PUAN DILIRIK MENJADI CAPRES, MENELUSURI KETERWAKILAN PEREMPUAN DALAM KONTESTASI POLITIK

 oleh: Risa Pramiswari

(Internship Advokat Konstitusi)

Pemilihan Umum (Pemilu) sudah di depan mata, sebentar lagi Indonesia akan mengadakan pesta demokrasi terbesar. Para partai politik telah bersiap untuk mengeluarkan senjata andalannya demi memenangkan pesta demokrasi terbesar di Indonesia. Baru-baru ini, Masinton PasaribuAnggota DPR Fraksi PDIP mengatakan bahwa Puan Maharani adalah sosok yang ideal untuk menjadi calon Presiden RI untuk Pemilu 2024. Ia juga menambahkan bahwa Puan memiliki sepak terjang yang sangat panjang dalam karir politiknya. Puan aktif menjadi politikus PDIP dan sekarang sedang menjabat menjadi Ketua DPR Periode 2019-2024. Selain itu, Puan juga dikelilingi oleh orang-orang yang memiliki power, yaitu ibunya Megawati Soekarnoputri yang saat ini menjabat sebagai Ketua Umum PDIP.

Lebih dari tujuh dekade Indonesia merdeka, sejarah hanya mencatat Megawati yang pernah menduduki kursi pemerintahan tertinggi di Indonesia sisanya adalah laki-laki. Penunjukkan Puan Maharani sebagai Capres 2024 bisa menjadi momentum kebangkitan peran perempuan dalam dunia politik. Untuk menjawab isu ini, UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu pun hadir untuk mengatur mengenai keterwakilan perempuan dalam dunia politik. Dalam ketentuan tersebut, dikatakan bahwa komposisi penyelenggara pemilu harus memperhatikan keterwakilan perempuan minimal 30%. Lebih lengkap dijelaskan melalui Pasal 6 ayat (5): “Komposisi keanggotaan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%.” Selain itu, dalam kelembagaan partai politik juga dilakukan kebijakan afirmasi yang mengharuskan menyertakan keterwakilan perempuan minimal 30% dalam pendirian maupun dalam kepengurusan di tingkat pusat.

Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) yang merupakan konvensi internasional pun turut hadir untuk menjamin hak perempuan dalam berpolitik. Indonesia menunjukkan keseriusannya dalam menjamin hak perempuan dengan meratifikasi konvensi internasional tersebut yang diharapkan mampu mendorong terwujudnya keterwakilan perempuan dalam bidang politik.

Seiring berjalannya waktu, pertanyaan pun muncul kembali. Apakah peran perempuan benar-benar hadir dalam politik atau hanya sekedar untuk memenuhi kuota 30%. Beberapa hambatan sering dialami oleh perempuan sehingga menghalangi dirinya untuk berpartisipasi dalam dunia politik. Pertama, budaya patriarki yang sudah menjamur dalam masyarakat sehingga kepemimpinan hanya berpusat pada tokoh laki-laki. Kedua, soal pengetahuan mengenai dunia politik yang masih sulit diakses oleh kaum perempuan. Ketiga, alasan geografis yang menghambat perempuan untuk mengakses pemenuhan hak politiknya. Berdasarkan Inter Parliamentary Union (IPU) di tingkat ASEAN, Indonesia hanya menempati peringkat keenam dan apabila dibandingkan dengan rata-rata dunia, proporsi wanita dalam parlemen di Indonesia masih jauh tertinggal.

Perspektif gender adalah kunci yang tepat untuk menjawab permasalahan tersebut. Melalui perspektif gender aturan-aturan mengenai pelaksanaan pemilu yang bersifat inklusif termasuk mengakomodir kelompok rentan seperti perempuan dapat diatasi. Perlu diketahui juga bahwa kesetaraan gender adalah amanah konstitusi yang telah diatur melalui ketentuan Pasal 28H ayat (2) UUD NRI 1945. Oleh karena itu, sudah selayaknya peran perempuan patut diperhitungkan dalam dunia politik Indonesia. ()