Oleh: Athallah Zahran Ellandra
(Internship Advokat Konstitusi)
Hubungan ketenagakerjaan (industrial) atau hubungan perburuhan pada hakikatnya merupakan hubungan antarpihak-pihak terkait dengan kepentingan, yaitu antara pekerja (buruh) dan pengusaha (majikan), serta organisasi buruh (serikat pekerja) dan organisasi pengusaha (Kepmenaker Nomor 648/Men/1985). Hal ini sejalan dengan pedoman pelaksanaan Hubungan Industrial Pancasila, yaitu yang mencakup: pengusaha dan serikat pekerja (labor union), pada hakikatnya antara pekerja dan pengusaha bukanlah dua kekuatan yang memiliki perbedan kepentingan, sehingga saling berusaha untuk memenangkan kepentingannya dengan kekuatan tertentu. Namun, justru keduanya saling membutuhkan dan bekerja sama untuk dapat mencapai tujuan yaitu kesejahteraan bersama atas dasar kemitraan. Salah satu perwujudan upaya tersebut adalah mendirikan suatu organisasi pekerja yang diberi nama “Serikat Pekerja”. Serikat Pekerja sekaligus sebagai pengganti “Serikat Buruh” dan hal ini sesuai dengan UUD 1945 yang menyatakan bahwa “yang disebut golongan-golongan ialah badan-badan seperti koperasi,
serikat pekerja dan lain-lain badan kolektif. Lalu bagaimana nasib hubungan ketenagakerjaan ini berjalan pasca disahkannya UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja?
Salah satu bidang yang paling kontroversial dalam pembahasan UU Cipta Kerja adalah Bidang Ketenagakerjaan. Perubahan yang dilakukan didalam Bab Ketenagakerjaan UU Cipta Kerja, terutama terhadap beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 (“UU Ketenagakerjaan”), menjadi sorotan karena dianggap akan membawa kerugian bagi pekerja. Berikut merupakan beberapa poin-poin penting yang akan saya uraikan, mulai dari permasalahan yuridis formil (pasal-pasal) hingga permasalahan konseptualnya, terutama hal yang berkaitan dengan pengupahan dan Pemutusan Hubungan Kerja (“PHK”)
Pengupahan
Salah satu hal yang dikritisi dalam Bab Ketenagakerjaan UU Cipta Kerja adalah perubahan pasal-pasal terkait pengupahan. Terdapat beberapa hal yang berubah dalam hal pengupahan. Pertama, hilangnya “kebutuhan hidup layak” sebagai pertimbangan penetapan upah minimum Kebijakan pengupahan pada hakekatnya tidak dapat dipisahkan dari kewajiban negara untukpenghidupan yang layak bagi rakyatnya. Sebagaimana juga disebutkan dalam Pasal 88Undang-Undang Ketenagakerjaan bahwa “Setiap pekerja/buruh berhak atas penghidupan yanglayak bagi kemanusiaan”. Selanjutnya, “Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan pengupahansebagai salah satu upaya mewujudkan hak pekerja/buruh atas penghidupan yang layak bagikemanusiaan.”
Menjadi penting untuk dicatat bahwa ketentuan terkait dengan penghitungan upah minimumdi UU Cipta Kerja tidak lagi menggunakan “kebutuhan hidup layak” sebagai pertimbangan.Perhitungan semata dilandaskan pada variabel pertumbuhan ekonomi atau inflasi.Pertanyannya, dapatkah variabel-variabel ini merepresentasikan kebutuhan hidup layak bagipekerja? Menjadi ironis bahwa ketentuan ini justru akan menjauhkan kebijakan pengupahandengan tujuan awalnya yaitu memberikan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.Hal-hal vital yang berubah terkait pengupahan antara lain yaitu perubahan upah minimum,upah minimum sektoral, ruang lingkup pengupahan, serta struktur dan skala upah. Perubahanini patut dikritisi karena menghilangkan pertimbangan golongan, jabatan, masa kerja,pendidikan, dan kompetensi dalam struktur dan skala upah. Padahal, struktur dan skala upahbisa dijadikan sebagai salah satu upaya untuk memacu pengembangan kompetensi pekerja,dengan pemberian reward berupa kenaikan upah. Dengan ketentuan yang baru, reward initerancam hilang dan hal ini bisa menjadi kontraproduktif dengan cita-cita perbaikan kualitasSDM pekerja Indonesia.
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
Pasal lain yang juga banyak menimbulkan polemik adalah ketentuan terkait PemutusanHubungan Kerja (PHK) dalam UU Cipta Kerja. Secara filosofis, PHK dalam konsepsihubungan industrial Pancasila adalah hal yang sangat dihindari. Sehingga wajar jikapengaturan PHK dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan dibuat sangat rigid untuk sedapatmungkin mencegah terjadinya PHK, terutama dalam Pasal 151 ayat (2) serta Pasal 151 ayat (3)UU Ketenagakerjaan.
UU Cipta Kerja juga mengubah ketentuan mengenai besaran pesangon dan penghargaan masakerja yang bisa didapatkan oleh pekerja saat terjadi PHK. Pada Undang-Undang Ketenagakerjaan, besaran pesangon dan penghargaan masa kerja yang didapatkan saat terjadi PHK dipengaruhi tidak hanya oleh lama waktu kerja, namun juga alasan terjadinya PHK. Pada UU Cipta Kerja, korelasi antara alasan PHK dengan besaran pesangon dan/atau penghargaan masa kerja dihilangkan, sehingga multiplier pesangon dan/atau penghargaan masa kerja yang semula dapat mencapai 32 kali upah juga tidak lagi ada. Pada UU Cipta Kerja, batas maksimal
pesangon dan/atau penghargaan masa kerja yang diwajibkan kepada pengusaha adalah 19 kali upah. Pengurangan jumlah pesangon didasarkan pada evaluasi Kementerian Ketenagakerjaan bahwa aturan pesangon selama ini tidak implementatif. Padahal, mengurangi ketentuan terkait besaran pesangon dan/atau penghargaan masa kerja tidak akan bisa meningkatkan tingkat kepatuhan perusahaan terhadap aturan tersebut jika tidak dibarengi dengan perbaikan pengawasan. Lebih dari itu, aspek pengawasan yang mestinya diperbaiki dan diperkuat.
Kesimpulan
Perubahan-perubahan yang dilakukan oleh UU Cipta Kerja terhadap Undang-Undang Ketenagakerjaan secara umum dapat diasosiasikan sebagai upaya deregulasi aturan ketenagakerjaan. Pemerintah meyakini, aturan hukum ketenagakerjaan yang terlalu rigid merupakan salah satu penghalang investasi, karena itu, perlu upaya pelonggaran aturan hukum ketenagakerjaan. Harus diakui, UU Ketenagakerjaan yang sudah berusia 17 tahun memang memiliki banyak kekurangan, sebagai contoh, ketiadaan perlindungan hukum terhadap pekerja informal seperti pekerja rumahan, pekerja rumah tangga, atau pekerja yang berada dalam hubungan kerja tidak standar, dan banyak lagi catatan kekurangan lainnya. Sayangnya, masalah-masalah ini justru tidak dijawab oleh Bab Ketenagakerjaan dalam UU Cipta Kerja.Revisi parsial yang dilakukan oleh UU Cipta Kerja terhadap UU Ketenagakerjaan justru menimbulkan masalah-masalah baru yang berdampak buruk terhadap perlindungan pekerja. ()