Mario Agritama
(Internship Advokat Konstitusi)
Pelaksanaan Pemilihan Umum (pemilu) pada dasarnya merupakan suatu cerminan kedaulatan rakyat dari penerapan konsep demokrasi di Indonesia sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945). Pemilu menjadi suatu wadah bagi setiap warga negara untuk menentukan pemimpin masa depan yang layak untuk menduduki posisi strategis, baik pada lembaga eksekutif maupun legislatif. Posisi strategis tersebut tidak terlepas dari kebutuhan masyarakat dalam negara demokrasi yang menghendaki pergantian kepemimpinan secara teratur, yakni setiap 5 tahun sekali. Pemilu juga berfungsi untuk menciptakan kondisi pemerintahan yang dinamis dan stabil secara sosial politik.
Berbagai negara di dunia menunjukkan variasi pelaksanaan yang beragam, dari yang dilaksanakan secara bebas dan adil hingga penyelenggaraan pemilu yang penuh dengan pelanggaran dan kecurangan. Beragam fenomena empirik ditemukan pada pelaksanaan pemilu tersebut. Isu terkait integritas pemilu pun menjadi perhatian (Rahmatunnisa, 2017: 2). Oleh karenanya, guna menjamin integritas penyelenggaraan pemilu di Indonesia harus berlandaskan asas yang mengikatnya, yang dikenal dengan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber dan jurdil).
Terdapat beberapa instrumen hukum yang dapat mendukung integritas penyelenggaraan pemilu, salah satu diantaranya adalah hukum pidana pemilu. Problematika mengenai penegakan hukum pidana pemilu di Indonesia dari tahun ke tahun selalu menjadi persoalan yang tidak pernah selesai. Misalnya saja, mengenai kurangnya efektivitas penanganan perkara pidana pemilu secara tuntas.
Potensi Daluwarsa KasusĀ
Berkaitan dengan persoalan penanganan perkara tindak pidana pemilu, salah satu yang menjadi catatan Penulis adalah pendeknya jangka waktu pelaporan pelanggaran tindak pidana pemilu. Hal tersebut dapat dilihat pada Pasal 454 ayat (6) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), dimana batas waktu pelaporan adanya dugaan pelanggaran pemilu hanya sampai 7 hari. Pendeknya batas waktu tersebut sangat berpotensi menyebabkan banyaknya pelanggaran tindak pidana pemilu yang tidak dapat terselesaikan dengan tuntas bahkan bisa terlewatkan begitu saja.
Penulis menyadari bahwa argumentasi yang hendak disampaikan oleh pembentuk undang-undang dengan membatasi daluwarsa pelaporan dugaan tindak pidana pemilu yang hanya 7 hari tersebut bertujuan untuk menjamin keberlangsungan pemilu dengan penuh kepastian hukum. Selain itu, hal ini juga dipengaruhi oleh konsep speedy trial yang melekat pada berbagai aspek penyelenggaraan pemilu. Namun, Penulis berpendapat bahwa konsep tersebut tidak selayaknya dilekatkan pada konteks hukum pidana pemilu.
Batasan waktu tersebut harus segera dievaluasi karena apabila terjadi suatu tindak pidana pemilu, seperti money politic yang dilakukan peserta pemilu, namun dikarenakan melewati 7 hari sejak peristiwa terjadi, lantas laporan menjadi tidak dapat diterima. Bisa dibayangkan bagaimana apabila peserta pemilu tersebut merupakan calon anggota legislatif ataupun Presiden, dimana ia terpilih dan menduduki jabatan strategis di pemerintahan dengan cara yang melanggar hukum. Oleh karenanya, hal tersebut jelas akan sangat mencederai nilai-nilai demokrasi dan berpotensi menghasilkan kepemimpinan yang tidak baik karena terpilih melalui cara yang melanggar hukum.
Dibanding persoalan dalam lingkup rezim hukum lainnya, persoalan hukum pemilu dapat dikatakan lebih kompleks. Artinya, dibutuhkan suatu penanganan yang ekstra dalam penyelesaian perkara pidana pemilu. Singkatnya batas waktu pelaporan dugaan tindak pidana pemilu tentu berimplikasi pada minimnya alat bukti yang ditemukan, baik oleh Pelapor maupun temuan dari Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). Sehingga, hal tersebut berdampak pada banyaknya kasus yang tidak terselesaikan dengan tuntas karena minim akan alat bukti untuk dilanjutkan ke tingkat penyidikan maupun ke persidangan.
Rekomendasi
Apabila merujuk pada ketentuan Pasal 78 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), ketentuan mengenai daluwarsa pelaporan atas tindak pidana yang diancam dengan pidana denda, kurungan, dan penjara di bawah 3 tahun, memiliki masa daluwarsa pelaporan hingga 6 tahun. Bandingkan dengan ketentuan dalam UU Pemilu atas perbuatan pidana money politic sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 523 ayat (3) UU Pemilu, dimana ancaman pidana penjaranya maksimal 3 tahun dan denda maksimal Rp36.000.000,00 hanya memiliki masa daluwarsa pelaporan kasus 7 hari. Bahwa kedua rumusan di atas sangat jelas disparitas atas masa daluwarsa pelaporan kasus terhadap jenis ancaman pidana yang relatif sama.
Pakar hukum pidana Universitas Indonesia, Prof. Topo Santoso (2018), juga menilai bahwa penyelesaian pelanggaran tindak pidana pemilu yang dimulai dari pelaporan hingga penuntutan begitu singkat, sehingga dalam penyelesaiannya kurang optimal. Apabila seseorang yang melakukan tindak pidana pemilu ingin lolos dari proses hukum akan sangat mudah melarikan diri hingga 7 hari. Padahal apabila dibandingkan dengan negara Inggris, mereka memiliki batas waktu pelaporan dugaan tindak pidana pemilu hingga satu tahun.
Oleh karenanya, sudah sepatutnya daluwarsa pelaporan tindak pidana pemilu perlu dibenahi oleh pembentuk undang-undang. Apabila pembentuk undang-undang enggan untuk menyesuaikan dengan ketentuan dalam Pasal 78 KUHP, yakni daluwarsanya 6 tahun. Setidaknya, pembentuk undang-undang dapat lebih memperpanjang daluwarsa pelaporan dugaan tindak pidana pemilu menjadi lebih logis dan masuk akal.
Guna menjamin adanya keadilan dan kesamaan, dalam hal ini Penulis merekomendasikan daluwarsa pelaporan dugaan tindak pidana pemilu dapat ditambah menjadi 30 hari. Dengan jangka waktu demikian dirasa menjadi wajar dan logis bagi pelapor untuk menemukan berbagai alat bukti demi menguatkan laporannya. Hal ini juga tentu tidak bertentangan dengan konsep speedy trial yang melekat dalam proses penyelenggaraan pemilu.
Dengan demikian, persoalan mengenai kurang efektifnya penegakan hukum pidana pemilu diharapkan dapat sedikit teratasi dengan adanya penambahan daluwarsa waktu pelaporan dugaan tindak pidana pemilu. Hal ini tentunya juga dapat berdampak baik terhadap iklim demokrasi Indonesia agar dapat menghasilkan calon pemimpin bangsa yang terpilih melalui cara-cara yang tidak bertentangan dengan hukum. ()