Oleh: Athallah Zahran Ellandra
(Internship Advokat Konstitusi)
Menurut perkembangan sejarah ketatanegaraan,Montesquieu membagi kekuasaan pemerintahan dalam tiga cabang, yaitu kekuasaan membuat undang-undang atau legislatif, kekuasaan untuk menyelenggarakan undang-undang atau eksekutif dan kekuasaan mengadili terhadap pelanggaran undang-undang atau yudikatif. Menurutnya juga, kekuasaan wajib dipisahkan, baik terkait tugas dan fungsi maupun terkait lembaga sebagai penyelenggara.
Separation of power dari trias politica sebelumnya sulit terlaksana karena satu dengan lembaga negara yang lain tidak mungkin tidak saling bersentuhan, sehingga menyebabkan teori pembagian kekuasaan (distribution of power) lebih berkembang, digunakan di berbagai Negara, dan berujung dengan lahirnya teori checks and balances (Schmitt, 2008: 230).
Saat ini, Indonesia telah mengenal paham check and balances dalam sistem ketatanegaraannya, dimana terdapat pengawasan daripada tiap lembaga negara terhadap lembaga negara lainnya serta pemisahan fungsi lembaga negara itu sendiri, Contohnya nyatanya dapat dilihat pada kekuasaan eksekutif ada pada Presiden, kekuasaan legislatif ada pada DPR, dan kekuatan yudikatif ada pada MA. Akan tetapi, pada masa Orde Baru, Indonesia hampir tidak mengenal adanya checks and balances. Hal itu dikarenakan atas realitas kekuasaan yang terpusat pada Presiden (Setjen MPR RI, 2003: 14).
Perubahan UUD 1945 melahirkan satu kekuatan penyeimbang yang dibangun secara fungsional dalam bentuk kelembagaan yang setara. Jika dihadapkan dengan doktrin klasik separation of powers, kekuasaan negara yang diberikan kepada lembaga-lembaga yang terpisah satu dengan lainnya dalam rangka menghindarkan terjadinya campur tangan yang satu terhadap yang lain, maka mekanisme checks and balances pasca perubahan UUD 1945 tampaknya dapat juga dianggap satu pelunakan terhadap doktrin separation of powers atau pembagian kekuasaan negara dengan menghubungkan cabang kekuasaan yang saling terpisah. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah lahirnya kekuasaan yang bersifat mutlak tanpa pengawasan.
Pada dasarnya, pemerintahan dengan sistem presidensial merupakan suatu pemerintahan yang menempatkan eksekutif bertanggung jawab kepada rakyat yang memilih (Syafiie, 2003: 27). Berbeda halnya dengan sistem parlementer dimana eksekutif bertanggung jawab kepada parlemen (DPR), dengan kata lain kekuasaan eksekutif berada diluar pengawasan secara langsung parlemen. Dalam sistem presidensial, presiden memiliki kekuasaan yang kuat, karena selain sebagai kepala negara juga sebagai kepala pemerintahan. Sebelum amandemen UUD 1945, Presiden memiliki kekuasaan yang sangat kuat (executive heavy) karena disamping mempunyai kekuasaan legislatif untuk membentuk undang-undang juga menguasai cabang-cabang kekuasaan yudikatif hal ini dapat dilihat dalam pemberian amesti, abolisi dan grasi.
Sedangkan secara substantif, UUD 1945 banyak sekali mengandung kelemahan. Hal itu dapat diketahui antara lain; pertama, kekuasaan eksekutif terlalu besar tanpa disertai oleh prinsip check and balances yang memadai, sehingga UUD 1945 biasa disebut executive heavy, dan itu menguntungkan bagi siapa saja yang menduduki jabatan presiden, kedua, rumusan ketentuan UUD 1945 sebagian besar bersifat sangat sederhana, umum, bahkan tidak jelas (vague), sehingga banyak pasal yang menimbulkan multi tafsir; Selanjutnya yang ketiga,unsur-unsur konstitusionalisme tidak dielaborasi secara memadai dalam UUD 1945; keempat,, UUD 1945 terlalu menekankan pada semangat penyelenggara negara; kelima, UUD 1945 memberikan atribusi kewenangan yang terlalu besar kepada presiden untuk mengatur pelbagai hal penting dengan UU. Akibatnya, banyak UU yang substansinya hanya menguntungkan Presiden dan DPR selaku pembuatnya ataupun saling bertentangan satu sama lain (Huda, 2001: 4).
Sedangkan pasca-reformasi, pemerintah Indonesia melakukan upaya perubahan dalam konsep sistem presidensial yang dianut oleh Indonesia selama ini. Perubahan tersebut antara lain dengan mengurangi kuasa yang cenderung koruptif pada lembaga kepresidenan (eksekutif), serta memberi porsi yang lebih banyak pada parlemen (legislatif) untuk melakukan fungsi kontrol terhadap kekuasaan presiden dan untuk menghindari pemerintah yang otoriter seperti pemerintahan orde baru.
Maka, dapat disimpulkan bahwa penerapan sistem pemerintahan presidensial di Indonesia pasca-reformasi menunjukkan adanya purifikasi dalam penerapannya walaupun masih terkandung karakteristik parlementer dalam proses legislasi. Di sisi lain, penerapan presidensialisme dan multipartisme mengalami penurunan kualitas dan penerapannya berjalan kurang baik, dikarenakan prinsip-prinsip presidensialisme mengalami reduksi (Amal & Panggabean, 1999: 179).
Karena desain yang ideal dalam sistem pemerintahan presidensial yang efektif adalah dengan beberapa agenda berikut, antara lain: a. Desain pemilu, yaitu perlunya agar pemilu dirancang untuk mendorong penerapan parliamentary threshold sebesar 5% serta penerapan sistem campuran dalam pemilu (distrik dan proporsional); b. Desain institusi parlemen, yaitu rancangan kelembagaan parlemen diarahkan untuk menyederhanakan polarisasi politik di parlemen; dan c. Desain institusi kepresidenan, yakni sebuah keharusan untuk mengarahkan institusi kepresidenan agar memperkuat posisi presiden, terutama dalam hal pembagian kewenangan yang jelas antara presiden dan wakil presiden serta kewenangan-kewenangan lainnya yang berbenturan.
DAFTAR PUSTAKA
- Schmitt, C. (2008) Constitutional Theory. diterjemahkan dan diedit oleh Jeffrey Seitzer. Durham: Duke University Press, h. 230.
- MPR RI, Setjen. (2003) Panduan Dalam Memasyarakatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta: Setjen MPR RI, h. 14.
- Syafiie, I. (2003) Teori dan Analisis Politik Pemerintahan Dari Orde Lama, Orde Baru sampai Reformasi. Jakarta: Perca. h. 27.
- Amal, I. dan Panggabean, S. (1999) Reformasi Sistem Multi-Partai dan Peningkatan Peran DPR dalam Proses Legislatif. Yogyakarta: Tiara Wacana, h. 179.
- Huda, N. (2001) Politik Ketatanegaraan Indonesia. Yogyakarta: UII Press, h. 4.
()