Oleh :Muhammad Ridwan Jogi

DPR RI resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja) menjadi Undang-Undang dalam rapat paripurna ke-19 masa sidang IV yang digelar Selasa (21/3/2023). Perppu Cipta Kerja ini merupakan pilihan pemerintah untuk memperbaiki UU Cipta Kerja yang telah dinyatakan “inkonstitusional bersyarat” dalam Putusan MK Nomor 91/PUU -XVIII/2020.

Dalam sidang paripurna pembahasan Perppu Cipta Kerja, terdapat 7 fraksi Partai Politik  yang menyetujui Perppu Cipta Kerja yaitu PDIP, Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Nasdem, PKB, PAN dan PPP. Sedangkan, fraksi Partai Politik yang menolak Perppu Cipta Kerja yaitu PKS dan Partai Demokrat.

Adapun dasar hukum pembentukan Perppu telah diatur sebagai berikut:

  1. Pasal 22 UUD NRI Tahun 1945.
  2. UU No. 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
  3. Putusan Mahkamah Konstitusi 138/PUU-VII/2009.

Pasal 22 UUD NRI Tahun 1945 memuat 3 pokok, yaitu:

  1. Kewenangan Presiden untuk membuat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu);
  2. Kewenangan ini hanya dapat dipakai dalam keadaan kegentingan yang memaksa; dan
  3. Perppu harus mendapatkan persetujuan dari DPR pada persidangan berikutnya.

Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi 138/PUU-VII/2009, tiga syarat parameter “kegentingan yang memaksa”, yaitu:

  1. Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;
  2. Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai;
  3. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

Penolakan terhadap Perppu Cipta Kerja telah disampaikan berbagai pengamat hukum, seperti Muhamad Isnur (Ketua Umum YLBHI) menyebutkan:

“Perppu ini merupakan bentuk pembangkangan, kudeta terhadap konstitusi, dan merupakan gejala yang makin menunjukkan otoritarianisme pemerintahan Joko Widodo.  Penerbitan Perppu Cipta Kerja tidak memenuhi syarat diterbitkannya Perppu, yakni adanya hal ihwal kegentingan yang memaksa, kekosongan hukum, dan proses pembuatan tidak bisa dengan proses pembentukan UU seperti biasa”.

Selanjutnya, Bivitri Susanti (ahli hukum tata negara) menyebutkan:

“Perppu Cipta Kerja ini sebagai jalan pintas mengakali putusan MK yang mengamanatkan perbaikan UU Cipta Kerja dengan memenuhi syarat partisipasi publik yang bermakna. Perppu tidak membutuhkan partisipasi publik. Lagi pula, tidak ada kedaruratan yang melatarbelakangi Perppu Cipta Kerja ini”.

Atas hal tersebut, penerbitan dan pengesahan Perppu Cipta Kerja dapat menunjukkan bahwa publik tidak ada artinya bagi Pemerintah dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Padahal Mahkamah Konstitusi (MK) telah beberapa kali menegaskan dalam putusannya mengenai pentingnya partisipasi yang bermakna dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.

MK melalui putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 kembali menegaskan bahwa partisipasi masyarakat harus sarat akan makna (meaningful participation) dengan aturan:

  • Hak masyarakat untuk didengarkan pendapatnya
  • Hak masyarakat untuk dipertimbangkan pendapatnya, dan
  • Hak masyarakat untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan.

Untuk menjawab perihal mekanisme yang dapat digunakan untuk membatalkan pengesahan Perppu Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, sebagai berikut:

  1. Mengajukan judicial review ke MK. Hal ini jalur konstitusional yang disediakan Undang Undang Dasar (UUD) 1945 apabila warga negara tidak setuju terhadap keberlakuan suatu Undang-Undang. Judicial review ini dapat diajukan secara formil maupun materil.
  2. Melakukan legislative review yakni mengubah UU Cipta Kerja agar sesuai dengan tuntutan masyarakat. Perubahan melalui jalur normal di DPR, dalam hal ini masyarakat dapat mendesak fraksi Partai Politik yang menolak pengesahan Perppu Cipta Kerja menjadi Undang-Undang  untuk mengusulkan kembali UU Cipta Kerja supaya diubah maupun dicabut.
  3. Mendesak Presiden menerbitkan Perppu untuk membatalkan pengesahan Perppu Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.

()