Cawe-Cawe Presiden Menjelang Pilpres 2024

Oleh : Wibisena Caesario

Pada tanggal 5 Mei 2023, Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, mengundang enam ketua umum partai politik ke Istana Negara. Presiden Joko Widodo mengakui bahwa beliau “cawe-cawe” atau diartikan melibatkan diri dengan maksud untuk kepentingan negara. Namun, terdapat kekhawatiran undangan tersebut mengarah kepada upaya keterlibatan politik oleh Presiden dan memengaruhi netralitas Presiden dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Ada pula anggapan bahwa Presiden terlibat dalam penentuan koalisi partai politik. Padahal, Pilpres merupakan salah satu momentum penting dalam negara demokrasi sehingga, netralitas Presiden merupakan unsur krusial agar Pilpres berlangsung secara demokratis. Terlepas dari pendapat masyarakat, terdapat setidaknya dua pertanyaan mendasar terkait keterlibatan politik dari Presiden yang saat ini menjabat terhadap Parpol calon peserta Pilpres 2024. Pertama, sejauh apa ruang keterlibatan politik Presiden dalam Pilpres jika berdasarkan perspektif hukum tata negara? Kedua, bagaimana potensi dampak yang timbul akibat keterlibatan tersebut terhadap demokrasi di Indonesia?

Jangkauan Keterlibatan Politik Presiden dalam Pilpres Berdasarkan Perspektif Hukum Tata Negara

Menurut UU Pemilu, Presiden dan Wakil Presiden diperbolehkan untuk melaksanakan kampanye bersama partai politik. Hal ini dituangkan dalam ketentuan Pasal 299 UU Pemilu. Sementara itu, batasan dari upaya kampanye tersebut adalah larangan untuk menggunakan fasilitas negara yang meliputi kendaraan, gedung, rumah dinas, dan fasilitas lain yang dibiayai oleh APBN atau APBD. Ketentuan terkait batasan tersebut tercantum dalam ketentuan Pasal 304 UU Pemilu. Artinya, selama tidak melanggar batasan tersebut Presiden dan Wakil Presiden dapat berkampanye bersama partai politik peserta Pilpres. Hal ini juga menunjukkan bahwa Presiden dan Wakil Presiden secara normatif diperbolehkan untuk menyatakan dukungannya terhadap salah satu calon Pilpres 2024. 

Disamping memberikan dukungan, keterlibatan Presiden dalam mengatur koalisi partai tidak diatur secara jelas, baik dalam UU Pemilu maupun UU Partai Politik. Apabila tindakan tersebut dilaksanakan, tentunya akan berdampak besar bagi demokrasi di Indonesia. Hal tersebut mengingat besarnya peran partai politik dalam demokrasi, sejalan dengan pendapat Schattschneider yang menyatakan, “Political parties created democracy”. Maka dari itu, dengan melihat cakupan tersebut, perlu dilihat pula bagaimana potensi dampak yang diberikan akibat keterlibatan Presiden Joko Widodo dalam Pilpres 2024.

Potensi Dampak yang Timbul Terhadap Demokrasi di Indonesia

Terlepas dari peraturan perundang-undangan yang berlaku, keterlibatan politik Presiden yang terlalu besar dapat berdampak buruk bagi demokrasi. Kondisi yang ada cenderung mengarah kepada managed democracy (demokrasi yang dikelola). Menurut, Sheldon S Wolin, managed democracy adalah situasi dimana proses pemilihan dipenuhi dengan unsur-unsur rekayasa untuk mencapai hasil yang diharapkan oleh penguasa dengan maksud melanggengkan kekuasaannya baik secara formal maupun informal. 

Selain itu, endorsement politik yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo dapat pula menjadi indikasi transisi demokrasi kepada sistem oligarki. Hal ini dikarenakan adanya tendensi terbentuknya kelompok elit melalui partai politik yang secara berlanjut berkuasa atas suatu negara. Indikasi transisi tersebut dapat terlihat dalam upaya Presiden Joko Widodo yang akan berakhir masa jabatannya dan tidak dapat mencalonkan diri kembali, tetapi memiliki keterlibatan cukup jauh dalam persaingan partai politik peserta Pilpres 2024.

Dengan melihat kondisi dan potensi dampak yang ada, perlu ada tinjauan kembali sejauh apa Presiden yang akan berakhir masa jabatannya dapat terlibat proses Pilpres selanjutnya. Perlu diingat bahwa kedudukan partai politik vital bagi negara demokrasi. Oleh karenanya, segala upaya campur tangan yang terlalu jauh dari Presiden yang akan berakhir masa jabatannya menjelang Pilpres akan berpengaruh besar terhadap demokrasi. Pengaruh tersebut dapat menciptakan situasi managed democracy dan mengarah kepada bentuk oligarki yang dapat merusak demokrasi di Indonesia.  ()