WEBINAR ADVOKAT KONSTITUSI: KENA TIPU BELANJA ONLINE, BEGINI UPAYA PREVENTIF NYA

Dewasa ini, kegiatan berbelanja secara konvensional sudah sedikit demi sedikit ditinggalkan. Hal ini disebabkan karena adanya pengaruh teknologi yang sangat masif menawarkan kemudahan berbelanja bagi konsumen ataupun penjual melalui daring dengan mengandalkan platform pihak ketiga atau lazim disebut dengan e-commerce. Namun, penggunaan e-commerce ini juga menimbulkan resiko, yakni konsumen tidak dapat melihat produk secara langsung sehingga sering kali dijumpai barang yang dibelinya tidak sesuai dengan harapan. Selain itu, e-commerce juga dapat disalahgunakan oleh oknum penjual untuk menipu dengan mengirimkan barang tiruan atau biasa dikenal dengan sebutan barang KW. 

Menanggapi isu tersebut, @advokatkonstitusi mengadakan webinar yang bertajuk “Upaya Perlindungan Hukum Bagi Konsumen E-Commerce di Indonesia”. Webinar ini dilaksanakan pada Jumat (25/8/2023) melalui platform room zoom meeting yang dihadiri oleh 278 partisipan dengan dipandu oleh Tri Ayu Suciana selaku Master of Ceremony dan Yoga Ray Pangestu selaku moderator. Webinar ini menghadirkan narasumber yang berkompeten dalam isu ini, yakni Dr. H. M. Mufti Mubarok, S.H., S.Sos., M.Si yang saat ini aktif sebagai Wakil Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional Republik Indonesia. Kemudian, Dr. Farid Wajdi, SH, M.Hum sebagai Pendiri Lembaga Advokasi Perlindungan Konsumen dan saat ini masih aktif sebagai Dosen Fakultas Hukum di Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara. Terakhir, Virzah Syalvira, S.Sos. sebagai Public Policy Analyst Indonesian E-Commerce Association.

Dalam pemaparannya, M. Mufti Mubarok menampilkan data penerimaan pengaduan konsumen terkait e-commerce tahun 2022 dan 2023. Tercatat pengaduan yang paling banyak dilaporkan pada tahun 2022 adalah tentang wanprestasi pengiriman barang, yakni 47 pengaduan atau setara dengan 24% pengaduan. Kemudian, per tanggal 18 Agustus 2023 tercatat terdapat 14 pengaduan atau setara dengan 12% pengaduan dengan masalah yang sama, yaitu wanprestasi. Hal ini menjadi penting bagi para konsumen agar selalu berhati-hati dalam berbelanja di market place terkhusus mengenai testimoni pelanggan yang dapat dirancang dengan tujuan menipu konsumen.

Mufti Mubarok berharap seluruh lapisan Masyarakat Indonesia dapat ikut aktif dalam mendampingi dan kritis terhadap isu ini guna saling melindungi sesama konsumen. “Semua perjanjian harus kita baca. Jangan sampai lengah. Kalau kita beli baju di supermarket saja ada SOP terkait pengembalian barang yang tidak sesuai. Maka, kami pun sedang mengusahakan e-commerce ini dapat melakukan hal yang sama” tambahnya saat mengakhiri sesi pemaparan materi.

Berbeda dengan M. Mufti Mubarok, Farid Wajdi melihat dari kaca mata akademik menyampaikan bahwa ada 3 (tiga) catatan yang harus diperhatikan. Pertama, bisnis online masih dalam fase transisi jika dilihat dari perspektif hukum, kultur, dan perilaku. Apalagi UUPK yang sekarang berlaku belum dirancang untuk bisnis online sehingga sangat diwajarkan apabila UUPK ini tidak mengakomodir perlindungan konsumen e-commerce seperti pembuktian dan mekanisme penyelesaian sengketa. Kedua, Kekurangan dari UUPK disempurnakan dengan UU ITE untuk melindungi pelaku usaha dan konsumen. Namun, secara faktual, UU ITE ini di belokan untuk isu pencemaran nama baik. Ketiga, adanya UU PDP untuk melindungi data pribadi belum bisa dibuktikan karena UU ini termasuk peraturan baru dan belum masif disosialisasikan. 

Farid Wajdi pun menyampaikan ”Saya berharap UUPK, UU ITE, dan UU PDP dapat saling menutup kelemahan sehingga kemudian sinergitas penegakan hukum dalam rangka perdagangan elektronik dapat diwujudkan dengan baik. Dalam bisnis pun kita menjunjung tinggi asas kepercayaan. Konsumen dan pelaku usaha dengan fasilitas dari pemerintah kiranya dapat melakukan pendekatan literasi dan edukasi”.

Dilihat dari perspektif sebagai asosiasi e-commerce, Virzah Syalvira menjelaskan bahwa guna memastikan keamanan konsumen, IdEA melakukan sosialisasi dan pembinaan terhadap anggotanya. Para anggota juga dapat melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap mitra/merchant/pengguna e-commerce. Hal ini termasuk dalam pemberian sanksi kepada pengguna yang berniat jahat atau terbukti melakukan pelanggaran ketentuan yang berlaku. Selain itu, e-commerce juga dibantu dengan pemerintah, yakni Kementerian Kominfo, Badan POM, Kementerian Kumham, Kementerian Perdagangan, Kementerian Kesehatan, dan BSSN guna memberikan perlindungan, kenyamanan, dan keamanan.

“Kami pun melihat bahwa sosialisasi dan edukasi serta literasi digital dari konsumen merupakan hal yang penting pada era yang serba digital ini. Sangat penting bagi konsumen untuk bisa pintar-pintar memanfaatkan teknologi digital yang sudah ada dan sudah disediakan untuk mempergunakannya dengan aman dan nyaman” ucap Virzah Syalvira dalam closing statement nya. ()