Oleh : Wahlulia Amri
Belakangan ini, ribuan kepala desa (kades) dari berbagai daerah mengepung gedung DPR. Mereka meminta untuk memperpanjang jangka waktu dari enam menjadi sembilan tahun. Salah satu alasannya pembangunan di desa seringkali dihalangi oleh lawan politik. Dengan adanya usulan pergantian tugas kepala desa, mereka berharap bisa mengurangi persaingan politik di tingkat lokal. Padahal, 6 tahun masa jabatan kepala desa sebagaimana diatur dalam UU No. 6 Tahun 2014 Pasal 39 ayat (2) undang-undang tersebut mengatur bahwa kepala desa dapat menjabat paling banyak tiga periode berturut-turut atau tidak berturut-turut. Peraturan ini memperbolehkan satu orang menjadi kepala desa selama 18 tahun. Jadi, jika masa jabatan kepala desa diperpanjang 9 tahun, sementara masa jabatannya masih bisa tiga kali lipat, satu orang bisa menduduki jabatan kepala desa hingga 27 tahun.
Pengaturan Kebijakan
Saat penyusunan UU pada Juni 2014, ketentuan tentang masa jabatan kepala desa menarik perhatian anggota Dewan Rakyat. Perdebatan antar fraksi menunjukkan perbedaan pendapat yang cukup tajam tentang masa jabatan kepala desa. Beberapa pasal menyebutkan bahwa masa jabatan kepala desa adalah 10 tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan. Artinya, kepala desa bisa menjabat selama 20 tahun. Usulan masa jabatan kepala desa di atas 5 tahun menunjukkan bahwa pemerintahan desa berbeda dengan pemerintah pusat dan daerah.
Fraksi lain mengusulkan masa jabatan lima tahun untuk kepala desa. Mereka cenderung menyamakan kepala desa dengan pegawai negeri lainnya. Sedangkan presiden dan kepala daerah memiliki masa jabatan lima tahun dan hanya dapat dipilih kembali satu kali, demikian juga dengan masa jabatan kepala desa. Kesepakatan yang dicapai dalam susunan kata UU 6/2014 memang tidak biasa. Dilihat dari prosesnya, tidak ada pihak yang menyarankan agar kepala desa memiliki masa jabatan 6 tahun dan kemungkinan menjabat 3 periode. Menurut sebagian kalangan, tugas kepala desa harus dibatasi dua periode. Keterbatasan ini penting untuk meningkatkan kualitas demokrasi di tingkat akar rumput. Dengan demikian, ada lompatan misterius dalam mekanisme penyusunan undang-undang dan peraturan.
Rumusan Pasal 39 ayat (2) UU 6/2014 mengandung mata rantai yang hilang. Sayangnya, usulan jabatan kepala desa dengan berbagai pertimbangan ditolak begitu saja. Pembatasan masa jabatan kepala desa bisa menjadi pemanis bagi elite lokal. Ketentuan tugas kepala desa dalam UU 6/2014 dibuat dengan tujuan sederhana untuk meringankan berbagai tuntutan mereka. Namun, konfigurasi politik juga mempengaruhi definisi standar dalam peraturan perundang-undangan.
Ide Konstitusionalisme
Gagasan memperluas kewenangan kepala desa merupakan langkah mundur. Perlu diketahui bahwa ruang lingkup kewenangan kepala desa telah dikurangi antara lain dengan pembatasan masa jabatannya melalui peraturan perundang-undangan. Khususnya UU 22/1999 dan UU 32/2004 tentang pemerintahan kawasan khusus membiarkan seseorang menjadi kepala desa selama sembilan tahun bertentangan dengan cita-cita hukum dan konstitusi. Ini melampaui batas kekuasaan yang ditetapkan oleh undang-undang dan peraturan. Lebih lanjut, konstitusi menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat) dan bukan negara yang kuat (machtsstaat). Pengaturan dan pembatasan kekuasaan merupakan ciri konstitusionalisme, sekaligus tugas utama konstitusi.
Oleh karena itu, kemungkinan kesewenang-wenangan dapat dihindari. Otoritas moral tidak boleh diserahkan kepada niat atau sifat pemegangnya. Sebaik apapun seseorang, kekuasaan selalu diatur dan dibatasi agar kebaikannya tidak termakan oleh hukum besi kekuasaan (Asshiddiqie: 2010).
Reaktualisasi Kepemimpinan
Gagasan memperpanjang masa jabatan kepala desa menjadi sembilan tahun tentu melanggar prinsip dan nilai demokrasi. Kekuasaan yang besar seringkali mendorong para pemimpin lokal ke dalam kubangan oligarki, nepotisme, dan otokrasi pemerintahan desa. Jumlah kekuasaan yang kemungkinan mengundang korupsi yang dikutip dari pandangan Lord Acton seorang Profesor Sejarah Modern di Universitas Cambridge, Inggris: “Kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan mutlak korup sepenuhnya.”
Jika seseorang terlalu lama menjadi kepala desa, dia bisa “melupakan dirinya sendiri” dan dengan mudah menyalahgunakan kekuasaannya. Kondisi seperti itu banyak ditemukan di berbagai tempat. Salah satunya di Desa Sontang, Bonai Darussalam, Kabupaten Rokan Hulu. Pada tahun 1990, seseorang menduduki kursi Kades selama tiga periode. Dalam berbagai kesempatan ia telah menunjukkan otokrasi dan dominasinya sebagai penguasa. Selain fungsi pelayanan publik pemerintah desa yang sangat lemah, gaya kepemimpinan kepala desa juga cenderung sentralistik, otoriter dan korup. Pada dasarnya, krisis kepercayaan muncul karena kejenuhan masyarakat. Di sinilah kita melihat bahwa lamanya seseorang menjabat juga menentukan kualitas kepemimpinannya.
Berdasarkan kenyataan di atas, optimalisasi pemerintahan desa dapat dicapai dengan memperketat masa jabatan kepala desa dan pergantian kepala desa secara berkala. Selain untuk menghindari lahirnya pemimpin tunggal yang mendominasi kehidupan masyarakat, langkah ini juga dilakukan untuk melahirkan kembali kepemimpinan lokal. Namun, bertujuan untuk menarik siapa saja yang memiliki keterampilan untuk mengembangkan dan memajukan desa. Suksesi pemimpin daerah harus dapat diakses oleh semua dan tidak dikendalikan oleh kelompok tertentu. Dalam konteks itu, munculnya persaingan di sektor publik tidak dapat dihindari. ()