Oleh: Catur Agil Pamungkas
Internship Advokat Konstitusi
Beberapa hari ini, linimasa sedang ramai dengan adanya wacana pemberian cuti hamil/melahirkan selama 6 bulan untuk Ibu dan 40 hari untuk Ayah melalui Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA). Wacana tersebut menuai pro kontra dari masyarakat, ada yang mendukung wacana tersebut, tapi tidak sedikit juga kontra atau menolak wacana tersebut. Pihak yang Pro terhadap wacana tersebut menyatakan bahwa pemberian cuti hamil selama 6 bulan bagi ibu hamil penting untuk diberikan untuk memastikan terpenuhinya pemberian ASI eksklusif selama 6 Bulan, mengingat pemberian ASI Eksklusif tersebut bermanfaat bagi kesehatan ibu dan anak. Sedangkan dari pihak yang kontra, menyatakan bahwa pemberian cuti hamil selama 6 bulan tersebut berpotensi menurunkan daya tawar atau bargaining position dari perempuan di dunia kerja, utamanya pekerja perempuan yang sedang dalam usia produktif. Maka dari itu, wacana diatas seyogyanya memang perlu dikaji lebih lanjut supaya tidak menjadi bumerang bagi pekerja perempuan kedepan.
RUU KIA didalamnya mengatur bahwa pada saat pekerja perempuan menjalani cuti hamil selama 6 bulan, selama 3 bulan pertama berhak mendapatkan gaji penuh dan pada 3 bulan berikutnya berhak mendapatkan gaji sebesar 70%. Posisi tersebut sepintas memberikan kesejahteraan pada pekerja perempuan, akan tetapi hal tersebut berpotensi menurunkan nilai tawar pekerja perempuan terhadap pekerja laki-laki di dunia kerja. Dimana apabila kebijakan ini benar dilaksanakan, para pemberi kerja bisa berpikir untuk memilih tidak mempekerjakan perempuan pada usia produktif, karena dianggap tidak memberikan kontribusi selama periode cuti dan disisi lain pemberi kerja masih harus menanggung upah para pekerja tersebut.
Bahaya Feminisasi Kemiskinan
Apabila wacana perpanjangan cuti hamil tersebut dilaksanakan tanpa pertimbangan yang matang, terdapat bahaya besar yang tersembunyi di dalamnya, yakni potensi ‘feminisasi’ kemiskinan atau sebuah keadaan dimana sebagian besar angka kemiskinan dihuni oleh perempuan. Feminisasi kemiskinan ini merupakan kemiskinan terstruktur yang dialami perempuan. Ini disebabkan oleh ketimpangan gender, seperti ketertinggalan perempuan dalam akses sumber daya ekonomi, pelayanan publik, partisipasi politik, serta lemahnya posisi perempuan di masyarakat. Perempuan akan semakin sulit memperoleh pendapatan, dan berujung semakin rentan terjerat dalam belenggu kemiskinan.
Potret Penerapan Cuti Melahirkan Di Negara Lain
Beberapa Negara di dunia juga menerapkan kebijakan cuti melahirkan, dimana terdapat perbedaan antara negara satu dengan negara lainya. Contoh Estonia, di negara ini, seorang ibu berhak untuk mendapatkan cuti melahirkan selama 82 minggu atau setara dengan 1,5 tahun lamanya dengan tetap mendapatkan gaji secara penuh, dan untuk cuti ayah sendiri hanya diberikan selama 2 minggu. Kemudian di Negara Islandia, kedua orang tua diberikan hak cuti selama 39 minggu dengan tetap mendapatkan gaji sebesar 80%. Terakhir adalah Jepang yang menawarkan durasi cuti melahirkan kepada ibu dan ayah selama 52 minggu atau sekitar 1 tahun, dengan tetap mendapatkan upah sebesar 60% dari rata-rata pendapatan, atau setara dengan 31 minggu (sekitar 8 bulan) cuti dengan gaji penuh. penawaran durasi cuti ayah yang panjang dimaksudkan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya peran ayah dalam pengasuhan anak. Meski begitu, hanya enam persen ayah yang memanfaatkan atau mengambil cuti tersebut, sementara untuk cuti ibu sendiri prosentasenya lebih besar, yakni sebanyak 82 persen.
Solusi terhadap pemenuhan ASI Eksklusif
Pemenuhan ASI Eksklusif selama enam bulan dari ibu kepada anaknya menjadi salah satu pemicu lahirnya wacana perpanjangan cuti hamil dalam RUU KIA. Jika memang hal tersebut yang menjadi concern pemerintah, alangkah lebih baik untuk memperkuat regulasi pemberian ASI Eksklusif di tempat kerja. Memang benar bahwa hal tersebut sudah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 15 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penyediaan Fasilitas Khusus Menyusui Dan/Atau Memerah Air Susu Ibu, akan tetapi, implementasi di tempat kerja seringkali tidak sejalan dengan apa yang diatur dalam peraturan tersebut.
Solusi lain adalah melalui perpanjangan periode cuti ayah, mengapa hal ini menjadi penting? karena selama ini berdasarkan Undang-Undang Ketenagakerjaan, seorang ayah yang istrinya baru saja melahirkan, hanya berhak untuk melaksanakan cuti selama 2 hari, dimana dari segi penerapanya disesuaikan dengan kebijakan instansi pemberi kerja. Perpanjangan cuti ayah ini penting untuk diperhatikan, mengingat keberhasilan seorang ibu dalam memberikan asi eksklusif tersebut tidak akan terlepas dari dukungan dari ayah. Cuti ayah yang lebih panjang diyakini akan membawa banyak dampak positif bagi tumbuh kembang anak. ()