Oleh: Hario Danang Pambudhi
(Content Creator Advokat Konstitusi)
Pasang surut KPK tak terlepas dari perhatian publik, misalnya pada pengujung tahun 2019 lalu, muncul wacana untuk merevisi UU KPK yang memicu demonstrasi besar-besaran dari kelompok mahasiswa yang menolak adanya revisi UU KPK. Hal ini disebabkan oleh adanya penilaian terhadap revisi UU KPK yang mengandung kepentingan politis sehingga akan menghambat kinerja lembaga anti rasuah tersebut dalam menjalankan tugasnya.
Kini, waktu berlalu. Isu ini menemui puncaknya tatkala Mahkamah Konstitusi mengumumkan putusan-putusannya secara serentak mengenai uji formil dan uji materil dari UU KPK. Walaupun telah mengeluarkan putusan yang bersifat final and binding, putusan ini masih dianggap belum mampu menjawab rasa keadilan masyarakat Indonesia yang geram atas upaya sistematis pelumpuhan KPK
Mengingat Status KPK
Sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 3 UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bahwa KPK ialah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
Kalimat “bebas dari pengaruh kekuasaan manapun” merupakan hal yang fundamental bagi suatu lembaga negara independen. Bruce Ackerman mengatakan bahwa lembaga independen merupakan salah satu cabang kekuasaan diluar tiga cabang kekuasaan asli atau the three original branches, karena model kelembagaannya sudah merepresentasikan kekuasaan negara.[1]
Dalam putusan Mahkamah Konstitusi nomor 012-016-019/PUU-IV/2006, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa rumusan pasal independensi KPK berarti bebas dari pengaruh manapun dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya sehingga tidak terdapat persoalan konstitusionalitas dalam pasal tersebut. Karenanya, secara tidak langsung Mahkamah Konstitusi menyatakan status KPK sebagai lembaga independen. bahkan dalam putusan Mahkamah Konstitusi nomor 5/PUU-IX/2011, Mahkamah menyataan bahwa “KPK adalah lembaga negara independen yang diberi tugas dan wewenang khusus antara lain melaksanakan sebagian fungsi terkait kekuasaan kehakiman untuk melakukan penyelidikan, peyidikan dan penuntutan serta melakukan supervisi atas penanganan perkara korupsi yang dilakukan oleh institusi negara lain”.
Namun, pada putusan Mahkamah Konstitusi nomor 36/PUU-XV/2017, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa KPK merupakan lembaga negara yang berada di ranah kekuasaan eksekutif karena menjalankan tugas penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dalam tindak pidana korupsi yang sejatinya sama dengan kewenangan kepolisian dan/atau kejaksaan.
Putusan ini menegaskan bahwa KPK sebagai bagian dari kekuasaan eksekutif dapat menjadi obyek penggunaan hak angket DPR. Mahkamah menyatakan bahwa hal independensi dan bebasnya KPK dari pengaruh kekuasaan menapun adalah dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.
Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 36/PUU-XV/2017 sempat menimbulkan polemik karena dirasa putusan ini mengomentari putusan sebelumnya yaitu putusan nomor 012-016-019/PUU-IV/2006, putusan nomor 5/PUU-IX/2011, dan putusan nomor 49/PUU-XI/2013. Namun, Mahkamah Konstitusi menerbitkan siaran pers untuk menjelaskan putusan nomor 36/PUU-XV/2017,[2] yang pada intinya menjelaskan bahwa Mahkamah Konstitusi tidak menentangi putusan yang sebelumnya, dan baru memosisikan KPK berada di bawah kekuasaan eksekutif.
Penolakan Uji Formil, KPK Tamat?
Status independensi yang menyebut hitam diatas putih bahwa KPK berada di bawah kekuasaan eksekutif semakin membuat tanggapan terhadap tumpulnya KPK, kooptasi besar-besaran sangat amat terlihat dilakukan oleh kekuasaan eksekutif dalam mengekang KPK dari dalam, hal ini dapat dilihat dari munculnya isu status pegawai KPK yang harus ASN beserta hadirnya Dewan Pengawas.
Upaya masyarakat sipil untuk memberi perlawanan nampak tidak didengar. Mahkamah Konstitusi akhirnya menjadi satu-satunya jalan untuk membatalkan Revisi UU KPK secara keseluruhan. Pertaruhan keseluruhan digunakan oleh masyarakat sipil dalam pengajuan uji formil Revisi UU KPK. Harapannya, uji formil ini dapat menjadi senjata utama untuk membersihkan KPK dari segala macam bentuk kooptasi oleh kekuasaan eksekutif.
Salah satu perakara uji formil diajukan oleh para mantan pimpinan KPK, mereka adalah Agus Rahardjo, Laode M Syarif, dan Saut Situmorang. Dalam putusannya, MK menolah permohonan uji formil dengan beberapa alasan[3]
- Dalil UU KPK tidak masuk dalam Prolegnas dirasa tidak beralasan menurut hukum. Menurut Mahkamah, RUU KPK sudah masuk prolegnas sejak lama
- Dalil tidak dilibatkannya aspirasi masyarakat ditolak oleh Mahkamah. Hakim Konstitusi Saldi Isra mengatakan berdasarkan bukti yang disampaikan pembuat UU, RUU KPK sudah melibatkan masyarakat, termasuk pimpinan KPK. Selain itu, Mahkamah menemukan fakta bahwa pimpinan KPK menolak menghadiri pembahasan
- Dalil adanya penolakan oleh masyarakat terkait pengesahan RUU KPK, dinilai Mahkamah menjadi kebebasan menyatakan pendapat bagi masyarakat. Hal ini didasari fakta demonstrasi tidak hanya dilakukan oleh pihak kontra tapi juga pihak pro
- Dalil naskah akademik fiktif juga dinilai tidak beralasan menurut hukum. Hal ini didasari adanya perbedaan bukti yang diajukan pemohon dengan bukti yang diajukan DPR
- Dalil yang menyatakan Presiden tidak menandatangani dinilai tidak menjadi alasan adanya pelanggaran formil. Menurut Mahkamah, meski tidak ditandatangani, UU KPK tetap akan berlaku dengan sendirinya dalam jangka waktu 30 hari jika tidak ditandatangani presiden
Pendapat-pendapat Mahkamah pada akhirnya menjadi sesuatu yang banyak disesali oleh banyak pihak. Hal ini berangkan dari pandangan bahwa Mahkamah Konstitusi harusnya dapat menyajikan putusan yang tidak hanya menilai ada atau tidaknya bukti, tetapi juga dapat mendalami dan menilai keabsahan secara pandangan hukumnya. Zainal Arifin Mochtar dalam diskusi PUKAT UGM bahkan sampai menyebutkan bahwa putusan uji formil ini malah nampak seperti putusan politik dibandingkan putusan hukum.
Penulis memiliki pandangan yang tidak jauh berbeda. Apabila mengutip pendapat dari Mauro Cappelletti yang mengatakan bahwa hakim dalam peradilan ketatanegaraan atau konstitusional seringkali membutuhkan “higher sense of discretion than the task of interpreting ordinary statues”.[4] Dalam hal ini, penulis juga berpendapat bahwa Hakim MK harusnya tidak hanya berbicara masalah penerapan peraturan perundang-undangan semata. Tetapi bahkan harus mampu menciptakan hukum baru. Menurut Aharon Barok, dalam membentuk hukum baru, hakim harus dapat menjembatani gap antara realitas sosial dan hukum, dalam arti hakim harus dapat mengadaptasi hukum untuk memenuhi kebutuhan perubahan kehidupan masyarakat. Lalu hakim harus dapat melindungi konstitusi beserta nilai yang terkandung di dalamnya. Untuk mencapai hal tersebut maka hakim harus bertindak objektif, memperhatikan konsensus sosial, memelihara kepercayaan masyarakat, dan menggunakan beragam sarana, meliputi penggunaan interpretasi, pengembangan hukum kebiasaan, penerapan teori “weighing and balancing”, serta penerapan metode perbandingan hukum.[5] Hal ini tentu menjadi kekecewaan tersendiri jika hakim konstitusi justru tidak dapat memuaskan dan menyajikan pandangan-pandangan hukum yang harusnya dapat menjadi diskursus baru. Sehingga jika memang putusannya tidak dikehendaki oleh khalayak, hal ini dapat dipertanggungjawabkan oleh pandangannya yang menjamin pergolakan akademis di bidang hukum dalam tingkat tinggi.
[1] Bruce Ackerman. 2000. The New Separatism of Power. Harvard Law Review Vol 113, No. 3, January 2000
[2] Diakses dari https://www.mkri.id/public/content/infoumum/press/pdf/press_425_15.2.18%20press%20release%20putusan%20hak%20angket%20dpr.pdf pada 7 Mei 2021
[3] Kompas. 2020. MK Tolak Permohonan Uji Formil UU KPK yang Diajukan Eks Pimpinan KPK. Diakses dari MK Tolak Permohonan Uji Formil UU KPK yang Diajukan Eks Pimpinan KPK Halaman 2 – Kompas.com pada 7 Mei 2021
[4] Susi Dwi Harijanti. 2014. Pengisisan Jabatan Hakim: Kebutuhan Reformasi dan Pengekangan Diri. Jurnal Ius Quia Iustum Vol.21, No. 4, Oktober 2014., hlm. 538
[5] Aharon Barok. 2006. The Judge in A Democracy. New Jersey: Priceton University Press., hlm 307 ()