SAMBO DAN PERTARUHAN CITRA POLRI

Pemberitaan media nasional terus menjadikan nama Ferdy Sambo sebagai headline berita. Tindak pidana pembunuhan yang terjadi pada hari Minggu, 8 Juli 2022 di rumah dinas terdakwa yang terletak di Kompleks Polri, Duren Tiga, Jakarta Selatan, menggegerkan pemberitaan Nasional karena melibatkan salah satu anggota Perwira Tinggi Pelayanan Markas Kepolisian Negara Republik Indonesia dan anggota kepolisian lainnya. Hal yang menarik perhatian dalam kasus ini ialah tindak pidana pembunuhan tidak dilakukan oleh satu orang saja, melainkan dilakukan bersama-sama atas satu komando dari Ferdy Sambo. 

Semenjak proses penyelidikan dilakukan oleh Tim khusus yang dibentuk oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit, berbagai fakta mencengangkan banyak yang terungkap. Mulai dari fakta baku tembak yang sebenarnya tidak terjadi, motif pembunuhan yang beragam, keterlibatan anggota kepolisian yang menutupi  kasus ini, hingga fakta terkait dugaan pelecehan yang dilakukan Brigadir J (Korban) kepada Istri Ferdy Sambo, Putri Chandrawati. Masyarakat pun tidak luput membuat opini dalam merespon kejadian ini, mulai dari menyeruaknya dugaan adanya konsorsium 303 hingga hubungan spesial yang terjadi antara Ferdy Sambo dan Brigadir J. Hingga terlaksananya sidang perdana Ferdy Sambo pada hari Senin, 17 Oktober 2022, ia terancam dikenakan pidana Pasal 340 KUHPidana jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHPidana. Lantas, apa pengaruh kasus Ferdy Sambo terhadap kepercayaan masyarakat kepada kepolisian?

Obstruction of Justice

Pengaruh Ferdy Sambo sebagai Irjen yang berpangkat bintang dua dalam institusi sebesar Kepolisian RI begitu signifikan. Ia notabene yang hanya seorang Kadiv Propam beserta beberapa ajudannya dapat mempengaruhi begitu banyak anggota kepolisian lainnya dengan satu instruksi dan komando. Mega skandal pembuhunan Brigadir J menunjukkan betapa rapuhnya anggota kepolisian di bawah Ferdy Sambo. Kasus tersebut benar-benar telah mencoreng marwah institusi Kepolisian RI, bagaimana tidak? Kejahatan dirancang terstruktur ( sesuai perintah atasan), sistematis (berdasarkan perencanaan yang matang) dan masif (melibatkan begitu banyak anggota Kepolisian RI).

Pasca pembunuhan yang dilakukan Ferdy Sambo terhadap Brigadir J, ia mengerahkan seluruh kekuatan dan kekuasaannya untuk menutupi kekejian yang ia lakukan. Warta ekonomi menyebutkan Setidaknya terdapat 83 anggota kepolisian yang terbukti membantu merekayasa dan menutupi proses penyelidikan kasus tersebut. Sekitar 35 diantaranya yang dipidanakan, mulai dari anggota polisi jabatan yang terendah hingga perwira tinggi (pati), perwira menengah (pamen), dan perwira pertama yang juga terlibat membantu Ferdy Sambo. 

Dengan begitu banyaknya pihak yang terlibat, Ferdy Sambo terbukti melakukan obstruction of justice. Oemar Seno Adji dan Indriyanto Seno Adji dalam Peradilan Bebas Negara Hukum dan Contempt Of Court (2017:285) memaparkan mengenai obstruction of justice yakni tindakan yang ditujukan maupun mempunyai efek memutarbalikkan proses hukum, sekaligus mengacaukan fungsi yang seharusnya dalam suatu proses peradilan.

Ferdy Sambo terbukti bersalah melakukan, menyuruh melakukan, dan turut serta melawan hukum melakukan tindakan apapun yang berakibat terganggunya sistem elektronik. Dia juga didakwa menghilangkan hingga menyembunyikan informasi elektronik. Berdasarkan hal tersebut, menelisik kedalam hukum positif yang berlaku di Indonesia, ketentuan terkait tindakan menghalangi proses hukum atau obstruction of justice terdapat dalam pasal 221 KUHP dan Pasal 21 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Pasal 221 ayat (1) KUHP mengancam kepada setiap orang yang menyembunyikan atau menolong seseorang  yang melakukan kejahatan agar orang tersebut terhindar dari penyidikan atau penahanan. Sementara Pasal 221 ayat (2) KUHP menjelaskan bahwa setiap orang yang memiliki maksud menutupi atau menghalang-halangi atau mempersukar penyidikan atau penuntutan atas suatu kejahatan.

Prank skenario pembunuhan yang terjadi terus bergulir dan menjadi pembicaraan hangat di kalangan masyarakat sejak awal penyelidikan berlangsung hingga proses persidangan perdana yang dinilai oleh sebagian masyarakat masih terkesan abu-abu. Terlebih dengan banyaknya keterlibatan anggota polisi yang ikut terseret dalam kasus ini pun menjadi tolak ukur masyarakat dalam menempatkan kepercayaannya kepada Polri.

 Menurunnya Survei Kepercayaan Polri

Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA menyebutkan bahwa kasus pembunuhan yang dilakukan oleh eks Kepala Divisi Propam Polri terhadap Birgadir J ini menyita perhatian khalayak umum dan dinilai menjadi kasus paling dramatis sepanjang tahun 2022. LSI melakukan survei kepada 1.200 responden yang tersebar ke dalam 34 provinsi pada bulan September 2022. Riset kualitatif survei ini menghasilkan angka kepercayaan masyarakat terhadap polri yang menukik tajam sebanyak 13% setelah adanya kasus ini. Semula 72,1% dan kini menjadi 59,1%. 

         Dengan adanya badai yang menerpa instansi polri, sebanyak 85% masyarakat berharap pemulihan dalam badan polri agar senantiasa masyarakat dapat kembali mempercayakan polri sebagai lembaga yang memiliki tujuan menangani kejahatan dan menciptakan keamanan sebagaimana tertuang dalam Pasal 16 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia.

Marwah Kepolisian RI telah ternodai tinta hitam dan masyarakat sudah tidak lagi percaya dengan institusi yang menjadi pelindung dan pengayomnya sendiri. Proses persidangan sudah berlangsung di Pengadilan Negri Jakarta Selatan, surat dakwaan sudah dilayangkan oleh jaksa penuntut umum dalam persidangan. Babak baru atas pengusutan mega skandal pembunuhan terhadap Brigadir J pekan ini sudah dimulai. Sekarang, masyarakat harus satu suara untuk mengawal persidangan guna mewujudkan cita besar reformasi Kepolisian RI secara total hingga ke akar-akarnya. ()