Oleh: Maria Fransisca Prasetya
Indonesia sebagai negara hukum tentunya tidak dapat dilepaskan dari peran penegakan Hak Asasi Manusia (HAM). Secara historis, para founding parents telah menyadari bahwa HAM merupakan hak kodrat yang melekat pada diri manusia dan penting untuk dilindungi. Faktor inilah yang kemudian mendorong substansi HAM diinkorporasikan dalam rumusan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945).
Konstruksi nilai yang terkandung dalam Pancasila menegaskan bahwa kedudukan HAM mendapatkan jaminan kuat di Indonesia. Nilai-nilai seperti kemanusiaan, kesetaraan dan keadilan sebagaimana tertuang dalam Pancasila menempatkan penegakan HAM sebagai upaya prospektif negara untuk memenuhi hak dasar warga negara. Maka dari itu, Negara memiliki peranan sentral untuk mewujudkan penegakan HAM bagi seluruh masyarakat tanpa terkecuali.
Pada tataran faktual, nilai-nilai Pancasila nampaknya belum diterapkan seutuhnya oleh negara dalam menegakkan HAM. Pengaruh iklim politik otoritarian di era orde baru menimbulkan dampak signifikan terhadap problematika penegakan HAM di Indonesia. Meskipun demokratisasi tahun 1998 telah diwujudkan dengan menerapkan regulasi berbasis moral terhadap operasionalisasi HAM (Halili, 2016:199).
Faktanya, hingga kini kasus pelanggaran HAM yang meliputi kriminalisasi dan diskriminasi masih menjadi warisan sejarah yang tak kunjung dituntaskan oleh negara. Fenomena ini berpengaruh pada lahirnya impunitas dalam berbagai tragedi pelanggaran HAM. Impunitas muncul sebagai bentuk ketidakmampuan negara untuk membawa para pelaku kejahatan mempertanggungjawabkan tindak pidana mereka melalui jalur hukum serta memberikan reparasi bagi para korban terdampak (Kontras, 2005: i).
Gagalnya pemerintah Indonesia dalam mengusut tuntas kasus pelanggaran HAM merupakan implikasi dari kondisi fluktuatif yang digambarkan sebagai pertarungan antara pemenuhan keadilan transisi yang diperjuangkan kaum reformis dan kepentingan konsolidasi demokrasi yang melibatkan aktor utama sebagai pelaku masa lalu.Politisasi instrumen hukum terlihat jelas dalam perumusan undang-undang di bidang HAM baik dari segi filosofis maupun teknis redaksional.
Sebagai contoh, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM (UU 26/2000) mengadopsi secara parsial yurisdiksi Pengadilan Pidana Internasional dari Statuta Roma yang justru menghilangkan fungsi strategis Pengadilan HAM. Pelemahan secara fundamental dapat terlihat jelas melalui terbatasnya kewenangan Komnas HAM dalam bidang penegakan hukum, tidak adanya regulasi derivat hukum acara Pengadilan HAM serta penyimpangan penerjemahan Statuta Roma yang berdampak pada kaburnya pemaknaan Pelanggaran HAM dan yurisdiksi Pengadilan HAM. Banyaknya kelemahan substansial ini kemudian menempatkan Indonesia sebagai surga bagi kejahatan tanpa hukuman (Todung Mulya Lubis, 2005: 3).
Rezim reformasi yang diharapkan dapat memerangi pelanggaran HAM masih terkontaminasi oleh para pelaku pelanggaran HAM berat yang duduk di kursi pemerintahan. Legitimasi kekuasan yang diberikan pemerintah kemudian mempengaruhi proses penegakan hukum baik secara in abstracto maupun in concreto (Tonggat, 2013: 192). Tumpulnya implementasi hukum dalam sektor HAM telah memudarkan marwah Indonesia sebagai negara hukum yang berlandaskan Pancasila.
Indonesia sebagai negara hukum seharusnya memiliki kewajiban untuk menjamin perlindungan HAM sebagaimana diamanatkan sila kedua Pancasila, namun sebaliknya negara justru mendegradasi nilai HAM dengan mempertahankan mekanisme penegakan yang terbukti tidak menyelesaikan permasalahan apapun. Hal ini kemudian menunjukkan bahwa Ideologi Pancasila belum berhasil untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi Bangsa Indonesia.
Penyelesaian kejahatan luar biasa (extraordinary crimes) seharusnya menerapkan formula atau mekanisme yang luar biasa (extraordinary measures) dalam menerobos kokohnya impunitas (Satjipto Rahardjo, 2010: 34). Reformasi hukum dan birokrasi haruslah dilakukan secara holistik untuk mengatasi akar permasalahan langgengnya impunitas. Utamanya, negara harus mampu berkomitmen untuk membersihkan lembaga pemerintahan dari pelaku pelanggaran HAM yang saat ini bertransformasi menjadi pahlawan pro-demokrasi. Restrukturisasi Pengadilan HAM harus dilaksanakan dengan mengedepankan kompleksitas hukum sebagai upaya menjerat pelaku pelanggaran HAM termasuk pejabat negara.
Adapun rekonstruksi yang dapat menjadi bahan pertimbangan dalam rangka penguatan eksistensi Pengadilan HAM adalah dengan mengabsorbsi atau meratifikasi Statuta Roma sebagai sumber rujukan penyempurnaan UU 26/2000. Pada konteks ini diperlukan perbaikan substansi hukum yang meliputi perluasan yurisdiksi pengadilan HAM dengan memasukkan kejahatan perang dan agresi, menerjemahkan secara komprehensif Statuta Roma 1988 tentang Pengadilan Pidana Internasional (PPI), mengharmonisasi Statuta Roma 1998 dengan menghadirkan regulasi khusus tentang hukum acara pengadilan HAM, memperkuat kewenangan Komnas HAM sebagai leading sector dalam mengungkap kasus pelanggaran HAM, serta mengupayakan kehadiran Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Secara struktural, hadirnya Undang-Undang Pengadilan HAM sebagai lex specialis akan berstatus primary mechanism, sedangkan Undang-Undang tentang Ratifikasi Statuta Roma akan berperan sebagai mekanisme pelengkap.
Kelembagaan politik HAM juga menjadi tumpuan asa pengungkapan kebenaran dan pemulihan hak-hak korban dalam berbagai kasus pelanggaran HAM. Keberadaan Komnas HAM sebagai institusi nasional yang khusus menangani perkara HAM harus diperkuat melalui serangkaian kebijakan strategis antara lain yaitu: pertama, perluasan kewenangan Komnas HAM dengan menambahkan kewenangan penyidikan dan penuntutan. Kedua, restrukturisasi keanggotaan Komnas HAM dengan mewajibkan hadirnya perwakilan masyarakat yang seringkali bersinggungan dengan kasus pelanggaran HAM.
Ketiga, memperluas akses pelayanan kepada masyarakat dengan menghadirkan Komnas HAM di setiap Provinsi dan menjalin kerjasama dengan berbagai pihak baik di taraf nasional maupun internasional. Keempat, melakukan evaluasi tahunan dengan melibatkan pihak eksekutif dan legislatif guna membahas perkembangan penegakan HAM. Kelima, membentuk panitia Ad hoc manakala pelanggaran yang ditangani merupakan kasus pelanggaran HAM berat dengan komposisi anggota meliputi perwakilan Komnas HAM, aktivis di bidang HAM, perwakilan para korban terdampak serta TNI/ POLRI yang memiliki catatan bersih. Serangkaian kebijakan tersebut harus diformulasikan dalam suatu undang-undang khusus yang berfungsi memperkuat posisi Komnas HAM sebagai penegak Hukum dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Menjadi penting bahwa dalam memperbaiki sistem penegakan HAM tentunya tidak hanya secara substantif saja, namun secara praktik juga harus diimplementasikan dengan baik. Negara sebagai pilar utama dalam menerobos dinding impunitas harus bisa melepaskan diri dari kepentingan politik yang bersifat destruktif dan bergerak memperjuangkan keadilan. Dalam proses penegakan HAM, negara wajib mengutamakan aspek kepastian hukum serta memasukkan nilai-nilai Pancasila seperti nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan serta keadilan sosial sebagai cerminan tanggung jawab negara untuk memperbaiki sistem penegakan HAM kedepannya. Komitmen setiap pejabat pemerintahan menjadi penting dalam konteks penegakan HAM, apabila setiap pejabat mampu mengutamakan pemecahan kasus pelanggaran HAM, maka niscaya tembok impunitas akan hancur secara perlahan. ()