Ramai Pejabat BPN Terlibat Kasus Mafia Tanah di Jakarta dan Bekasi, Ini Ancaman Hukumannya!

oleh : Sepania Immanuella Magdalena Perpetua

Internship Advokat Konstitusi

Polda Metro Jaya telah menangkap 27 orang yang terkait kasus mafia tanah (13/7). Empat diantaranya adalah pejabat Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang terlibat dalam kasus mafia tanah di Jakarta dan Bekasi. Direktur Reskrimum Polda Metro Jaya, Kombes Hengki Haryadi menambahkan bahwa selain pejabat di BPN, terdapat pula 10 orang pegawai BPN yang berstatus sebagai pegawai tidak tetap dan ASN yang terlibat dalam kasus ini (13/7).  

Kepala Subdirektorat Harta dan Benda (Harda) Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya, AKBP Petrus Silalahi menyatakan bahwa penangkapan ini dilatarbelakangi dari total empat kejadian, “pertama di Jagakarsa, Jakarta Selatan, kemudian Cilincing, Jakarta Utara, dan Babelan Bekasi. Terus penanganan lanjutan kasus Nirina Zubir,” ucapnya.

Dua di antara keempat pejabat ASN BPN ini ialah MB selaku Ketua Tim Ajudikasi Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) BPN Jakarta Utara dan PS selaku Ketua Tim Ajudikasi PTSL BPN Jakarta Selatan. Adapun PTSL merupakan suatu program yang memfasilitasi masyarakat untuk mendaftarkan tanahnya agar memiliki hak dan berkekuatan hukum tetap berupa Sertipikat Tanah.

MB ditangkap atas keterlibatan kasus mafia tanah di Jakarta Utara karena diduga menerima sejumlah uang senilai Rp 200 juta dari pendana untuk menerbitkan sertifikat tanah yang tak sesuai prosedur, sedangkan PS diduga menerbitkan sertifikat atas nama pemohon yang bukan haknya melalui program PTSL. Lebih lanjut, Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol. Endra Zulpan menyatakan bahwa “PS ini pejabat BPN yang berperan sebagai aktor intelektual dan dia bekerja sama dengan funder atau pendana. Dia ini menerbitkan sertifikat dengan warkah palsu tanpa melalui prosedur yang benar,” ujarnya (13/7). 

Perkembangan terbaru kasus ini adalah penggeledahan Kantor BPN Jakarta Selatan yang dipimpin langsung oleh Kombes Hengki Haryadi. Beliau menyatakan bahwa kegiatan tersebut diharapkan agar penyidik bisa mendapatkan bukti-bukti lain yang menguatkan keterlibatan oknum-oknum tertentu dalam kasus ini.

Usai penggeledahan tersebut, Kombes Hengki Haryadi menyatakan “dari sisi Pelaku, modus operandi ini juga mulai dari yang paling konvensional, artinya mereka menggunakan data palsu, kemudian apabila satu lokasi belum ada sertifikat, maka dibuat data palsu bekerja sama dengan oknum, akhirnya menjadi sertifikat,” tandasnya.

Kombes Hengki Haryadi kemudian menambahkan bahwa bahwa kasus mafia tanah ini tidak melihat latar belakang korban, beliau menyatakan bahwa “Korban-korban mafia tanah ini ada perusahaan besar, aset-aset pemerintah pusat, maupun rakyat jelata. Banyak masyarakat yang tidak menyadari bahwa dia adalah korbannya,” tegasnya. 

Jerat Hukum yang Menanti

Berkaitan dengan jerat hukum yang menanti, Kombes Hengki Haryadi menyatakan bahwa selain menerapkan pidana umum, kasus ini akan disidik pula dengan UU Tindak Pidana Korupsi UU Tipikor (13/7/2022). Adapun ketentuan UU Tipikor yang berkaitan erat dengan kasus ini ialah ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU 20/2001) yang mengancam pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) bagi tiap orang yang:

“a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau

  1. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.”

Lebih lanjut, Pasal 5 ayat (2) UU 20/2001 menyatakan bahwa pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b diancam dengan pidana yang sama dengan ketentuan ayat (1) tersebut. Ditambah lagi, bagi orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, Pasal 15 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi menentukan suatu ketentuan khusus bahwa orang-orang tersebut akan dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14 undang-undang tersebut.

Walaupun begitu, Kombes Hengki Haryadi menyatakan bahwa para tersangka saat ini dijerat dengan Pasal 167 KUHP dan/atau Pasal 266 KUHP juncto Pasal 55 KUHP. Adapun Pasal 167 KUHP menentukan mengenai bagi yang memaksa masuk ke dalam rumah, ruangan atau pekarangan yang dipakai orang lain dengan melawan hukum atau berada disitu dengan melawan hukum, dan atas permintaan yang berhak atau suruhannya tidak pergi dengan segera, merusak atau memanjat, dengan menggunakan anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian dinas palsu, atau barang siapa tidak setahu yang berhak lebih dahulu serta bukan karena kekhilafan masuk dan kedapatan di situ pada waktu malam. Adapun ancaman pidananya ialah penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda maksimal Rp 4.500 (empat ribu lima ratus rupiah). Berkenaan dengan denda maksimum telah dilipatgandakan menjadi 1.000 kali sesuai ketentuan Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP, sehingga denda maksimum dalam pasal ini ialah sebesar Rp 4.500.000 (empat juta lima ratus ribu rupiah). Lebih lanjut, ayat (4) kemudian menentukan bahwa apabila kejahatan dalam pasal ini dilakukan oleh dua orang bersama-sama atau lebih, maka hukumannya dapat ditambah sepertiga.

Pasal 266 KUHP berkenaan dengan ancaman pidana penjara maksimum tujuh tahun bagi menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik mengenai sesuatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai akta itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran dan bagi yang menggunakannya. Sementara itu, Pasal 55 KUHP menentukan mengenai pembantuan dan penyertaan (deelneming). ()