Mario Agritama
(Internship Advokat Konstitusi
Komisi Yudisial (KY) merupakan lembaga tinggi negara bersifat mandiri yang memiliki kewenangan untuk mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Ide dasar kelahiran KY dalam sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia adalah sebagai konsekuensi politik yang ditujukan guna membangun check and balances system dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Pelaksanaan pengawasan Hakim di Indonesia oleh KY merupakan suatu upaya guna mewujudkan pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang merdeka, efektif, bersih, serta berorientasi pada pencapaian visi dan misi organisasi peradilan (Anshori, 2014:26). Pengawasan ini ditujukan untuk meningkatkan integritas hakim dalam memutus suatu perkara guna memberikan keadilan kepada masyarakat. Mardjono Reksodiputro (2010:25) menerangkan bahwa wewenang yang diberikan kepada KY melalui amandemen UUD 1945 merupakan respon atas tuntutan masyarakat untuk memperbaiki sistem peradilan Indonesia dari berbagai masalah internal yang dihadapi.
Ekspektasi masyarakat terhadap keberadaan KY dalam penegakan hukum di Indonesia pun juga cukup tinggi. Hal ini terbukti dengan telah diterimanya 7.200 laporan pengaduan dari berbagai lapisan masyarakat di Indonesia. Dalam rentang waktu lebih kurang 5 tahun semenjak pelantikannya, KY berhasil memproses ribuan laporan pengaduan dengan rekomendasinya antara lain terdapat 50 hakim diberi sanksi, baik dengan pemecatan maupun hukuman administratif (Sutiyoso, 2011: 267).
Dalam perkembangannya, kewenangan KY dalam melaksanakan fungsi pengawasannya terhadap dua lembaga kehakiman (MA dan MK) mengalami dinamika perubahan. Sebelumnya, KY memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap seluruh hakim baik di Mahkamah Agung serta badan peradilan di bawahnya dan Mahkamah Konstitusi. Namun, pasca putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006, terjadi perubahan yang cukup signifikan terhadap fungsi pengawasan yang dimiliki oleh KY, dimana KY tidak dapat melakukan pengawasan eksternal kepada hakim MK.
Hal ini berawal dari adanya ketegangan antara MA dan KY, dimana MA berpandangan bahwa ruang lingkup pengawasan KY terhadap hakim seharusnya hanya terbatas pada badan peradilan di bawah lingkungan Mahkamah Agung saja. Oleh karenanya, MA berpandangan bahwa hakim agung dan hakim konstitusi tidak masuk dalam ruang lingkup tersebut, sehingga tidak seharusnya diawasi oleh KY (Nita, 2017:43).
Pada tahun 2006, 31 Hakim Agung yang dikuasakan kepada lima pengacara yaitu Prof. Dr. Indrianto Senoadji, S.H., Wimboyono Senoadji, S.H., M.H., Denny Kailimang, S.H., M.H., Dr. O.C. Kaligis, S.H., M.H., dan Juan Felix Tampubolon, S.H., M.H. melakukan judicial review ke MK untuk membatalkan pasal-pasal yang mengatur mengenai kewenangan KY untuk melakukan pengawasan terhadap hakim agung.
Mahkamah Konstitusi kemudian mengeluarkan Putusan MK No. 005/PUU-IV/2006 yang menjadi putusan yang sangat bersejarah bagi kewenangan KY. Berikut tiga hal pokok yang diputus oleh Mahkamah Konstitusi: Menyatakan bahwa pencakupan hakim agung dalam arti hakim di dalam Undang-Undang tentang Komisi Yudisial sudah benar dan tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Pencakupan hakim konstitusi dalam arti hakim yang dapat diawasi oleh Komisi Yudisial adalah tidak benar dan bertentangan dengan UUD 1945. Beberapa pasal yang terkait dengan materi dan cara pengawasan hampir seluruhnya dinyatakan batal oleh Mahkamah Konstitusi sehingga secara legal formil Komisi Yudisial tidak bisa melakukan kegiatan pengawasan terhadap hakim.
Pasca putusan a quo, praktis telah terjadi pelemahan fungsi pengawasan yang dapat dilakukan oleh KY terhadap MK, dimana KY sudah tidak berwenang untuk melakukan pengawasan eksternal terhadap MK dan berakibat pada hilangnya kekuatan mengikat aturan-aturan pengawasan KY serta hilangnya sebagian besar kewenangan KY untuk menjatuhkan sanksi. Oleh karenanya, persis Mahkamah Konstitusi menjadi sebuah lembaga yang sangat kuat karena tidak ada lembaga pengawas eksternal yang mengawasi perilaku hakim konstitusi.
Sebenarnya terdapat Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi sebagai sebuah lembaga pengawasan adhoc yang memiliki kewenangan untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan Kode Etik Hakim Konstitusi. Namun, keberadaan dari lembaga a quo dinilai belum mampu melaksanakan pengawasan terhadap perilaku hakim konstitusi dengan baik. Terbukti, dua kasus hakim konstitusi, Akil Mochtar dan Patrialis Akbar, telah memperlihatkan bahwa kekuasaan kehakiman tanpa adanya suatu pengawasan eksternal melalui sebuah lembaga yang mandiri dan independen sangat rawan untuk terjadinya penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang (Nita, 2017:50).
Adanya pengecualian pengawasan eksternal yang dilakukan KY terhadap hakim konstitusi telah memperlihatkan bahwa terdapat perlakuan pengawasan eksternal yang berbeda, dimana MA dapat diawasi oleh KY sedangkan MK tidak demikian. Hal ini tentu berpotensi menimbulkan ketidakadilan antara dua pelaku kekuasaan kehakiman tersebut. Padahal, semangat pembentukan KY adalah guna memastikan terselenggaranya proses kekuasaan kehakiman yang merdeka dan imparsial, sehingga gagasan pembentukan KY tentu tidak dapat dilepaskan dari dua pelaku kekuasaan kehakiman, yaitu MA dan MK.
Pengawasan eksternal MK melalui KY harus dipertimbangkan, mengingat model pengawasan internal yang telah dibentuk seperti Dewan Etik dan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi nyatanya belum mampu melaksanakan pengawasan terhadap hakim-hakim konstitusi secara optimal.
Wacana pengawasan eksternal yang dilakukan KY nanti tentunya tidak akan memengaruhi kelembagaan MK karena yang diawasi adalah para hakimnya terkait perilaku bukan lembaga MK. Adapun bentuk penguatan pengawasan eksternal KY terhadap perilaku hakim konstitusi ini dapat diakomodir dalam Revisi UU MK dengan memasukkan KY sebagai Pengawas eksternal dari MK.
Dengan demikian, guna mewujudkan peradilan yang bersih dan berintegritas, kewenangan KY sebaiknya diperluas untuk mengatasi kelemahan di bidang kekuasaan kehakiman. Pengawasan etik oleh KY ini juga merupakan suatu bentuk pencegahan tindak pidana korupsi, dimana seringkali diawali dengan adanya suatu pelanggaran kode etik oleh hakim. Sehingga, pengawasan kode etik hakim oleh KY tidak hanya berkaitan dengan aspek pengawasan administratif namun juga memiliki dimensi pencegahan di dalamnya.
DAFTAR PUSTAKA
- Anshori, I. (2014). Konsep Pengawasan Kehakiman: Upaya Memperkuat Kewenangan Konstitusional KY dalam Pengawasan Peradilan. Malang: Setara Press.
- Nita, A. (2017). Penguatan Kewenangan Komisi Yudisial dalam Rangka Mewujudkan Peradilan yang Independen. Prosiding: Sinergitas Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial dalam Mewujudkan Excellent Court.
- Reksodiputro, M. (2010). Komisi Yudisial: Wewenang dalam Rangka Menegakan Kehormatan dan Keluruhan Martabat serta menjaga Perilaku Hakim di Indonesia. In Bunga Rampai Setahun Komisi Yudisial. Komisi Yudisial RI.
- Sutiyoso, B. (2011). Penguatan Peran Komisi Yudisial dalam Penegakan Hukum di Indonesia. Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, 18(2), 266–284.
()