Omnibus Law Baru? Dunia Kesehatan Dibuat Gempar

Oleh Anindya Yustika

 

Dunia kesehatan sedang ramai dengan munculnya RUU Kesehatan yang sejak 7 Februari 2023 lalu disepakati oleh DPR menjadi RUU inisiatif. Pasalnya, RUU Kesehatan merupakan terobosan pemerintah untuk merombak atau meringkas aturan hukum di bidang kesehatan menggunakan metode omnibus. RUU Kesehatan ini diusung dengan tujuan meningkatkan akses terhadap layanan kesehatan, meningkatkan kualitas kesehatan, dan menurunkan biaya kesehatan di Indonesia dengan menggabungkan 13 UU yang berkaitan dengan kesehatan. Pemerintah telah mempersiapkan perancangan tentang RUU Kesehatan ini sejak 25 Agustus 2022, namun risalah sidang maupun dokumen terkait tidak ada yang dibuka untuk umum. Hal ini direspon dengan munculnya berbagai pendapat atau sudut pandang para pakar hukum kesehatan dan berbagai organisasi profesi kesehatan, seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI), kalangan akademisi seperti Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI), kalangan praktisi rumah sakit seperti Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI), serta organisasi masyarakat (ormas) Islam seperti Muhammadiyah. 

Namun, pembentukan RUU Kesehatan ini yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi dengan tidak mengindahkan prinsip meaningful participation menjadi suatu polemik yang meresahkan masyarakat, khususnya pekerja di bidang kesehatan. Hal ini yang menyebabkan digelarnya demo di depan Gedung DPR RI mulai dari bulan Maret 2023 kemarin hingga yang terbaru ini pada tanggal 5 Juni 2023. Aksi demo dilandasi kekhawatiran bahwa RUU Kesehatan akan melemahkan perlindungan dan kepastian hukum para dokter dan tenaga kesehatan. Para demonstran menilai bahwa tidak ada urgensi yang mengharuskan pembuat UU untuk membuat RUU Kesehatan ini dengan tergesa-gesa, bahkan  tanpa kehadiran dari tenaga kesehatan, dan ketidakjelasan penggagasnya. Pada dasarnya, demo ini merupakan bentuk keikutsertaan masyarakat dalam penyelenggaraan  pemerintahan  dan  memajukan dirinya untuk memperjuangkan hak kolektif sebagaimana ketentuan pada Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28C ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.

Para dokter, apoteker, hingga bidan yang berdemo juga menilai adanya beberapa pasal dalam draf RUU Kesehatan yang kontroversial. Beberapa pasal juga dinilai mencederai kewenangan dan marginalisasi peran dari organisasi profesi kesehatan, seperti Pasal 314 ayat (2) mengenai pembentukan organisasi profesi yang hanya diperbolehkan satu dan Pasal 206 mengenai penyusunan standar pendidikan kesehatan serta kompetensi oleh menteri. RUU ini juga menghendaki perluasan kewenangan pada menteri daripada pihak-pihak yang berprofesi di bidang kesehatan. Hal kontroversial yang menjadi perhatian khusus bagi masyarakat ialah pada Pasal 154 ayat (3) RUU ini sebagai dasar hukum baru atas legalitas tembakau yang biasa digunakan untuk tujuan medis digolongkan menjadi zat adiktif dengan penyetaraannya dengan narkotika dan psikotropika. Pengaturan pasal ini dikhawatirkan akan menyebabkan muncul aturan yang akan mengekang tembakau nantinya lantaran posisinya disetarakan dengan narkoba dan tentunya akan menimbulkan polemik lain karena merugikan banyak pihak yang bekerja di industri tembakau.

Istilah omnibus law dikenal pertama kali di Indonesia setelah Presiden Joko Widodo dalam pidatonya menyampaikan  salah  satu  program  kerja  yang  akan  dilakukan  oleh pemerintah adalah melakukan penyederhanaan regulasi dalam rapat MPR RI. Program tersebut didasari atas pertimbangan bahwa di Indonesia masih terjadi banyak regulasi (over-regulatory) yang  tersebar  dalam  berbagai peraturan perundang-undangan. Menurut data, pada tahun 2019 terdapat 50.000 peraturan. Konsep baru mengenai omnibus law ini merupakan suatu metode pembentukan peraturan perundang-undangan dengan memangkas berbagai peraturan menjadi lebih sederhana dengan mencabut dan mengubahnya yang didasarkan atas fakta-fakta yang terjadi di kehidupan. Metode ini mulai diterapkan di Indonesia dengan disahkannya UU Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3 baru). Dengan adanya polemik ini, DPR diharapkan dapat mengakomodir seluruh pendapat dari masyarakat, khususnya dari tenaga profesi kesehatan, dan pembahasannya disesuaikan dengan fakta di lapangan sehingga tidak perlu terburu-buru dalam penyusunan RUU Kesehatan ini.

  ()