oleh : Apriska Widiangela
Internship Advokat Konstitusi
Perkembangan era digital semakin melejit dan melekat di kehidupan manusia. Perkembangan teknologi dan informasi menciptakan wajah dunia baru dalam jaringan. Banyak manfaat yang dapat diambil dari perkembangan ini, mulai dari memudahkan interaksi dan mendapatkan informasi. Namun sayangnya masih terjadi berbagai ketimpangan dalam hal ini penulis menyoroti ketimpangan gender.
Ketidaksamaan penikmatan manfaat teknologi ini telah dibicarakan dalam berbagai forum salah satunya forum diskusi Ngaji Kebangsaan : “Informasi dan Teknologi yang Ramah Perempuan (Tantangan dan Peluang Digital Terkini pada 2 September 2021. Beberapa tokoh angkat bicara mengenai permasalahan ini, salah satunya Redaktur Jurnal Perempuan, Abby Gina Boang Manalu menyatakan bahwa terdapat ketimpangan gender digital yang membuat tidak ratanya penikmatan manfaat antara perempuan dan laki-laki sebagai dampak dari budaya patriarki.
Terutama perempuan pedesaan yang masih jauh dari teknologi menempatkan mereka di posisi yang lebih rentan menghadapi dampak dari ketimpangan tersebut. Adanya hambatan akses baik pendidikan dan informasi menyebabkan perempuan desa menghadapi banyak tantangan dalam memajukan kehidupannya. Penulis menyoroti beberapa wujud nyata dari bagaimana ketimpangan tersebut sejatinya melanggar hak-hak fundamental manusia. Dua di antaranya adalah sebagai berikut :
Perempuan UMKM dan literasi digital dalam perkembangan perekonomian
Kedudukan perempuan dalam hal ini di pedesaan sejatinya memegang peranan penting dalam perkembangan ekonomi salah satunya di sektor UMKM. Pada data Badan Pusat Statistik tahun 2021, bahwa perempuan mengelola sebesar 64,5% dari seluruh UMKM di Indonesia. Namun, hingga saat ini perempuan mengalami kesulitan dalam hal digital. Sehingga hal ini menghambat laju kembang perekonomian.
Ancaman Kekerasan Berbasis Gender Online
Tak hanya itu, ketimpangan juga terjadi dengan masifnya ancaman bagi perempuan terhadap Kekerasan Berbasis Gender Online atau yang kerap dikenal sebagai KBGO. KBGO ialah Kekerasan Berbasis Gender yang lahir dari teknologi informasi dan komunikasi. KBGO seringkali menyasar pada perempuan sebagai korban ketimpangan gender yang nyata. Kurangnya pengetahuan terkait digital menyebabkan perempuan mengalami kerentanan. Kedua permasalahan ini sebagai wujud nyata dari bahaya ketimpangan gender di bidang teknologi.
Namun hingga saat ini perlindungan yang masif dan komprehensif bagi perempuan di dunia digital masih belum optimal. Salah satunya peraturan terkait perlindungan korban Kekerasan Berbasis Gender Online belum secara holistik terjawab dalam peraturan perundang-undangan bahkan hingga Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual hadir. Modus dan macam KBGO terus berkembang dan begitu pula seharusnya perlindungan hukum yang ada mengikuti kebutuhan masyarakat. Begitupun dengan peraturan terkait UMKM, masih belum menggambarkan norma yang responsif gender dan berangkat dari kondisi ketimpangan pada perempuan pedesaan.
Kemudian, bagaimana sekiranya hukum dapat menjawab kesenjangan gender digital?
Dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, pemerintah selaku pemangku tanggung jawab pemenuhan HAM tak terkecuali juga hak digital. International Convention on Elimination of All Forms of Discrimination Against Women juga hadir di dalamnya mengatur tentang ketentuan untuk menjawab ketimpangan gender yang ada. Dalam ketentuan pasal 14 CEDAW, negara didorong untuk peka terhadap isu perempuan utamanya di daerah pedesaan serta membuat upaya kebijakan untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan pedesaan. Bagaimanapun perempuan pedesaan harus dijamin haknya dalam ikut serta menikmati pemanfaatan teknologi. Kemudian, apabila beranjak pada instrumen nasional dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pasal 28C menjamin hak atas pengembangan diri dari memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi untuk meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraannya.
Jaminan-jaminan demikian seharusnya dapat diwujudkan secara nyata dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berangkat dari teori responsif gender yang baik. Responsif Gender sendiri merupakan upaya dalam menghapus adanya diskriminasi struktural yaitu ketimpangan atau ketidakadilan gender tadi yang menghambat tercapainya keadilan dan kesetaraan gender. Responsif gender merupakan suatu instrumen untuk mengatasi adanya kesenjangan akses, partisipasi, kontrol dan manfaat antara perempuan dan laki-laki dalam pelaksanaan pembangunan. Teori Responsif Gender ini sejatinya dikukuhkan dalam Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender. Instruksi Presiden ini menekankan pada bagaimana suatu pemerintahan dalam membuat kebijakan yang berangkat dari kacamata gender untuk dapat memecahkan permasalahan yang ada.
Dengan demikian, berbagai permasalahan dan kesenjangan yang ada harus dapat direspon dengan baik oleh negara kaitannya dengan pemenuhan hak asasi manusia warga negaranya. Hal ini dijamin dalam instrumen baik internasional maupun nasional. Beberapa Peraturan perundang-undangan yang ada saat ini kiranya masih belum secara holistik dapat menjawab ketimpangan yang ada. Sehingga dibutuhkan pemahaman terkait responsif gender yang baik dalam menjawab persoalan ini. ()