Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menemui hambatan dalam proses pemeriksaan kasus dugaan korupsi Gubernur Papua Lukas Enembe. Proses hukum terhadap dugaan korupsi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) dan gratifikasi sebesar Rp 1 Miliar tersebut sudah beberapa kali mengalami kesulitan yang menghambat KPK dalam proses pemeriksaan. Sebelumnya, KPK sudah melayangkan dua kali panggilan pemeriksaan kepada Enembe yang sudah berstatus sebagai tersangka. Namun, Enembe tidak hadir dalam dua kali panggilan tersebut dengan alasan sedang menjalani perawatan akibat masalah kesehatan.
Setelah dua kali mangkir, tim kuasa hukum Enembe juga sempat mengajukan permintaan kepada KPK untuk mengizinkan pengobatan ke Singapura. Hingga saat ini KPK belum mengabulkan permintaan tersebut dengan alasan jarak Jakarta-Jayapura yang lebih dekat dan tersedianya pengobatan oleh dokter yang ahli di RSPAD dan RS Cipto Mangunkusumo. Kali ini, hambatan datang dalam bentuk penolakan dari istri dan anak Lukas Enembe yang menolak untuk diperiksa sebagai saksi. Kuasa hukum Enembe, Aloysius Renwarin, menjelaskan bahwa dasar utama penolakan tersebut adalah hukum adat.
“Jadi secara adat di Papua, dengan memperhatikan kearifan lokal yang ada, terhadap istri dan anaknya, tidak dapat diganggu. Gubernur Papua sedang sakit, secara budaya harus dihargai. Terhadap Gubernur Papua harus diberikan akses untuk pemulihan kesehatan termasuk dibuka kembali rekening yang diblokir, supaya bisa dipakai untuk pengobatan,” jelas
Aloysius dalam keterangannya kepada detik.com pada Senin (10/10/2022).
Terkait hal tersebut, Kepala Suku Lanny di Papua menyampaikan melalui Aloysius Renwarin bahwa menurut adat di Papua, dalam keadaan perang anak dan istri merupakan orang yang tidak dapat disentuh. Aloysius juga menjelaskan bahwa kedudukan Enembe yang baru diangkat sebagai Kepala Suku Besar Papua oleh Dewan Adat Papua, mengharuskan perkara yang melibatkan Enembe tersebut diselesaikan dengan hukum adat masyarakat Papua. Menanggapi pernyataan tersebut, KPK menyatakan bahwa hukum adat memang diakui di Indonesia namun bagi pidana khusus seperti korupsi sudah terdapat aturan formil dan materiilnya yang berlaku.
“Sejauh ini betul bahwa eksistensi seluruh hukum adat di Indonesia diakui keberadaannya. Namun, untuk kejahatan terlebih korupsi, maka baik hukum acara formil maupun materiil tentu mempergunakan hukum positif yang berlaku secara nasional,” jelas Ali Fikri, Kepala Bagian Pemberitaan KPK kepada CNN Indonesia pada Selasa (11/10/2022).
Disamping hukum adat, tim kuasa hukum Enembe juga menambahkan bahwa penolakan sebagai saksi telah diatur dalam KUHAP dan UU Tipikor. Dalam Pasal 168 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, seorang anggota keluarga sedarah atau semenda, saudara ibu atau bapak, serta suami atau isteri terdakwa diperbolehkan untuk mengundurkan diri sebagai saksi.
Dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 35 ayat (1) mengatur bahwa orangtua, kakek, nenek, saudara kandung, istri, suami, anak, serta cucu terdakwa dapat dibebaskan dari kewajiban memberikan keterangan sebagai saksi. Tim kuasa hukum Enembe juga menambahkan bahwa istri serta anak Enembe tidak mengetahui transaksi gratifikasi yang melibatkan Enembe tersebut, maka menurutnya saksi sepatunya merupakan seseorang yang melihat, mendengar, dan/atau mengalami peristiwa tersebut.
Namun, saat ini ruang lingkup saksi telah diperluas oleh Putusan MK No. 65/PUU-VIII/2010 tentang Pengujian UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dimana saksi dapat pula berupa seseorang yang mendengar peristiwa dari orang lain dikenal sebagai testimonium de auditu. ()