Skandal Revenge Porn di Pandeglang: UU TPKS Tidak Dipakai!

Kronologi kasus revenge porn di Pandeglang

Awal mula skandal revenge porn terungkap ketika kakak korban bernama Imam Zanatul Haeri mendapatkan pesan di Instagram dari akun tidak dikenal pada 14 Desember 2022. Ternyata pesan itu berisi video asusila adik korban yang divideokan pelaku (Alwi Husen Maolana) dalam kondisi tidak sadar. 

 

Pihak keluarga sempat denial dan tidak percaya bahwa yang berada dalam video tersebut adalah adiknya. Video yang dikirim oleh pelaku terbagi menjadi empat dan terdapat foto-foto adik korban, serta satu video asusila korban yang sedang rudapaksa. Pelaku seolah-olah ingin mempertegas bahwa video tersebut benar-benar adalah si korban.

 

Satu adalah foto korban (adik kami) sedang menerima sebuah penghargaan, dua dan tiga adalah foto adik saya sedang mengikuti sebuah kompetisi. Pada layar 4 adalah adik saya yang sedang dirudapaksa (tanpa ia sadari) dengan kamera dipegang Alwi,” ungkap Imam.

 

Kakak korban mencoba menggali informasi mengenai video tersebut dari teman-teman korban. Ternyata seluruh teman dekat  korban dikirim video asusila serupa oleh pelaku dengan alasan karena pelaku tidak ingin korban hidup normal dan dekat dengan teman lainnya.

 

Saat itu keluarga korban fokus terlebih dahulu terhadap masalah penyebaran video asusila korban dengan melapor ke cyber crime Polda Banten. Kemudian, pelaku dilakukan penahanan. Namun, keluarga korban mendapatkan tekanan dari pihak pelaku. Keluarga pelaku meyakinkan bahwa kejadian ini merupakan masalah pacaran biasa dan terus menekan agar menggunakan jalan damai.

 

Persidang dipersulit, kuasa hukum & keluarga saya (korban) diusir pengadilan. Melapor ke posko PPA Kejaksaan, malah diintimidasi,”Imam, dikutip dari VIVA, Selasa 27 Juni 2023.

 

Kejanggalan pada sidang pertama

Keluarga korban mengaku tidak mendapatkan informasi mengenai jadwal sidang pertama terhadap kasus tersebut. Keluarga korban baru mendapatkan informasi saat sidang kedua ketika korban berstatus sebagai saksi. Hal ini menyebabkan pihak keluarga dan korban tidak mengetahui apa dakwaan yang diberikan jaksa penuntut umum terhadap pelaku.

 

Sebelum sidang kedua tersebut dimulai, korban dan kakak korban yang hadir sebagai saksi dipanggil oleh jaksa penuntut dalam kasus tersebut. Pada pertemuan tersebut, korban seperti “dipaksa” untuk mengambil langkah bijak dengan memaafkan pelaku. Kemudian, dengan alasan yang tidak jelas, tiba-tiba korban dihubungi seorang jaksa berinisial D dan meminta bertemu korban di cafe dengan live music.

 

Jaksa berinisial D tersebut mengatakan ingin bicara personal dengan korban, tetapi meminta korban untuk datang seorang diri dan meminta agar tidak menceritakan pada siapapun mengenai pertemuan ini. Namun, korban tidak menurutinya dan sampai saat ini belum jelas motif jaksa tersebut mengajak korban bertemu di luar persidangan. Atas kejadian tersebut, keluarga korban sudah melapor ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan akan menghadapi sidang tuntutan pada 27 Juni 2023. 

 

Pelaku tidak didakwakan UU TPKS!

Pihak keluarga mengungkapkan kekecewaan terhadap proses hukum yang dijalani, mulai dari penyidikan hingga proses persidangan. Apalagi, dakwaan yang digunakan adalah UU ITE (Informasi dan Teknologi Elektronik) bukan UU TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual). Sejak awal kasus yang menimpa keluarga kakak korban adalah kekerasan seksual dan pemerkosaan. Namun, penyidik di Polda mengarahkan kasus ini pada pelanggaran UU ITE.

 

“Jadi pada awalnya kuasa hukum melaporkan dugaan kekerasan seksual dan Pemerkosaan, namun penyidik dari cyber crime Polda Banten mengarahkan ke UU ITE. Alasannya karena bukti-bukti yang mereka dapatkan adalah tentang bukti-bukti elektronik atau digital,” kata Iman di Pandeglang, Selasa (27/6/2023).

 

Kekecewaan terus berlanjut hingga persidangan karena kejadian yang menimpa keluarga korban memiliki bukti adanya kekerasan seksual, sedangkan pihak kejaksaan sudah terlanjur mengusut kasus ini dengan UU ITE, bukan UU TPKS.

 

“Kami kecewa juga kenapa bukti yang sebetulnya bisa menguatkan untuk menunjukkan kekerasan seksual tidak dipertimbangkan baik oleh penyidik, kejaksaan, maupun majelis hakim, harusnya ada penanganan lebih lanjut,” tegasnya.

 

Tuntutan Jaksa Penuntut Umum

Alwi dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Pandeglang selama 6 tahun penjara dalam kasus ini. Terdakwa Alwi juga didakwa melanggar Pasal 45 ayat (1) juncto Pasal 27 ayat 1 UU ITE. Selain ancaman 6 tahun penjara, Alwi juga terancam denda Rp 1 miliar rupiah subsider 3 bulan kurungan.

 

Desakan Alwi Husen untuk di DO

Desakan ini muncul dari pihak keluarga korban. Kakak korban, meminta pihak Satgas Kampus Untirta mengeluarkan atau drop out terdakwa Alwi Husein Maolana dari kampus. Iman menilai tindakan Alwi Husein tidak mencerminkan seorang mahasiswa.

 

“Merekomendasikan kepada Satgas Kampus Untirta agar pelaku segera di-DO (drop out), dia tidak layak hidup di muka bumi,” kata Iman kepada wartawan di Pandeglang, Selasa (27/6/2023).

 

Desakan ini mendapat respon dari kampus, Ketua Satgas PPKS Untirta, Muhammad Uut Lutfi sudah memberikan rekomendasi tersebut sejak awal.

 

Terkait rekomendasi sudah di internal dan menetapkan bahwa terlapor ini untuk diberikan sanksi berat. Sanksi berat di Permendikbud yaitu drop out,” kata Uut Lutfi, dikutip dari detik.com, Rabu (28/6/2023).

 

Melihat peristiwa yang terjadi, seharusnya ada rekomendasi juncto yang mengarahkan kepada kekerasan seksual berdasarkan UU TPKS dengan bukti-bukti kekerasan seksual yang dialami korban, seperti korban yang di rudapaksa dalam kondisi tidak sadar. Hakim juga seharusnya bisa mengarahkan kepada pasal-pasal tentang kekerasan seksual karena menurut penulis, rudapaksa termasuk dalam jenis-jenis tindak pidana kekerasan seksual yang diatur pada pasal 4 Ayat (1) & (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Jaksa Penuntut Umum dalam membuat dakwaan seharusnya tidak hanya berfokus pada peristiwa pelaku yang menyebarkan video asusila kepada teman-teman korban, tetapi harus mempertimbangkan kekerasan seksual yang dialami korban, seperti pelecehan seksual secara fisik. ()