Oleh: Clarissa Ayang Jelita
(Internship Content Creator @advokatkonstitusi)
Permohonan uji materi kepada Mahkamah Konstitusi mengenai Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, khususnya Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i diajukan oleh seorang warga bernama Herifuddin Daulay pada awal tahun 2023. Berdasarkan risalah sidang, permohonan berisi tentang menghapus pembatasan jabatan presiden dan wakil presiden hanya 2 periode dan meralat presidential threshold 20% yang teregistrasi sebagai perkara nomor 4/PUUXXI/2023. Pemohon mendalilkan bahwa terdapat pengusulan Bapak Susilo Bambang Yudhoyono untuk jadi Capres pada 2024. Namun, terhalang oleh Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU Pemilu. Pemohon merasa dirugikan karena tidak dapat menggunakan haknya untuk memilih presiden berkompetensi baik.
Pemohon juga menyoroti perihal syarat partai untuk dapat mengajukan Presiden dan Wakil Presiden adalah pada angka 20%. Timbul pertanyaan bagaimana alasan logis dibalik ketentuan 20%. Apakah berdasarkan kaidah ilmiah, matematis, atau hanya berdasarkan selera satu atau sekelompok orang? Sehingga, pemohon merasa perlu untuk meralat presidential threshold 20%. Dalam risalah sidang, ketua MK menyampaikan apresiasi terhadap perhatian pemohon perihal ketatanegaraan. Kemudian disampaikan juga permohonan tersebut akan dibahas dalam Rapat Permusyawaratan Hakim yang dihadiri 9 Hakim atau minimal 7 orang Hakim Konstitusi. Hasil rapat nanti akan menentukan apakah permohonan diputus tanpa Pleno ataupun akan dibawa ke Pleno.
Pada 2022 telah terdapat permohonan ke MK mengenai uji materi Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU Pemilu dengan registrasi perkara nomor 117/PUU-XX/2022. Permohonan berisi uji materi Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU Pemilu. Pengujian materi hampir sama dengan perkara nomor 4/PUUXXI/2023 hanya berbeda pada pengujian presidential threshold 20%. Pemohon pada perkara nomor 117 merasa dirugikan hak konstitusionalnya karena Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 7, dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Dasar argumentasi pemohon pada waktu itu berfokus pada bagaimana dasar pengaturan persyaratan belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama dalam Pasal 169 huruf n dan 227 huruf i UU Pemilu. Sedangkan, Pasal 7 UUD 1945 jelas tidak melarang Presiden secara individu (tunggal/tidak berpasangan) atau wakil Presiden secara individu (tunggal/tidak berpasangan) untuk ikut dalam pemilu. Bahkan, tidak ada satu pun pengaturan dalam konstitusi yang mengandung pembatasan selama 2 (dua) kali masa jabatan. Frasa “selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama” dalam Pasal 169 huruf n dan 227 huruf i UU Pemilu jelas berbeda makna dengan frasa “hanya untuk satu kali masa jabatan” dalam Pasal 7 UUD 1945.
Pemohon menganggap aturan Pasal 169 huruf n dan 227 huruf i UU Pemilu merupakan tafsiran dari pasal 7 UUD 1945. frasa “hanya untuk satu kali masa jabatan” dalam Pasal 7 UUD 1945 diartikan oleh pemohon sebagai “hanya 5 tahun” karena memang setiap jabatan presiden hanya 5 tahun. Namun, dalam putusannya MK menolak seluruh permohonan pemohon terkait Pasal 227 huruf i UU Pemilu dengan beberapa pertimbangan. Salah satu pertimbangan MK adalah Tap MPR Nomor XIII/MPR/1998 tentang Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden.
Pasal 7 UUD 1945 sebelum amandemen dinilai sebagai celah bagi rezim Orde Baru merekayasa begitu rupa sehingga Soeharto menjadi Presiden lebih dari 32 tahun. sehingga , diselenggarakannya sidang istimewa MPR pada tahun 1998. Kesepakatan pada waktu itu adalah pembatasan periodisasi masa jabatan Presiden dalam produk hukum bernama Ketetapan MPR. Anggota MPR sepakat untuk mengubah substansi Pasal 7 UUD 1945 tanpa menunggu perubahan UUD 1945 sesuai Pasal 37 UUD 1945 menjadi: “Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia memegang jabatan selama masa lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan”. Dengan kata lain, berdasarkan sejarah penafsiran terhadap pasal 7 uud 1945 dimaksudkan untuk membatasi periode kekuasaan presiden dan wakil presiden.
Wacana perpanjangan masa jabatan presiden menimbulkan pro dan kontra beberapa pakar hukum pun ikut berkomentar mengenai uji materi periode jabatan presiden dan wakil presiden. Zainal Arifin Mochtar, Pakar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada, menyampaikan kepada semua pihak untuk membicarakan isu penundaan pemilihan umum atau perpanjangan masa jabatan presiden dengan hati-hati. tidak hanya melanggar prinsip konstitusionalisme dan demokrasi sistem presidensial, wacana tersebut dapat membuka pintu ke praktik otoritarianisme. Zainal Arifin Mochtar memberi contoh negara yang memperpanjang masa jabatan atau menunda pemilu misalnya Guinea yang di ujungnya akhirnya Guinea itu mengalami kudeta militer.
Apakah MK akan memutuskan perkara nomor 4/PUUXXI/2023 sebagai permohonan nebis in idem karena norma pasal yang diujikan sama dengan perkara nomor 117/PUU-XX/2022. Apabila MK berpendapat permohonan tersebut tidak nebis in idem, akankah putusan dan pertimbangan MK berubah dari putusan nomor 117/PUU-XX/2022. ()