Oleh: Michael
Indonesia sejak amandemen ke-3 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengamanatkan bahwa kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berada di tangan rakyat. Sebagai negara kedaulatan rakyat, penting bagi Indonesia untuk melaksanakan prinsip-prinsip tersebut. Salah satu implementasi daripada prinsip kedaulatan rakyat adalah melalui pelaksanaan pemilihan umum (pemilu). Pada tahapan pemilu kita mengenal salah satu tahapan penting, dimana calon peserta pemilu menawarkan program serta menyampaikan janji-janji yang akan dilaksanakan yaitu melalui tahapan kampanye.
Namun, pada faktanya banyak sekali menemukan janji-janji politik calon kepala daerah, calon anggota parlemen, dan bahkan calon presiden yang gagal untuk dipenuhi. Bagi masyarakat biasa, apabila terjadi praktek ingkar janji, maka terdapat konsekuensi yaitu untuk melakukan penggantian biaya, kerugian dan bunga (Pasal 1243 KUHPerdata). “Tajam ke bawah, tumpul ke atas” mungkin peribahasa inilah yang tepat untuk menggambarkan bagaimana perlakuan peraturan perundang-undangan di Indonesia terhadap “ingkar janji yang dilakukan oleh sesama warga negara” dengan “ingkar janji yang dilakukan oleh calon pejabat terhadap para pemilihnya”. Padahal menurut almarhum Bapak Dr. Ibnu Tri Cahyo dalam jurnal yang berjudul “Analisis Putusan Tentang Gugatan Wanprestasi Terhadap Pengingkaran Janji Kampanye Oleh Presiden Terpilih” yang ditulis oleh Riana Susmayanti, dikemukakan bahwa pesta demokrasi adalah implementasi daripada janji kampanye dari pemenang pemilu dalam melaksanakan pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat. Oleh karenanya sebagai pemegang kedaulatan tertinggi seharusnya warga negara dapat meminta pertanggungjawaban terhadap para pemenang pemilu yang tidak menjalankan janji-janji politiknya.
Namun faktanya, pada perkara No. 17/PDT.G/2009/PN.JKT.PST yang didaftarkan oleh LPI yang menggugat SBY-JK yang melakukan wanprestasi karena dianggap tak mewujudkan janji kampanye pada Pilpres 2004 yaitu pertumbuhan ekonomi 7,6 %, penurunan angka kemiskinan 17,14 % menjadi 8,7 %. Dimana berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik angka kemiskinan selalu di atas 15 %, yaitu 15,9 % (tahun 2005); 17,6 % (tahun 2006); 16,4 %(tahun 2007); dan 15,4 % (tahun 2008) atau mencapai 34,9 juta jiwa penduduk Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan. Sedangkan tingkat pengangguran dari 10,1 % menjadi 5,1 % juga tidak terealisasi. Pada putusannya Hakim menolak permohonan tersebut dikarenakan pada janji politik tidak memenuhi syarat subjektif Pasal 1320 KUHPerdata yaitu kesepakatan antara kedua belah pihak. Tidak dapat dibuktikan bahwa seseorang telah memilih pasangan calon tertentu karena surat suara bersifat anonim. Namun menurut penulis, janji politik yang dikemukakan oleh peserta pemilu yang menang seharusnya menjadi janji politik kepada seluruh warga negara.
Menurut pasal 1338 KUHPerdata, semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Namun terhadap hak-hak yang diperjanjikan oleh peserta pemenang pemilu, tidak diakomodir oleh peraturan perundang-undangan. Pada kasus ini, perlindungan hukum terhadap warga negara yang menerima janji peserta pemilu tidak dipenuhi. Menurut Satjipto Rahardjo, perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum. Oleh karenanya perlu adanya pengaturan perlindungan terhadap pelaksanaan kontrak sosial yang telah dibuat oleh pemenang pemilu dan para pemilihnya.
Arbi Sanit dalam bukunya yang berjudul Sistem Politik Indonesia menyatakan bahwa Pemilu sebagai kontrak sosial harus menjamin hak dan kewajiban pemilih di satu pihak dan hak serta kewajiban para pemimpin di pihak lainnya. Hak pemilih ialah berdaulat menentukan pilihan yang dioperasikan melalui kebebasan menentukan pilihannya atau tidak memilih siapa pun dan merahasiakannya. Sedangkan kewajiban pemilih, berupa menjatuhkan pilihan kepada calon yang tepat secara benar berdasar pertimbangan bahwa hasilnya akan mendatangkan faedah bagi diri, golongan, masyarakat dan negara. Sebaliknya, hak para kandidat dalam pemilu yaitu berhak mendapatkan suara pemilih sebanyak mungkin, sebagai syarat untuk memperoleh posisi kekuasaan negara yang diingini dan diincarnya. Operasionalisasi hak itu memungkinkannya membujuk pemilih dengan cara yang sah dan benar sesuai dengan prinsip persuasi demokratik. Konsekuensinya, adanya kewajiban para kandidat pemilu untuk mempertanggungjawabkan segala upayanya dalam mendapatkan suara pemilih. Lebih dari itu, kandidat pemilu yang berhasil menjadi penguasa berkewajiban melakukan upaya secara sah untuk menunaikan janjinya ketika pemilu.
Kewajiban menunaikan janji ketika pemilu merupakan kewajiban setiap calon peserta pemilu. Oleh karenanya untuk menjalankan prinsip tersebut, salah satu langkah yang bisa diambil adalah memformulasikan janji politik ke dalam bentuk janji hukum. Artinya, setiap apa yang akan dijanjikan dalam kampanye sebagai strategi mendulang dukungan masyarakat harus dituangkan dalam naskah hukum (akta notaris) yang ditandatangani oleh para kontestan pemilu dan oleh KPU mewakili rakyat sehingga akan memiliki implikasi hukum apabila terjadi wanprestasi. Nantinya calon peserta pemilu dapat menuliskan janji politiknya serta konsekuensi yang akan dijalaninya apabila melanggar kontrak tersebut. Dengan demikian rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi lah yang akan diuntungkan karena nantinya dapat membedakan mana calon pemimpin yang menepati janji atau bertanggung jawab apabila tidak menepati janji sesuai dengan kontrak sosial yang telah dibuat. Selain itu UU Pemilu juga harus mengakomodir kontrak sosial sebagai salah satu objek janji pemilu yang diakui dan dapat dimintakan pertanggungjawabannya oleh warga negara apabila tidak memenuhi janji tersebut. Mungkin contoh dari konsekuensinya adalah bisa dalam bentuk pengunduran diri, sanksi kerja sosial atau pembayaran denda yang uangnya masuk ke kas APBN.
()