Tindak Pidana Pencucian Uang: Belajar dari Kasus Rafael Alun Si Pejabat Pajak

Kasus Rafael Alun

Pada tanggal 30 Maret 2023, Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) menetapkan Rafael Alun Trisambodo (RAT), mantan pejabat Direktorat Jenderal Pajak Kantor Wilayah Jakarta Selatan, sebagai tersangka kasus gratifikasi dari tahun 2011–2023. Sebelumnya, KPK bersama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) telah melakukan pemanggilan terhadap RAT untuk menjelaskan mengenai sumber dari harta kekayaannya. Mulai dari penemuan safe deposit box dari bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sejumlah Rp 37 miliar dalam bentuk Dolar Amerika Serikat, pemblokiran 40 rekening bank yang terkait dengan RAT dan keluarganya yang memiliki nilai transaksi hingga Rp 500 miliar selama periode 2019–2023, sampai dengan pengaliran dana ke perusahannya, yakni PT Artha Mega Ekadhana, di mana semua hal tersebut berkaitan dengan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Menurut penemuan KPK, RAT diduga melakukan TPPU dengan dengan menempatkan, mengalihkan, membelanjakan sekaligus menyembunyikan hingga menyamarkan asal usul harta miliknya yang diduga bersumber dari korupsi, yakni gratifikasi yang ia lakukan hampir 12 tahun lamanya. Berdasarkan cerita tersebut, bagaimanakah ketentuan hukum Indonesia terhadap TPPU?

 

Pengertian tindak pidana pencucian uang

Pengertian dari TPPU tidak dijelaskan secara konkrit dalam undang-undang. Menurut S. Pohan, TPPU adalah kegiatan–kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau organisasi kejahatan terhadap uang yang berasal dari tindak kejahatan dengan maksud menyembunyikan asal usul uang tersebut dari pemerintah atau otoritas yang berwenang melakukan penindakan terhadap tindak kejahatan dengan cara memasukkan uang tersebut kemudian dikeluarkan dari sistem keuangan itu dengan maksud untuk memberi gambaran bahwa uang tersebut berasal dari sumber yang sah. 

 

Adapun pengertian TPPU menurut undang-undang sendiri yang dirumuskan secara holistik dapat dilihat dalam UU TPPU yang telah dicabut, yakni Pasal 1 Ayat (1) UU Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang berbunyi “Pencucian Uang adalah perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan,membelanjakan,menghibahkan,menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan sehingga seolah-olah menjadi Harta Kekayaan yang sah. Namun, dikarenakan semakin kompleksnya bentuk tindak pidana ini, maka definisi tersebut diperluas sedemikian rupa dalam UU No. 8 Tahun 2010 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sehingga mencakup seluruh perbuatan yang diatur dalam undang-undang tersebut. 

 

Ruang Lingkup TPPU

 

Selanjutnya, ruang lingkup harta yang berasal dari TPPU disebutkan secara gamblang dalam Pasal 2 Ayat (1) dan (2) UU TPPU, di mana hal ini mencakup harta yang berasal dari lebih dari 26 jenis tindak pidana yang di antaranya adalah korupsi, narkotika, penyuapan, psikotropika, penyelundupan tenaga kerja dan migrain, perbankan, pasar modal, perasuransian, kepabeanan, cukai, perdagangan orang dan senjata gelap, terorisme, penculikan, pencurian, penggelapan, penipuan, pemalsuan uang, perjudian, prostitusi, perpajakan, kehutanan, lingkungan hidup, kelautan dan perikanan, serta tindak pidana lainnya yang memiliki ancaman pidana penjara 4 tahun atau lebih.

 

Gambaran Kasus TPPU di Indonesia

Untuk mengukur gambaran jumlah TPPU yang ada di Indonesia, maka digunakan ukuran berdasarkan jumlah Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM) yang diperoleh dari Penyedia Jasa Keuangan dan Penyedia Barang/Jasa lainnya. Singkatnya, Transaksi Keuangan Mencurigakan (TKM) mencakup: 

  1. Transaksi keuangan yang tidak sesuai dengan pola transaksi dari pengguna jasa;
  2. Transaksi keuangan oleh pengguna jasa yang diduga dilakukan untuk menghindari pelaporan transaksi;
  3. Transaksi keuangan yang dilakukan dengan menggunakan harta kekayaan yang diduga berasal dari tindak pidana; dan
  4. Transaksi keuangan yang diminta oleh PPATK untuk dilaporkan karena melibatkan harta kekayaan yang diduga berasal dari tindak pidana.

Maka dari itu, dapat digunakan LTKM untuk memberikan gambaran mengenai dugaan kasus TPPU di Indonesia. Menurut data yang diperoleh dari Buletin Statistik Anti Pencucian Uang & Pencegahan Pendanaan Terorisme (APUPPT), sepanjang tahun 2022, PPATK telah menerima 27.816.771 laporan, di mana 90.742 laporan adalah LTKM yang laporannya berasal dari Penyedia Jasa Keuangan Bank dan Non Bank, Penyedia Barang/Jasa, serta Profesi. Adapun, laporan tersebut diperoleh melalui aplikasi yang dikembangkan oleh PPATK, yakni goAML untuk mengoptimalisasi pelaksanaan kewajiban pelaporan dalam upaya pencegahan/pemberantasan TPPU dan pendanaan terorisme.

 

Bagaimana para pelaku melakukannya

 

Dilansir dari situs Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dalam praktiknya, proses pencucian uang terdiri dari 3 tahap, yakni placement, layering, dan integration

  1. Placement. Tahap pertama dari pencucian uang adalah placement, di mana uang kotor yang diperoleh dimasukkan ke dalam sistem finansial yang sah. Untuk menghindari terdeteksinya uang dengan nominal tidak wajar tersebut, uang tersebut dipecah terlebih dahulu nominalnya. Kemudian, hal ini bisa dilakukan dengan menempatkan uang tersebut ke dalam instrumen penyimpanan uang yang berbeda-beda, menyelundupkan uang atau harta hasil tindak pidana ke negara lain, melakukan penempatan secara elektronik, dan menggunakan beberapa pihak lain dalam melakukan transaksi.
  2. Layering. Selanjutnya, uang kotor tersebut dijauhkan. Salah satu cara yang sering digunakan adalah dengan membeli aset, berinvestasi, atau menyebarkan dana melalui pembukaan rekening bank di beberapa negara, transfer melalui kegiatan perbankan lepas pantai (offshore banking), serta transaksi menggunakan perusahaan boneka (shell corporation).
  3. Integration. Terakhir adalah integration. Integration adalah upaya menggabungkan atau menggunakan harta kekayaan yang telah tampak sah, baik untuk dinikmati langsung, diinvestasikan ke dalam berbagai jenis produk keuangan dan bentuk material lainnya, dipergunakan untuk membiayai kegiatan bisnis yang sah, ataupun untuk membiayai kembali kegiatan tindak pidana.

Adapun terdapat beberapa cara yang digunakan untuk mendukung pelaksanaan proses tersebut, yakni:

  1. Smurfing, yakni taktik yang digunakan untuk mengelak dari pelaporan dengan membagi-bagi transaksi yang dilakukan oleh sejumlah individu.
  2. Structuring, yaitu usaha untuk menghindari pelaporan dengan membagi-bagi transaksi agar jumlahnya menjadi lebih kecil.
  3. Pembelian aset atau barang mewah, yaitu praktik untuk menyembunyikan kepemilikan aset atau barang mewah, termasuk transfer kepemilikan tanpa terdeteksi oleh sistem keuangan.
  4. Penggunaan pihak ketiga, yakni strategi untuk melakukan transaksi dengan menggunakan identitas pihak ketiga dengan maksud untuk menghindari pengungkapan identitas pemilik dana yang sebenarnya, yang merupakan hasil dari kegiatan kriminal.
  5. Mingling, yaitu praktik mencampurkan dana yang berasal dari kegiatan kriminal dengan dana yang berasal dari kegiatan usaha yang sah, dengan maksud untuk menyamaratakan sumber asal dananya.
  6. Penggunaan identitas palsu, yaitu tindakan melakukan transaksi dengan menggunakan identitas yang palsu, bertujuan untuk menyulitkan pelacakan identitas dan mendeteksi keberadaan pelaku pencucian uang.

Adapun berdasarkan kasus RAT, dapat dilihat bahwa mayoritas teknik pencucian uang yang RAT lakukan adalah dengan membeli berbagai macam aset, seperti dengan membeli puluhan kamar indekos, serta dilakukan dengan teknik mingling yang dilakukan menggunakan perusahaannya, yakni PT Artha Mega Ekadhana.

 

PENUTUP

OJK mengakui bahwa TPPU merupakan tindak pidana yang sangat sulit pembuktiannya. Hal ini disebabkan proses pencucian uang tersebut dilakukan dengan saling menggabungkan beberapa tahapan tersebut, kemudian melakukan tahapan-tahapan pencucian uang berulang-ulang kali sehingga terjadi proses pencucian uang yang rumit dan melibatkan banyak pihak dan lembaga penyedia barang dan jasa.

 

Menurut Constituzen, bagaimanakah cara untuk menanggulangi tindak pidana seperti ini? ()