Oleh: Muhammad Rafi Abdussalam
(Internship Advokat Konstitusi)
Amanat pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 dengan jelas menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara hukum. Pasal tersebut memiliki esensi bahwa negara Indonesia berjalan dibawah kekuasaan hukum. Oleh karena itu, segala tindakan seseorang yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) harus berdasarkan landasan hukum yang berlaku. Tindakan yang menyimpang dari undang-undang dapat dianggap sebagai sebuah tindak pidana.
Dewasa ini istilah restorative justice masih sangat asing di telinga masyarakat. Masyarakat lebih terbiasa dengan istilah pemidanaan sebagai langkah penyelesaian dalam sebuah kasus tindak pidana. Pemberian hukuman bagi pelaku tindak pidana dianggap sebagai hal yang lumrah. Faktanya, pemberian hukuman tidak lagi memberikan efek jera pada pelaku tindak pidana. Bahkan, dalam beberapa kasus penjatuhan hukuman pidana justru meninggalkan trauma, masalah ekonomi, dan masalah lainnya pada pelaku tindak pidana. Hal ini akan menimbulkan potensi yang besar bagi para pelaku tindak pidana untuk mengulangi perbuatannya (residivis).
Lalu apa sebenarnya tujuan pemidanaan? Jika tujuan pemidanaan hanya untuk membuat jera pelaku tindak pidana, maka tujuan tersebut sangatlah dangkal. Dalam sebuah peradilan kasus tindak pidana, kepentingan korbanlah yang seharusnya menjadi prioritas utama. Apakah pemberian hukuman pada pelaku dapat mengembalikan hak-hak korban yang sudah dirampas? Bagaimana hubungan pelaku dan korban di masa yang akan datang? Apakah pelaku dapat diterima kembali dalam masyarakat? Restorative Justice mempunyai jawaban dari semua permasalahan tersebut.
Berbeda dengan retributive justice yang memandang kejahatan sebagai pelanggaran yang berfokus pada masa lalu dan tujuannya adalah untuk menentukan siapa yang harus disalahkan dan pidana apa yang akan dijatuhkan. Restorative justice merupakan alternatif penyelesaian perkara tindak pidana yang dalam mekanisme tata cara peradilan pidana berfokus pada pemidanaan yang diubah menjadi proses dialog dan mediasi yang melibatkan pelaku tindak pidana, korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang adil dan seimbang bagi pihak korban maupun pelaku. Restorative justice dilakukan melalui proses kooperatif yang melibatkan semua pihak. Restorative Justice dalam praktik dan teori ditempatkan pada pemulihan mereka yang terkena dampak langsung oleh kejahatan atau tindakan buruk dan pada reformasi kelembagaan dan sosial.
Restorative Justice memiliki arti keadilan yang merestorasi atau dengan kata lain memulihkan. Dari penjelasan tersebut kita dapat mengetahui bahwa tujuan utama dari restorative justice adalah memulihkan. Apa yang dipulihkan? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, penulis ingin pembaca memahami ciri dari restorative justice berikut:
- Restorative justice mengharuskan untuk adanya upaya pemulihan atas kerugian korban yang timbul akibat dari tindak pidana;
- Restorative justice mengharuskan untuk memberi kesempatan bagi pelaku tindak pidana untuk dilibatkan dalam upaya pemulihan kerugian korban.
Semua hal tersebut dimaksudkan untuk memberikan keadilan bagi korban dan pelaku dengan merestorasi/memulihkan hal berikut:
- Kerugian korban (mental, harta, nama baik, dsb);
- Nama baik pelaku tindak pidana (agar bisa diterima Kembali di masyarakat);
- Hubungan baik antara pihak korban dan pelaku tindak pidana.
Dari semua penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa penyelesaian kasus tindak pidana tidak cukup dengan hanya mengandalkan proses pemidanaan konvensional. Upaya menyelesaikan masalah melalui restorative justice harus didahulukan sebelum melakukan proses pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana. Hal ini penting dilakukan karena prosedur pemidanaan konvensional tidak memungkinkan pihak-pihak terkait, dalam kasus ini korban dan pelaku tindak pidana, untuk secara aktif terlibat dalam penyelesaian masalah mereka. Setiap indikasi tindak pidana akan selalu digulirkan ke wilayah penegakan hukum yang sepenuhnya menjadi kewenangan penegak hukum terlepas dari eskalasinya. Keterlibatan aktif
masyarakat dalam hukum tampaknya akan usang. Segala sesuatu akan mengarah pada penghakiman atau hukuman tanpa memperhatikan esensi dari keadilan itu sendiri. ()