Jual Ginjal untuk Bayar Utang? Ini pandangan Hukumnya!

oleh : Rahmat

Internship Advokat Konstitusi

Fenomena jual ginjal untuk membayar utang bukan merupakan suatu fenomena baru, sebagai contoh seorang wanita di Lumajang nekat ingin menjual ginjal dengan harga Rp 500 juta. Alasan Farhiyatun ingin menjual ginjal lantaran dirinya terlilit hutang, ditambah keluarganya lagi kesulitan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, sehingga ia nekat menawarkan ginjal di grup WhatsApp. Selain memiliki utang ke bank, ia juga mengaku memiliki utang ke teman-temannya, hal ini semakin memburuk setelah usaha laundry miliknya sepi. Farhiyatun juga mengatakan bahwa keluarganya tidak terdaftar sebagai penerima bantuan dari pemerintah, baik Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), Program Keluarga Harapan (PKH) maupun sejumlah bantuan sosial lainnya. Ia mengatakan bahwa dirinya sempat mengajukan bantuan UMKM namun ditolak lantaran memiliki tanggungan di bank.

Berdasarkan fenomena tersebut lantas bagaimana hukum melihatnya? 

Sebelum masuk ke inti pembahasan, dapat dipahami bahwa kasus ini merupakan fenomena dalam upaya pembayaran utang yang termasuk kepada perkara utang piutang, sehingga perkara tersebut berhubungan erat dengan pasal 1754 KUHPerdata tentang pinjam meminjam. 

Berdasarkan Pasal 1754 Kitab Undang-undang Hukum Perdata atau KUHPerdata mendefinisikan pinjam pakai habis atau pinjam meminjam sebagai berikut. “Pinjam pakai habis adalah suatu perjanjian, yang menentukan pihak pertama menyerahkan sejumlah barang yang dapat habis terpakai kepada pihak kedua dengan syarat bahwa pihak kedua itu akan mengembalikan barang sejenis kepada pihak pertama dalam jumlah dan keadaan yang sama.” 

Dalam hal yang diperjanjikan adalah uang, maka dalam praktiknya perjanjian tersebut dikenal dengan istilah perjanjian utang piutang.

  • Perjanjian utang piutang dapat dibuat baik secara lisan maupun tertulis sesuai dengan kesepakatan para pihak. Meskipun demikian, perjanjian akan lebih baik jika dibuat secara tertulis karena akan lebih mudah dalam hal pembuktian apabila atau tidaknya peristiwa utang piutang tersebut. Selain utang pokok, adakalanya kreditur menambahkan ketentuan bunga dalam perjanjian utang piutang tersebut. Hal ini dapat dibenarkan dengan dasar Pasal 1765 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa. “Untuk peminjaman uang atau barang yang habis dalam pemakaian, diperbolehkan membuat syarat bahwa atas pinjaman itu akan dibayar bunga.” Besaran bunga tersebut harus ditetapkan secara tertulis. Namun, apabila tidak ditetapkan secara tertulis maka debitur wajib membayar bunga menurut undang-undang.

Selain perjanjian pokok mengenai utang-piutang biasanya terdapat dokumen lain yang dibuat baik oleh kreditur maupun debitur. Dokumen tersebut adalah surat pengakuan utang. Surat pengakuan utang merupakan sebuah pernyataan debitur tentang pengakuan dirinya yang memiliki hutang kepada debitur yang pokoknya berisi, nama kreditur atau pihak yang meminjami uang, tanggal penerimaan uang, besarnya hutang debitur, jangka waktu atau tanggal pengembalian utang, tanda tangan dan nama terang debitur. Surat pengakuan utang bersifat accesoir yang artinya perjanjian ini merupakan perjanjian turunan yang mengikuti perjanjian pokoknya. Surat pengakuan utang yang dibuat atas inisiatif kreditur memiliki tujuan untuk memberikan kepastian bahwa uang yang dipinjamkan dapat dibayar oleh debitur. Dalam praktik pinjam meminjam uang, biasanya terdapat ketentuan yang mengatur mengenai konsekuensi apabila debitur tidak mengembalikan utang sesuai dengan kesepakatan. Konsekuensi tersebut misalnya kreditur akan menggugat debitur ke pengadilan. Namun bagaimana jika konsekuensi yang terdapat dalam surat pengakuan utang tersebut adalah kesepakatan agar debitur memberikan ginjalnya sebagai jaminan pelunasan utang?

Berdasarkan pasal 1320 KUHPerdata diatur mengenai syarat sahnya perjanjian, yang diantaranya adalah: 

  1. Kesepakatan para pihak
  2. Kecakapan para pihak
  3. Adanya objek perjanjian
  4. Sebab yang halal

Syarat poin a dan b merupakan syarat subjektif, sedangkan syarat poin c dan d merupakan syarat objek. Syarat subjektif berkaitan dengan kecakapan atau kapasitas hukum dari pihak yang akan membuat perjanjian, sedangkan syarat objektif berkaitan dengan isi atau hal yang diperjanjikan dalam suatu kontrak. Berkaitan dengan sebab yang halal, pasal 1337 KUHPerdata menyebutkan bahwa. “Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum”

Oleh sebab itu, apabila suatu kontrak atau perjanjian tidak memenuhi syarat subjektif perjanjian, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Dapat dibatalkan artinya salah satu pihak dapat meminta pembatalan perjanjian tersebut. Sehingga, selama perjanjian tersebut tidak dibatalkan oleh hakim atas permintaan salah satu pihak, maka perjanjian tersebut tetap berlaku dan mengikat kedua belah pihak dalam perjanjian. Di sisi lain, jika suatu kontrak atau perjanjian tidak memenuhi syarat objektif, maka perjanjian tersebut adalah batal demi hukum. Batal demi hukum berarti dari awal perjanjian tersebut dibuat, memang sudah dianggap tidak pernah ada perjanjian serta dianggap tidak pernah ada suatu perikatan.

Jika perjanjian utang piutang dan surat pengakuan utang tersebut ternyata disepakati oleh debitur dengan suatu paksaan dari kreditur, maka perjanjian tersebut menjadi batal demi hukum sesuai dengan pasal 1323 KUHPerdata. “Paksaan yang dilakukan terhadap orang yang mengadakan suatu persetujuan mengakibatkan batalnya persetujuan yang bersangkutan, juga bila paksaan itu dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak berkepentingan dalam persetujuan yang dibuat itu.” Namun meskipun demikian debitur harus dapat membuktikan bahwa kreditur memang benar memberikan paksaan terhadap debitur untuk menandatangani perjanjian tersebut. 

Kemudian terkait dengan penyerahan ginjal milik debitur kepada kreditur sebagai jaminan pembayaran utang, berdasarkan pasal 64 ayat 3 undang-undang nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan menyebutkan bahwa: “(1) Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dapat dilakukan melalui transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh, implan obat dan/atau alat kesehatan, bedah plastik dan rekonstruksi, serta penggunaan sel punca. (2) Transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan hanya untuk tujuan kemanusiaan dan dilarang untuk dikomersialkan.  (3) Organ dan/atau jaringan tubuh dilarang diperjualbelikan dengan dalih apapun.”. Sehingga dengan demikian perjanjian yang berisi mengenai kesepakatan agar debitur menyerahkan ginjalnya kepada kreditur sebagai objek pembayaran utang tidak dapat dibenarkan menurut hukum, sehingga perjanjian tersebut tidak memenuhi unsur sebab yang halal.

Hal ini berbeda dengan donor organ, di mana berdasarkan peraturan Menteri Kesehatan Nomor 38 tahun 2016 tentang penyelenggaraan transplantasi organ dalam pasal 18 dan 19 disebutkan bahwa  calon Pendonor harus memenuhi persyaratan administratif. Adapun salah satu syarat administratif tersebut yakni membuat pernyataan tidak melakukan penjualan Organ ataupun perjanjian khusus lain dengan pihak Resipien.

Sehingga dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perjanjian untuk memberikan ginjal sebagai alat pembayaran hutang merupakan sesuatu yang ilegal dan tidak sah dimata hukum. Karena tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian, khususnya syarat suatu sebab yang halal. Selain itu, menjual ginjal untuk membayar utang juga melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia, diantaranya yakni Pasal 64 ayat (3) Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan serta Pasal 18 dan 19 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 38 tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Transplantasi Organ. ()