah harus dilakukan secara proporsional (Mifta Farid, dkk: 2017). Hal ini sebagaimana yang dimaksudkan dalam ketentuan Pasal 18A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 bahwa, “Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang”.
UU yang menjadi dasar pemberian kewenangan kepada pemerintahan daerah secara atribusi adalah UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU No. 23/2014). Dalam ketentuan Pasal 9 UU tersebut menyatakan bahwa urusan pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan konkuren, dan urusan pemerintahan umum. Urusan pemerintahan absolut ialah urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat. Urusan pemerintahan konkuren ialah urusan pemerintahan yang dibagi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota. Urusan pemerintahan umum ialah urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan (Djambar: 2017).
Dalam UU tersebut, kewenangan pemerintahan daerah yang diperoleh secara atribusi ialah urusan pemerintahan konkuren. Sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 11 UU No. 23/2014, yang menyatakan bahwa urusan pemerintahan konkuren dibagi menjadi urusan pemerintahan wajib dan urusan pemerintahan pilihan. Salah satu bentuk urusan pemerintahan daerah dalam bentuk urusan pemerintahan pilihan adalah di bidang energi dan sumber daya mineral. Dalam ketentuan Pasal 9 Ayat (4) UU No. 23/2014 disebutkan bahwa, “Urusan Pemerintahan Konkuren yang diserahkan ke daerah menjadi dasar pelaksanaan otonomi daerah”. Hal ini berarti bahwa urusan pemerintahan konkuren dilaksanakan pemerintahan daerah sebagai wujud dari pelaksanaan otonomi di daerah dimana daerah berhak untuk mengatur daerahnya sendiri (Ali Marwan HSB, dkk:: 2018). Dengan demikian, dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah maka pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Oleh karena itu, untuk setiap bidang urusan pemerintahan konkuren yang bersifat pilihan khususnya dalam sektor pertambangan senantiasa terdapat bagian urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah dan Pemerintahan Daerah (Fatkhul Muin: 2014). Sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 14 ayat (1) UU No. 23/2014 bahwa, “Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan bidang kehutanan, kelautan, serta energi dan sumber daya mineral dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi.”
Berangkat dari hal tersebut, UU No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU No. 4/2009), juga memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah dalam pengelolaan sumber daya alam mineral dan batu bara sebagai perwujudan semangat dari penerapan prinsip otonomi daerah. Sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 37 UU No. 4/2009, terkait pembagian kewenangan dalam pemberian izin usaha pertambangan. Namun, setelah disahkannya UU No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, ketentuan Pasal 37 yang mengatur terkait pembagian kewenangan perizinan tersebut telah dihapuskan. Kemudian, berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) UU No. 3 Tahun 2020 tersebut dengan tegas menyatakan bahwa penguasaan pertambangan mineral dan batu bara diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat. Hal ini mencerminkan adanya sentralisasi kewenangan dalam pemberian izin, sehingga dinilai telah mencederai pelaksanaan prinsip Otonomi Daerah sebagaimana yang diamanatkan dalam Konstitusi. Seharusnya, pemerintah daerah tetap mempunyai kewenangan dalam pemberian izin pertambangan karena berdasarkan pembagian urusan pemerintahan yang bersifat konkuren telah jelas menyatakan bahwa bidang energi dan sumber daya mineral merupakan kewenangan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi. Namun, dalam UU No. 3 Tahun 2020 tersebut, kewenangan Pemerintah Daerah Provinsi dalam pengelolaan mineral dan batu bara khususnya dalam kewenangan pemberian izin justru telah ditarik ke Pemerintah Pusat sehingga pembinaan dan pengawasan yang seharusnya dilaksanakan Pemerintah Daerah pun digugurkan dengan adanya UU perubahan tersebut (Andre Barahamin: 2021).
Selanjutnya, dengan adanya sentralisasi kewenangan tersebut juga akan menimbulkan dampak ketidakefektifan pengawasan terhadap kegiatan usaha pertambangan, sehingga menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan karena tiadanya pengawasan pemerintah daerah terhadap kegiatan pertambangan yang ada di daerahnya ( PUSHEP: 2021). Pakar Hukum Pertambangan, Ahmad Redi, berpendapat bahwa pengusahaan pertambangan tidak hanya terbatas mengenai penerbitan izin. Namun, ada kewajiban pembinaan, pengawasan, penegakan hukum, dan pengendalian. Perizinan yang bersifat sentralistik akan berdampak pada tidak efektifnya kewajiban-kewajiban tersebut. Dengan adanya sentralisasi perizinan tersebut, dimungkinkan akan menimbulkan ketidakadilan dan ketidakselarasan pengelolaan sumber daya alam. Persoalan lainnya, perizinan di pemerintah pusat membuat jarak pelayanan sangat jauh dengan masyarakat, meskipun diterapkannya metode digitalisasi (Verda Nano Setiawan: 2021). Oleh karena itu, apabila terjadi permasalahan dalam proses penerbitan izin maupun terhadap pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan di daerah maka akses masyarakat akan sangat sulit karena persoalan jangkauan.
Referensi :
Lulu Herwanto, “Konkurensi Kewenangan Penerbitan Izin Usaha Pertambangan Kepada Pemerintah Daerah Dalam Prinsip Otonomi Daerah”, Halu Oleo, Vol. 2 Issue. 1, April 2020.
Diyan Isnaeni, “Implikasi Yuridis Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pemberian Izin Usaha Pertambangan Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014”, Yurispruden, Vol. 1 No. 1, Januari 2018.
Abdul Rauf Alauddin Said, “Pembagian Kewenangan Pemerintah Pusat-Pemerintah Daerah Dalam Otonomi Seluas-Luasnya Menurut UUD 1945”, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 9 No. 4, Oktober-Desember 2015.
Mifta Farid, Antikowati, Rosita Indrayati , “Kewenangan Pemerintah Daerah dan Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Potensi Daerah”, e-Journal Lentera Hukum, Vol. 4 No. 2, 2017.
Djambar, M.Yasin Nahar dan Muhammad Tavip, “Penyelenggaran Urusan Pemerintahan Bidang Pertambangan dalam Perspektif Otonomi Daerah”, Jurnal Katalogis, Vol. 5 No. 2, Februari 2017.
Ali Marwan HSB dan Evlyn Martha Julianthy, “Pelaksanaan Kewenangan Atribusi Pemerintahan Daerah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pmeerintahan Daerah”, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 15 No. 2, Juli 2018.
Fatkhul Muin, “Otonomi Daerah dalam Perspektif Pembagian Urusan Pemerintah-Pemerintah Daerah dan Keuangan Daerah”, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 8 No. 1, Januari-Maret 2014.
Andre Barahamin, “5 Masalah UU Minerba Bagi Masyarakat Adat”, terdapat dalam http://www.aman.or.id/2020/06/5-masalah-uu-minerba-bagi-masyarakat-adat/, diakses tanggal 24 Maret 2021.
PUSHEP, “ Sentralisasi Sektor Pertambangan Jadikan Daerah Tidak Merasa Memiliki dan Peduli terhadap Dampak Lingkungan, terdapat dalam https://pushep.or.id/sentralisasi-sektor-pertambangan-jadikan-daerah-tidak-merasa-memiliki-dan-peduli-terhadap-dampak-lingkungan/, diakses tanggal 24 Maret 2021.
Verda Nano Setiawan, “Kotak Pandora Beralihnya Kewenangan Izin Tambang ke Pusat”, terdapat dalam https://katadata.co.id/sortatobing/berita/5fd36ce78689a/kotak-pandora-beralihnya-kewenangan-izin-tambang-ke-pusat, diakses tanggal 24 Maret 2021. ()