Serupa Tapi Bukan PSBB, Apa Dasar Hukum PPKM?

Oleh : Rania Fitri

Constituzen, tepat tanggal 3 Juli yang lalu resmi istilah baru muncul dalam penanganan pandemi di Indonesia : PPKM darurat. Dari awal pandemi kebijakan pandemi di Indonesia apabila kita runut, diawali dengan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), PSBB transisi, Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), PPKM Mikro, hingga saat ini yang sedang diberlakukan PPKM darurat. PSBB diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar. Sementara PPKM, PPKM Mikro, dan PPKM Darurat diatur dalam beberapa Instruksi Menteri Dalam Negeri dengan rincian berikut :

PPKM :

Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat untuk Pengendalian Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dicabut dengan Inmendagri Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perpanjangan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat.

PPKM Mikro :

Inmendagri Nomor 3 Tahun 2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Berbasis Mikro dan Mengoptimalkan Posko Penanganan Corona Virus Disease 2019 dicabut dengan Inmendagri Nomor 6 Tahun 2021 jo. Inmendagri Nomor 7 Tahun 2021, jo. Inmendagri Nomor 9 Tahun 2021, Inmendagri Nomor 10 Tahun 2021, Inmendagri 11 Tahun 2021, dan Inmendagri seterusnya dengan nomor berurutan hingga Inmendagri Nomor 14 Tahun 2021.

PPKM Darurat :

Inmendagri Nomor 15 Tahun 2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Darurat Jawa dan Bali.

Inmendagri tersebut terus mengalami perubahan mengingat sifatnya instruksi dan dalam setiap Instruksi Menteri Dalam Negeri mengatur perpanjangan PPKM. PPKM, PPKM Mikro, dan PPKM Darurat selanjutnya dalam tulisan ini akan lebih banyak menyebutnya sebagai PPKM saja.

Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2020 merupakan pengaturan lebih lanjut yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Berbeda dengan pengaturan PSBB, PPKM sendiri tidak diatur melalui peraturan perundang-undangan karena bentuknya berupa Instruksi Menteri Dalam Negeri yang merupakan aturan kebijakan. Aturan kebijakan tidak termasuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan jo. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan . Menurut Philipus M. Hadjon, peraturan kebijaksanaan berfungsi sebagai bagian dari operasional penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan sehingga tidak dapat mengubah ataupun menyimpang dari peraturan perundang-undangan.

Apa yang diatur dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri terkait serangkaian PPKM ini apabila berbicara mengenai ketentuan pembatasan kegiatan tertentu tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Itu pula yang menjadikan PSBB dan PPKM Nampak serupa. Namun menariknya Instruksi Mendagri Nomor 15 Tahun 2021 tentang Pemberlakuan PPKM Darurat selain menginstruksikan pemerintah daerah untuk membatasi kegiatan tertentu seperti penutupan tempat rekreasi, justru memuat pula ketentuan yang memuat aturan pidana yang seharusnya diatur dengan peraturan perundang-undangan. Hal ini dapat kita temukan dalam diktum kesepuluh Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2021 yang menyatakan bahwa setiap orang dapat dikenakan sanksi bagi yang melakukan pelanggaran pengendalian wabah penyakit menular berdasarkan UU tentang Wabah Penyakit Menular dan UU Kekarantinaan Kesehatan, Perda, dan ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang terkait. Ketentuan ini selain bertentangan dengan ketentuan mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan, juga bertentangan secara wewenang karena UU Kekarantinaan Kesehatan menitikberatkan kuasa pengaturan kekarantinaan Kesehatan pada Menteri Kesehatan.

Ketidakjelasan tampak dari dasar hukum pemberlakuan PPKM ini. Pertama, tidak jelas apakah serangkaian PPKM ini merupakan bagian dari PSBB atau bukan, mengingat dengan tidak dicabutnya ketentuan mengenai PSBB dengan peraturan pemerintah atau yang lebih tinggi menandakan PSBB masih berlaku. Kedua, tidak jelas pula apakah serangkaian PPKM ini merupakan kebijakan yang didasarkan pada UU Kekarantinaan Kesehatan atau bukan. Substansi Instruksi Menteri Dalam Negeri justru menunjukan pengaturan yang tidak konsisten terhadap pelaksanaan UU Kekarantinaan Kesehatan.

Kembali pada awal pandemi di tahun 2020, muncul perdebatan mengenai PSBB dan karantina wilayah yang pada pokoknya mempersoalkan mengapa diantara beberapa tindakan kekarantinaan wilayah yang diatur dalam UU Kekarantinaan Kesehatan, khususnya diantara karantina wilayah dan PSBB, PSBB yang dipilih. Padahal karantina wilayah atau lockdown dinilai lebih efektif dan menjamin kebutuhan masyarakat. Berdasarkan pasal 55 UU Kekarantinaan Kesehatan, selama karantina wilayah kebutuhan hidup dasar dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab pemerintah pusat dengan melibatkan pemerintah daerah dan pihak terkait. Persoalan mengenai pemberlakuan PSBB dan PPKM ini juga patut mengarah pada persoalan yang serupa. Bagaimana pemerintah memenuhi kebutuhan sehari-hari masyarakat ketika pembatasan dilakukan? Seberapa jauh pemerintah dapat memberikan jaminan akan hal tersebut? Apabila menyamakan PPKM dengan PSBB, maka jaminan akan kebutuhan masyarakat tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Poin-poin kebijakan pembatasan yang dikeluarkan pemerintah dalam kerangka PPKM Darurat ini dapat disambut positif mengingat kasus penyebaran Covid-19 yang terus bertambah setiap harinya. Pemberlakuan PPKM ini diharapkan dapat menekan penyebaran kasus Covid-19. Fenomena ketidakjelasan dasar hukum dan gonta-ganti istilah ini pada akhirnya hanya menunjukan ketidaktaatan pemerintah pada hukum sekaligus membuat masyarakat bingung. PPKM Darurat ini perlu ditaati guna menekan laju penyebaran virus. Tetap sehat dan di rumah saja ya, constituzen

  ()