Oleh: Mario Agritama
Diskursus mengenai sifat putusan final dan mengikat dari Mahkamah Konstitusi sedari awal menjadi pembahasan yang menarik untuk diperbincangkan. Setelah sebelumnya penulis mengulas makna sifat putusan “Final” dari Mahkamah Konstitusi dalam artikel berjudul MELACAK MAKNA SIFAT PUTUSAN “FINAL” OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI, pada tulisan kali ini penulis akan mengulas bagaimana kekuatan “mengikat” yang terletak pada bagian pertimbangan hukum putusan Mahkamah Konstitusi.
Perdebatan akan hal ini pun sangat beragam, terdapat pandangan yang menyatakan bahwa semestinya pertimbangan hukum suatu putusan Mahkamah Konstitusi tidak lah mengikat. Sebaliknya, terdapat juga pandangan yang menyatakan bahwa pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dengan amar putusan, sehingga memiliki kekuatan mengikat yang sama.
Tidak Berkekuatan Mengikat
Pandangan ini berpendapat bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi pada dasarnya dipahami memiliki kekuatan mengikat sebagai hukum dan wajib untuk dilaksanakan hanya pada bagian amar putusannya saja, sementara bagian pertimbangan hukum tidaklah mengikat. Ramlan Surbakti dalam (Laksono, 2018: 202) mengemukakan bahwa pertimbangan hukum putusan Mahkamah Konstitusi tidak semestinya mengikat pembentuk UU.
Lebih lanjut, menurutnya rumusan ketentuan yang diajukan Mahkamah Konstitusi sebagai pengganti norma yang dibatalkan, baik yang dikemukakan dalam amar putusan maupun pertimbangan hukum, lebih berupa rekomendasi kepada pembentuk UU. Oleh karenanya, DPR dan Presiden tidak terikat pada pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi.
Di Mahkamah Konstitusi Ceko, dalam beberapa kasus, kerap kali memberikan pedoman berupa analisis rinci mengenai seperti apa UU yang cocok dengan review konstitusional Mahkamah Konstitusi Ceko setelah sebelumnya UU yang asli dinyatakan inkonstitusional diberikan dalam putusan. Meskipun demikian, pedoman tersebut tidak mengikat, bahkan dalam praktik lembaga legislatif Ceko lebih sering tidak mematuhi penalaran pengadilan tersebut.Pada pokoknya pandangan yang menyatakan bahwa kekuatan mengikat dalam putusan Mahkamah Konstitusi hanya terletak pada amar putusan saja, sedangkan bagian pertimbangan hukum tidak lah mengikat.
Berkekuatan Mengikat
Menurut pandangan ini bagian pertimbangan hukum putusan Mahkamah Konstitusi yang memiliki kekuatan mengikat adalah bagian yang disebut dengan ratio decidendi. Bagian ini merupakan bagian yang menjadi dasar alasan dalam diambilnya suatu putusan yang dirumuskan pada amar putusan. Mengapa demikian, karena suatu amar putusan harus lah memperoleh pembenaran atau justifikasi melalui pertimbangan hukum hakim tentang proses penafsirannya atas fakta dan hukum, berdasarkan bukti yang diajukan dan diperdebatkan para pihak (Siahaan, 2010).
I Dewa Gede Palguna dalam (Laksono, 2018: 208) menegaskan bahwa apabila dipahami suatu putusan hanya pada amar putusan saja yang mengikat, sementara pertimbangan hukum tidak, maka putusan a quo akan kehilangan konteksnya. Misalnya, putusan Mahkamah Konstitusi yang pertimbangan hukumnya memuat perihal konstitusional bersyarat suatu norma UU. Kendatipun amar putusannya menyatakan ditolak, namun pertimbangan hukum yang berisi penafsiran konstitusi, maka tafsir tersebut pula yang merupakan penafsiran resmi Mahkamah Konstitusi yang mengikat. Oleh karena pertimbangan mengikat, maka pertimbangan hukum termasuk di dalamnya mandat konstitusional, juga mengikat dan wajib dilaksanakan.
Pada Mahkamah Konstitusi Ukraina, pertimbangan hukum putusan Mahkamah Konstitusi yang ditentukan mempunyai kekuatan mengikat dijumpai dalam ketentuan Pasal 124 ayat (3) UU Mahkamah Konstitusi Ukraina. Pada pokoknya menyatakan seluruh putusan pengadilan tanpa terkecuali, termasuk bentuk-bentuk khusus dari putusan tersebut, wajib untuk dilaksanakan pada seluruh wilayah hukum ukraina. Berdasarkan hal tersebut, maka putusan pengadilan yang dituangkan dalam bentuk pendapat Mahkamah Konstitusi Ukraina wajib dilaksanakan.
Mahkamah Konstitusi RI
Secara yuridis kekuatan mengikat pertimbangan hukum putusan Mahkamah Konstitusi RI dapat ditemukan di dalam ketentuan Pasal 45 hingga Pasal 49 UU Mahkamah Konstitusi. Dimana pada Pasal 47 UU a quo menyatakan mengenai kapan putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap, yaitu sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum. Lebih lanjut dalam Pasal 48 UU a quo menerangkan bahwa setiap putusan Mahkamah Konstitusi harus memuat:
- Kepala Putusan berbunyi: Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan yang maha esa;
- Identitas Pihak
- Ringkasan Permohonan
- Pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam persidangan;
- Pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan
- Amar putusan
- Hari, tanggal putusan, nama hakim konstitusi, dan panitera.
Berdasarkan ketentuan diatas dapat dipahami bahwa putusan Mahkamah Konstitusi RI mencakup pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan. Maka, dapat disimpulkan bahwa secara yuridis pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan memiliki kekuatan mengikat, bersama-sama dengan amar putusan serta hal-hal lain yang termuat dalam Pasal 48 ayat (2) UU Mahkamah Konstitusi.
Pertimbangan hukum pada dasarnya merupakan perpaduan dari tiga hal, yaitu pendayagunaan pengetahuan hukum, otoritas, serta kemerdekaan diskresi Hakim Konstitusi. Memisahkan kekuatan mengikat antara Amar Putusan dan Pertimbangan Hukum Amar Putusan bukan merupakan pilihan yang tepat. Secara fundamental pertimbangan hukum memiliki peran strategis guna mengetahui penalaran hakim dalam menafsirkan konstitusionalitas suatu norma.
Apabila amar putusan dilepaskan dengan pertimbangan hukumnya, maka tentu tidak dapat ditemukan ratio legis dari suatu putusan.Selain itu perlu untuk dipahami juga secara seksama bagaimana hakikat kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan norma hukum yang dibentuk melalui pertimbangan-pertimbangan hukumnya, yaitu untuk mendorong produk peraturan perundang-undangan yang patuh dan taat terhadap konstitusi. ()